MIWF dikerjakan oleh 28 orang staff dan volunteer dengan 10 mata acara. Yang dikejar dalam MIWF adalah keterhubungan antar pihak melalui sesi-sesi daring ini. Pada sesi kali ini akan ada perkenalan emerging writers dan sesi bersama Riri Riza. Ada penampilan dari Hara, seorang seniman yang fokus menyuarakan tentang hubungan antara manusia dan alam melalui musik.
Refleksi yang bisa ditarik selama MIWF berlangsung adalah keterbatasan bukan jadi penghalang untuk berkarya. Pekerja migran yang menulis di sela-sela waktu senggangnya, bahkan menyiapkan catatan kecil dan menuliskan buah pikirannya saat bekerja dan membacanya kembali di saat senggang. Potongan-potongan yang kemudian mereka kumpulkan menjadi satu kesatuan yang utuh. Lalu, ada Behrouz yang mengirimkan tulisannya diam-diam saat masih di detensi melalui pesan kepada temannya. Tulisan-tulisan tersebut kemudian menjadi sebuah buku yang kini mendapat banyak penghargaan. Kata dekolonisasi juga semakin sering terdengar selama sesi-sesi di MIWF berlangsung. Orang-orang datang dan saling bersinggungan hingga memberikan wawasan-wawasan baru. MIWF juga berusaha menciptakan sebuah festival yang inklusif.
Ada 71 karya penulis laki-laki dan 71 karya penulis perempuan untuk pendaftaran emerging writers kali ini. Mereka adalah Siti Hajar dari Kupang, Jemmy Piran dari Flores Timur, Vanie Saffran dari Atambua, Septina Andriani dari Samarinda, Iin Farliani dari Mataram, Afryantho Keyn dari Flores, dan Chaery Ma dari Tolitoli. Sesi kali ini dimulai dengan pembacaan karya masing-masing emerging writer.
Karya-karya emerging writers yang terpilih ini didasari oleh penilaian seperti bagaimana penulis mengerjakan gagasannya dalam bentuk puisi atau prosa. Tidak ada tema tertentu untuk penulis, tetapi kurator membuka peluang bagi penulis yang mengangkat tema-tema yang jarang diangkat untuk memperkaya khazanah cerita dari emerging writers. Bagi Intan Paramaditha, menjadi kurator dan membaca karya-karya dari Timur ini butuh pendekatan yang berbeda. Ia berusaha melihat potensi-potensi dari karya yang dibacanya. Referensi gaya penulisan sangat perlu dikembangkan oleh calon-calon peserta emerging writers. Semakin banyak referensi, semakin kaya bentuk tulisannya. Shinta Febriany juga menambahkan bahwa tematik terkait lokalitas itu bukan hal yang baru lagi, tetapi sudah terjadi sebelum-sebelumnya. Aan Mansyur juga mengungkapkan bahwa ia penasaran dengan apa yang terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur. Tahun ini ada 4 orang emerging writer dari daerah-daerah di NTT. Penulis-penulis ini banyak membaca, saling mengkritik lewat karya dan saling berdiskusi. Hal ini jadi sesuatu yang menarik bagi Aan.
Sesi lain dari rangkaian penutupan MIWF 2021 ini adalah kehadiran Riri Riza, co-founder dari Rumata’ Artspace. Ia membagikan refleksi 10 tahun Rumata’ yang berdiri di sebuah lingkungan pemukiman yang dulunya adalah rumah masa kecil Riri Riza. Rumata’ telah berdiri sejak tahun 2010 dan sudah berkolaborasi dengan banyak pihak, termasuk mahasiswa dan pegiat seni. Rumata’ juga menjadi rumah bagi MIWF dan SEAscreen Academy sejak tahun 2011. Melewati satu dekade berdiri, Riri mengungkapkan bahwa ia dan Lily Yulianti Farid ingin berkolaborasi lebih luas dengan seniman-seniman, komunitas, maupun masyarakat yang ada di kawasan Rumata’ Artspace berada. Riri juga berharap di tahun-tahun selanjutnya Rumata’ bisa menjadi ruang diskusi yang lebih terbuka melalui rencana arsitektur yang baru dan diharapkan bisa membuka peluang residensi bagi seniman-seniman di seluruh daerah, baik itu dalam dan luar negeri.
Penampilan spesial ditutup oleh Hara. Ia mengaku pengalamannya saat tinggal di Selandia membuka pintu baginya untuk lebih dekat dengan alam. Tidak hanya belajar tentang ilmu botani misalnya, ia juga terus belajar hal-hal baru dan menuangkannya dalam karya. Ia menerbitkan buku baru-baru ini dan juga membuat lagu-lagu dari perjalanan berkebunnya. Lagu kenduri yang dalam bahasa Jawa berarti selamatan. Melalui lagu ini ia ingin berterima kasih pada alam atas apa yang disediakannya.
Tonton rekaman performance Hara berikut ini
Nama Hara sendiri diambil dari kandungan dalam tanah, yaitu unsur hara. Baginya, hara ini seperti rahim yang melahirkan kebaikan-kebaikan. Nama bukan hanya nama, tetapi doa dan harapan. Bagi Hara, komunitas berperan sangat besar dalam keberlangsungan penciptaan sebuah karya. Saling memberi dukungan dan kebaikan-kebaikan dalam satu komunitas membuat banyak hal dapat dilakukan.
Tonton rekaman penutupan MIWF selengkapnya melalui tautan berikut ini.