Mengakses Duka Perempuan dari Suara-suara Penulis Perempuan
Oleh Erni Aladjai
Saya punya trauma yang belum sembuh hingga hari ini akan kekerasan terhadap perempuan baik di dalam rumah sendiri maupun di luar rumah—di dalam masyarakat, baik yang dialami ibu saya, adik perempuan saya, maupun saya sendiri. Perempuan terus mengalami kekerasan dari masyarakat, laki-laki dan dari perempuan itu sendiri. Mulai dari kata-kata, hingga tindakan yang melukai jiwa perempuan, contoh kecil dalam realitas sehari-hari; masih ada ibu yang di rumah, menghakimi ibu yang bekerja di ruang publik. Ibu yang bekerja di ruang publik tak sedikit pula yang meremehkan keputusan seorang ibu yang mengurus keluarga di rumah—karena ketiadaan privilese mengakses asisten rumah tangga misalnya atau karena ia memang mengambil keputusan yang demikian. Padahal dari titik mana kita berpijak, kita tetap berjuang. Yang di rumah bisa berjuang agar kelak nilai-nilai patriarki tak diteruskan anak-anaknya, yang di ruang publik berjuang mendukung perempuan dalam keputusan-keputusan.
Dari kekerasan yang melukai jiwa hingga kekerasan yang melukai tubuh, hal-hal ini terus berputar-putar, tetapi selalu ada harapan, sebab kita masih terus bersuara.
Sampai hari ini saya sulit melepaskan diri dari tidak menulis tema-tema kekerasan domestik, ini sebagai upaya pelan pelan melepaskan kemarahan, ketegangan, kecemasan, dan ketidakpercayaan di dalam diri sendiri. Dengan menulis perkara perempuan apa adanya, pelan-pelan saya melepaskan peristiwa yang pernah membelenggu saya; pelaku kekerasan acapkali menggunakan benda-benda tajam sebagai alat kekerasan dan kata-kata yang melukai jiwa.
Tiga belas tahun silam, adik perempuan saya dalam keadaan hamil dua bulan, mengalami kekerasan oleh suaminya, lalu adik memutuskan bercerai, merawat anaknya seorang diri tanpa dukungan dari mantan suaminya, hingga sekarang keponakan saya sudah kelas 1 SMP, ia pandai menggambar dan saban sore menjajakan kue buatan ibunya keliling desa.
Pada hari-hari kita mendapat ujian korona, ibu saya meninggalkan rumah, kepada saya di telepon, ibu berkabar, bahwa dia sudah tidak bersama bapak. Saya sebagai perempuan, mendukung keputusannya. Tetapi saya tidak akan mencurahkan apa-apa yang menjadi belenggu kekerasan yang saya alami sejak kecil—di luar sana banyak perkara-perkara berat yang menimpa kaum perempuan, umat manusia, alam dan mahluk-mahluk lainnya. Di hari perempuan sedunia ini dengan duka masih di sisi kita—korona dan bencana, mari kita menguatkan pegangan tangan antara sesama, bahwa kita tak berjuang sendiri, kita terus menyuarakan keresahan pada apa-apa yang kita bisa. Tragedi terhadap perempuan dan apa pun harus dikabarkan, agar strategi bisa dipikirkan bersama dan kita terus belajar untuk tidak saling menyakiti.
Pada Delapan Maret ini, barangkali kita bisa mengakses duka perempuan di dalam karya-karya sejumlah penulis perempuan Indonesia berikut, pilih mana yang ingin kita akses:
- Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo
- Isinga karya Dorothea Rosa Herliany
- Damar Kambang karya Muna Masyari
- Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam karya Sasti Gotama
- Tank Merah Muda karya Raisa Kamila dkk
- Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto
- Mei Merah 1998 karya Naning Pranoto
- Jalan Panjang Menuju Pulang karya Pipiet Senja
- Tempurung karya Oka Rusmini
- Ayahmu Bulan, Engkau Matahari karya Lily Yulianti Farid
- Bagaimana Cara Mengatakan Tidak? karya Raisa Kamila.
- Kerang Memanggil Angin karya Deasy Tirayoh
- Ketika Saatnya karya Darmawati Majid
- Waktu untuk Tidak Menikah karya Amanatia Junda
- Gambar Kesunyian di Jendela karya Shinta Febriany.
- Mawar Hitam tanpa Akar karya Aprila Wayar
- Siri’ karya Asmayani Kuswarini
- Perempuan Tanpa Nama karya Kadek Sonia Piscayanti
- Suara Tepi Hati, Catatan Kecil 9 Perempuan, Mahima Institute.
Barangkali sebagian besar suara-suara di atas, kita sudah mengaksesnya, jika ada yang belum, kita sama-sama membaca mereka, di luar sana, banyak suara-suara perempuan yang perlu kita cari dan akses—sebab tak semua diantara kita punya kemewahan bersuara, adapun saya dengan rasa sungkan, ingin mengenalkan suara saya dalam novel ‘Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga,’novel yang saya tulis dengan tokoh ibu tunggal, sebab adakalanya saya merasa tidak tahu cara menulis tokoh bapak yang semestinya, meskipun dalam kehidupan nyata, saya menyayangi bapak saya, beliau sudah melalui banyak kesulitan hidup sejak masih kanak-kanak tanpa kehangatan orang tua dan kami sudah berupaya saling mendukung di antara kami. Lingkaran kekerasan nyata adanya, saya dan keluarga adalah penyintas, kita semua adalah penyintas untuk perkara-perkara yang mendera kita sebagai manusia, bogzarad niz een—ini pun akan berlalu, duka akan berlalu, bahagia juga akan berlalu, semoga kita tetap hangat dan tetap bertahan. Selamat hari Perempuan Sedunia.