“Kau harus mengerti sangat banyak hanya untuk menulis sedikit.”
Terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam, Agustinus Wibowo melanjutkan cerita. Tentang kisah perjumpaannya dengan seorang nenek di Tana Toraja yang menjadi objek fotonya. Sebuah ekspresi yang begitu kuat yang berhasil diabadikan Agustinus, sehari sebelum nenek itu menuju Puya—alam kematian. Tapi kematian tak menghentikan kisah sang nenek, gambarnya berkeliling ke berbagai tempat yang semasa hidup belum pernah didatangi.
Kisah ini diceritakan Agustinus saat Travel Writing Workshop: Meaningful Journeys yang menjadi program pembuka di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2019, Selasa, 25 Juni di Auditorium Aksa Mahmud, Universitas Bosowa di Makassar. Workshop yang dipandu Zulkhair Burhan ini adalah program kerjasama MIWF dengan Komite Buku National dan Universitas Bosowa.
Gus Weng, saran akrab Agustinus, membuka sesi workshop dengan sebuah pertanyaan untuk memancing peserta berinteraksi. “Mengapa kita berkalan?” Ada beragam jawaban yang muncul dari peserta, di antaranya, “Untuk mengenal diri sendiri.”
Menurut Agustinus, perjalanan itu seperti cermin. “Mata dan mulut terletak di atas wajah yang sama, namun mata tidak bisa melihat mulut secara langsung, mata membutuhkan cermin untuk melihat mulut, begitupun kita membutuhkan perjalanan untuk melihat diri kita,” ungkapnya.
Seperti apa Agustinus melihat dirinya sendiri melalui perjalanan. Sebelum menjadi penulis perjalanan, ia mengawali karirnya sebagai fotografer perjalanan. Pengalaman Agustinus memancing pertanyaan dari salah satu peserta workshop “Bagaimana fotografi bisa menguatkan cerita perjalanan?” kata Ekhy Ken.
Sebuah cerita yang baik berasal dari perjalanan yang baik. Agustinus mengungkapkan bahwa untuk menghasilkan tulisan yang dibukukan, ia menghabiskan waktu kurang lebih 2 tahun melakukan perjalanan untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif, sudut pandang yang unik dan ikatan emosi yang kuat. Dan pengalamannya dalam Dunia fotografi santa membantunya mendapatkan hal-hal detail secara emosional yang hanya bisa ditangkap oleh kamera melalui ikatan emosional yang kuat.
“Kau harus mengerti sangat banyak hanya untuk menulis sedikit,” Agustinus menutup sesinya siang itu. (*)
Syarifah F. Yasmin