Peluncuran Buku: Almanak Bencana dan Sajak-sajak Renjana
“Segenggam tanah, jadilah! Kau mengenangku sebagai hujan kematian.” Penggalan puisi “Nalentora” karya Neni Muhidin. Salah satu puisi yang termuat dalam buku “Almanak Bencana dan Sajak– Sajak Renjana”— buku kumpulan puisi 20 penyair—,dilauncing di Makassar International Writers Festival (MIWF), Kamis, 27 Juni 2019, di Verandah 1 Fort Rotterdam.
Muhammad Ridwan Alimuddin, moderator yang juga founder Perahu Pustaka membuka dengan membahas beberapa tulisan tentang bencana di Indonesia. Menurut pria asal Sulawesi Barat ini, karya sastra itu beragam tetapi sangat jarang karya sastra puisi tentang bencana. Ridwan langsung melemparkan pertanyaan kepada sang penulis “Kenapa diberi judul Amanak?”
Awalnya, kata Neni, dia tidak memikirkan untuk jadi buku. Setelah bencana di Palu, ia menginisiasi untuk diadakannya malam puisi Palu. Neni menghubungi beberapa kawan penyair. Mereka merespons dengan mengirimkan puisi yang ditulis saat itu juga. “Puisi sangat menyembuhkan dalam keadaan kritis seperti ini,” ujar kurator Festival Sastra Banggai.
Sesekali Neni membacakan puisi-puisi yang ada dalam bukunya secara random. Puisi dibawakan dengan penuh penghayatan. Terlihat dari raut wajah beberapa peserta yang hanyut di dalamnya. Menurut penulis puisi Nalentora, ada ribuan peristiwa bencana dan semua hampir terlewat begitu saja. Tidak ada ingatan di sana. Buku ini tidak jadi penting, tetapi bencana adalah siklus,buku ini akan jadi pengingat. “Yang paling penting saya ingin merawat ingatan, karena lupa adalah bencana,” ungkapnya.
Ilham Wasi, jurnalis yang bertindak sebagai pembedah berpendapat, dengan sudut pandang yang berbeda beberapa penyair merangkai diksi-diksi untuk menggambarkan situasi saat bencana di Palu. Menurut pria kelahiran Bone ini, ketika gempa tidak memiliki kisah maka hal itu sangat mudah dilupakan.
Dengan puisi, Neni mengaku bisa menyampaikan dengan lebih mengasihkan dibanding jika disampaikan secara verbal. (*)
Dwi Magfirah Jasal