MIWF 2023 ”Faith”: Yang Fana dan Yang Tetap

dilansir dari MIWF 2023 “Faith”: Yang Fana dan Yang Tetap – https://www.jawapos.com/minggu/011355978/miwf-2023-faith-yang-fana-dan-yang-tetap

Setelah membacakan obituari untuk Kak Lily –panggilan saya untuk Lily Yulianti Farid– di Under the Poetic Star malam pembukaan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2023, saya termenung pada kutipan, ”Ide yang paling baik ialah ide yang dikerjakan.”

KEMUDIAN Daur Suar menembakkan kreasi visual ke dinding Chapel; darinya muncul potret Kak Lily tersenyum yang segera jadi pusat perhatian kami malam itu, bersanding dengan ragam ilustrasi MIWF 2023 karya Wulang Sunu. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, saya merasa malam itu lebih syahdu, lebih magis. Ramainya hadirin pun barangkali sebuah wujud kerinduan masyarakat Makassar (dan lainnya) terhadap pelaksanaan MIWF di Fort Rotterdam –yang kali terakhir ada pada 2019. Di tahun 2020 dan 2021 MIWF dilaksanakan secara daring, dan pada 2022 secara luring (juga hybrid sebagian) di Rumata’ Artspace.

Semilir angin sejuk merangkul kami malam itu, seperti Kak Lily yang biasanya berkeliling riang menyapa orang-orang. Ia kemudian disambut lembut oleh performance art Kala Teater, disusul lantunan musik oleh Dian ToD dan Reda Gaudiamo. Demikian saya mengenang malam itu. Malam di mana yang fana dan yang tetap saling bersalaman. Lebih jauh merenungi semua itu, kita perlu menengok kembali profil MIWF untuk menyadari perjalanannya.

MIWF adalah festival penulis yang diselenggarakan oleh Rumata’ Artspace sejak 2011. MIWF meraih penghargaan International Excellence Award sebagai festival sastra terbaik 2020 dari London Book Fair. MIWF merupakan festival penulis internasional pertama dan satu-satunya di Indonesia Timur, yang dikerjakan secara independen, menjunjung HAM, bersifat antikorupsi, inklusif, dijalankan sebagai kegiatan nirsampah (zero waste) sejak 2019, dan mendeklarasikan diri sebagai festival yang menentang all-male panel sejak Maret 2020.

Menginjak usia pelaksanaannya yang ke-12, MIWF setia menjalankan nilai-nilai di atas dengan tema berbeda setiap tahun, dan untuk tahun ini ”Faith” dipilih sebagai tema. Bagaimanapun, tema ini jadi semacam warisan Kak Lily kepada siapa saja yang mengurusi dan mengapresiasi MIWF 2023. Ia hadir sebagai pintu yang dipercaya dapat membuka ruang percakapan tentang agama, kepercayaan, nilai, dan tujuan hidup manusia. Tema ini tak sebatas membicarakan peran agama dan kepercayaan yang dipegang manusia ketika menghadapi masa sulit –seperti ketika seluruh dunia dihantam pandemi. Ia menawarkan perspektif untuk membangun harapan, daya tahan, dan menciptakan keseimbangan untuk menemukan makna, baik secara individu maupun kolektif.

Mengembangkan ”Faith” kemudian tertuang pada ragam program –dengan lebih dari 60 panel yang hadir secara daring ataupun luring– selama empat hari, dari 8–11 Juni 2023, tersebar di sejumlah lokasi: Fort Rotterdam, Rumah Leluhur Keluarga Thoeng, Universitas Bosowa, UIN Alauddin Makassar, Hotel Whiz Prime Hasanuddin, dan Rumata’ Artspace.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya yang terlaksana dominan secara luring, MIWF tahun ini kembali mempertemukan langsung beberapa mata rantai pencinta buku: penulis, pembaca, dan penerbit. Saya sendiri, sebagai penulis dan pembaca, tahun ini berkesempatan jumpa –dan bersama dalam satu program– dengan dua penulis favorit; mereka adalah Ni Made Purnama Sari dan Intan Paramaditha.

Pada program In Conversation with Ni Made Purnama Sari: Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati yang berlangsung di Chapel, saya sungguh senang bisa menyampaikan hasil pembacaan atas novel Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati karya Mbak Purnama secara langsung –setelah sebelumnya ”hanya” ditulis melalui sebuah resensi. Dipandu oleh Olin Monteiro, panelis diajak untuk menyoroti lapisan konteks. Mengerucutlah ia pada sebuah lapisan dasar, yaitu trauma masyarakat Bali terhadap peristiwa 1965 yang disusul ledakan industri pariwisata di sepanjang 1970-an. Diskusi berlangsung santai walaupun kernyit di dahi beberapa panelis sesekali tampak. Saya sedikit masuk lebih dalam ke teknik penulisan novel; metode dua sudut pandang –orang ketiga dan orang kedua– yang digunakan Mbak Purnama berhasil mengajak pembaca menyusuri trauma tersebut melalui tokoh utama.

Seusai program bersama Mbak Purnama dan Kak Olin, saya masih harus duduk dalam Chapel karena giliran saya selanjutnya yang memandu program: Pre-launch Novel Terbaru Intan Paramaditha: Malam Seribu Jahanam. Seperti novel dan cerita-cerita pendek Kak Intan sebelumnya, yang kental dengan unsur gotik dan feminisme, Malam Seribu Jahanam ini pun menghadirkan dua unsur tersebut, bersama satu tambahan unsur: Islam. Ketiganya dijalin dan dikembangkan dari satu pantikan konflik: ledakan bom yang tersangkanya adalah keluarga muslim kelas menengah. Selain jalinan dan kembangan unsur-unsur di atas, novel ini dirancang berdasar hasil riset penulisnya. Kak Intan dengan semangat menjelaskan tiga motif riset yang dilakukannya. Pertama, motif membangun dunia cerita (dikerjakan sepanjang 2019). Kedua, motif paradigmatik, khususnya wacana soal pandangan masyarakat terhadap perempuan pelaku bom bunuh diri. Ketiga, motif estetika yang menyangkut perihal karakter, narator, serta sudut pandang.

Mempelajari kerja-kerja keperajinan para penulis adalah hal paling membahagiakan bagi saya. Ia meningkatkan apresiasi terhadap karya-karya itu sendiri sekaligus jadi momentum refleksi yang efektif terhadap karya pribadi.

Selain dua program di atas, saya hadir bersama Dewi ”Dee” Lestari dan Kak Olin dalam program Workshop Dana Bergulir #BakuBantu. Program ini sejatinya ialah upaya menyebarluaskan informasi program #BakuBantu yang sejak 2022 diselenggarakan oleh MIWF. Kami membahas kembali definisi dana bergulir, tujuan diadakannya program ini, siapa saja yang boleh mendaftar, dan evaluasi pelaksanaannya sepanjang 2022. Forum ini membuahkan saran serta kritik dari para panelis yang hadir; seluruhnya sungguh berguna untuk pengembangan teknis #BakuBantu selanjutnya. Di Under the Poetic Star malam terakhir, informasi program dana bergulir #BakuBantu kembali disosialisasikan. Semoga ada banyak pekerja buku –baik individu maupun komunitas– yang mengirimkan proposal bisnisnya ketika batch 2 dibuka kembali nanti.

Under the Poetic Star malam terakhir di Fort Rotterdam begitu ramai. Tiga perempat tempat terisi oleh orang-orang yang ingin bersama-sama menutup festival. Penampilan Pusakata menjadi pemantik keriuhan malam itu. Aktivitas berfoto bersama semakin banyak kita temui di setiap sudut benteng. Nyala ponsel beradu dengan sorotan lampu. Di sela-sela pandangan, seusai penutupan, kita mendapati sejumlah sampah yang bertebaran. Inilah satu tantangan besar bagi MIWF ketika mengadakan festival di ruang publik.

Tak dapat dimungkiri bahwa yang datang ke Fort Rotterdam bukanlah seluruhnya pengunjung MIWF, ada pula yang datang karena kunjungi museum –di pagi, siang, dan sore hari; ada pula yang secara spontan datang karena tertarik keramaian. Para volunter menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam mengumpulkan dan memilah sampah di malam keempat. Menyaksikan mereka yang berkeliling –sambil sesekali bernyanyi sama-sama– ini, lantas saya bertanya dalam hati: dari mana munculnya semangat mereka yang demikian besarnya?

Mereka, para volunter MIWF 2023 ini, mungkin sebagian besar tak sempat jumpa langsung dengan Kak Lily. Namun, semangat kolektifnya terasa serupa dengan mereka yang ikut di tahun-tahun sebelumnya. Saya pikir, keyakinan bahwa MIWF adalah ruang aman dan suportif untuk bertumbuh telah menjadi benang merah antargenerasi. Dengan kata lain, energi-energi penopang festival ini bersifat tetap meskipun tubuh penggagasnya adalah fana. Saya selalu ingat tepuk tangan terima kasih yang riuh ditujukan kepada para volunter setiap kali Kak Lily menyebutkan satu per satu divisi volunter –di Under the Poetic Star. Tanpa teman-teman volunter, MIWF tak mungkin dapat terselenggara secara optimal.

Akhir kalam, tulisan ini hanya memuat sekelumit dari sekian banyak koleksi memori, baik pribadi maupun kolektif, di MIWF 2023. Selalu ada yang akhirnya dibawa pulang untuk kemudian diolah menjadi ide baru, dan selanjutnya, mengutip kembali Kak Lily, ”Ide yang paling baik ialah ide yang dikerjakan.” (*)

ILDA KARWAYU, Menulis puisi, fiksi, dan nonfiksi. Buku-bukunya, antara lain Eulogi (PBP, 2018) dan Binatang Kesepian dalam Tubuhmu (GPU, 2020). Aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top