\”Berjuang itu ujungnya bukan di penjara, tapi jalan terus. Kalau polisi makin kuat dan semena-mena, warga juga akan semakin kuat,\” ini adalah petikan kalimat Amisandi dari buku berjudul Titik Krisis di Sulawesi, NARASI JURNALISTIK ATAS KEHANCURAN RUANG DAN SUMBER DAYA ALAM, karya Eko Rusdianto.
Sub judul Kriminalisasi Warga dan Surat untuk Presiden, April 2017, menceritakan sebanyak 13 warga yang dikriminalisasi terkait perlawanan pada PT Seko Power Prima, hingga lahir surat yang ditujukan ke Presiden Jokowi. Dalam lampiran yang berbunyi, \”Kami Warga Seko ditangkap karena berani menolak PLTA PT Seko Power Prima. Tolong selamatkan kami!\” Kalimat ini sanggup mendobrak pertahanan perasaan saya, hingga mataku berkaca-kaca macam cermin retak.
Setahu saya, setiap tulisan yang mampu menghadirkan perasaan emosi, sedih, marah, atau miris, biasanya juga dirasakan penulisnya saat jari-jarinya mengetikkan kalimat itu. Pertanyaan saya, apakah Eko merasakan kesedihan saat mengetikkan kalimat di atas? Entahlah, hanya Eko dan Tuhan yang tahu.
Buku ini mengangkat banyak isu tentang sosial, perjuangan warga di wilayah Pulau Sulawesi, seperti Sulsel, Sulbar, dan Sultra.
Kasus ekologi, juga dituangkan pada beberapa judul, salah satunya tentang perlakuan terhadap ekosistem Bukit Kapur (Kars) yang membahas peningkatan kapasitas jalan sekitar tahun 2014 membuat Pakar Kehutanan Unhas Amran Ahmad tersentak. \”Pembangunan harus menjaga lingkungan. Kita tak anti-pembangunan. Namun, harus memperhatikan efek lingkungan,\” kata Amran yang juga tim independen Kementerian Kehutanan Indonesia, yang bertugas menganalisis rencana pembangunan jalan kala itu. Bagian ini memaparkan betapa krusialnya Kars bagi ketersediaan air. Bukit kapur yang mengandung mineral karbonat itu menjadi sumber kehidupan yang diperhadapkan dengan infrastruktur perbukitan kars. Ancaman karsifikasi dan ketersediaan air, dijelaskan secara rinci oleh narasumber yang berkompeten. Selain itu, kondisi vegetasi di Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan yang juga berhubungan dengan ketersediaan air, seolah dapat mengajak kita melihat dari dekat lewat narasi Eko ini.
Bab yang lain, tentang Warga Dongi yang terusir dari tanah leluhurnya sendiri, sejak masa DI/TII di tahun 1952, hingga ketika mereka kembali justru berubah menjadi lapangan Golf PT Inco di tahun 1978. Eko merunutnya dengan begitu detail.
Persoalan warga yang berhadapan dengan PTPN XIV, warga dan PT Lonsum yang tak kunjung usai. Juga dampak penambangan di Pabrik Semen Bosowa bagi warga sekitar, hingga privatisasi sungai oleh perusahaan yang memutus akses jalan warga, ditulis dengan dukungan data yang keren tanpa mengenyampingkan cara bercerita yang runut.
Eko menyuarakan yang tak tersuarakan melalui narasi, perjuangan warga yang bahkan untuk mempertahankan haknya hingga mereka dikriminalisasi. Tulisan ini menggambarkan bagaimana perlakuan negara atau perusahaan beberapa tahun silam, juga pada alam, berupa dampak dari pembangunan yang ujung-ujungnya wargalah yang menanggungnya.
Tulisan ini juga mengajak kita belajar bahwa ekosistem hutan kondisi pesisir sekaligus, bisa menjadi perenungan mendalam dan membuka mata kita. Narasi ini begitu hidup. Eko mampu menghadirkan atmosfer tulisan, seperti suasana, udara, kondisi tanah, raut wajah narasumber saat menghadapi pergolakan nasib, membuat saya seolah melihat langsung dan berada dalam kondisi demikian. Perasaan warga begitu tergambar jelas, hingga emosi dalam bentuk apa pun, seolah bisa saya rasakan.
Bagi saya, ini membuat beberapa pandangan apatis sebagian besar orang terhadap menurunnya kepercayaan publik pada wartawan, ternyata masih ada wartawan yang memegang teguh prinsip jurnalistik. Eko bersuara dengan menulis. Saya salut.
Terkait etika resensi buku, maka dalam buku dengan sub judul sekitar 30-an, maka saya tidak menyebutkan secara terperinci mengenai isinya, tapi penilaian saya buku ini padat data, mengandung pesan, dan mengajak pembaca melihat dari dekat pejuangan warga, harapan-harapan dari mata mereka yang terus bertahan dan berjuang atas nama hak dan harga diri leluhur.
Judul: Titik Krisis di Sulawesi , NARASI JURNALISTIK ATAS KEHANCURAN RUANG DAN SUMBER DAYA ALAM
Penulis: Eko Rusdianto
Penerbit: carabaca
Editor: Muhammad Ridha
Penata Letak: Mktb
Sampul: Joko Suprianto
ISBN: 978-602-1175-70-5
Tahun Terbit: 2020
Jumlah Halaman: 225
(Peresensi: Amy Djafar)