Belajar dari Pekarangan: ‘Apotek Hidup’ Perempuan Adat Kaluppini di Tengah Krisis Iklim

Penulis: Taufik Syahrandi

Tahun ini, saya berkesempatan terlibat dalam program Connections Through Culture (CTC), kerja sama antara British Council dengan Makassar International Writers Festival (MIWF). Tema yang diangkat adalah Marginalised Women’s Voices on Climate Emergency in Sulawesi and Wales, sebuah gagasan besar yang lahir dari kesadaran bahwa krisis iklim tidak pernah netral. Perubahan iklim membawa dampak nyata yang paling berat dirasakan oleh kelompok yang selama ini dipinggirkan, yaitu perempuan, masyarakat adat, dan komunitas lokal. Dari ruang diskusi itu, saya bersama Komunitas Budaya Sapulo Tallu mulai bertanya, isu apa yang paling relevan untuk dibicarakan dari perspektif Kaluppini, kampung tempat saya lahir dan tumbuh.

Jawabannya muncul dari obrolan sederhana, yakni pekarangan. Dari kebun kecil di samping rumah, dari daun-daun yang kadang dianggap rumput liar direbus menjadi obat asam lambung, dari umbi-umbian yang bisa mengganjal perut ketika paceklik datang. Perempuan adat Kaluppini menyimpan pengetahuan berharga tentang pangan dan obat, sebuah apotek hidup yang menopang kehidupan sehari-hari meski jarang dianggap sebagai ilmu. Di tengah perubahan iklim yang mengacaukan musim tanam dan mengancam ketersediaan pangan, pengetahuan inilah yang justru menjadi jangkar bagi komunitas.

Kami memulai kegiatan dengan berkumpul di Kantor Desa Kaluppini. Di sana anak-anak, pemuda, dan orang tua duduk bersama untuk mendengar arahan tentang tujuan kegiatan dan bagaimana prosesnya akan berjalan. Suasana terasa akrab, para ibu memberi penjelasan awal mengenai pentingnya mengenal tumbuhan di sekitar rumah. Setelah itu, peserta dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing dipimpin oleh seorang ibu yang menjadi sumber pengetahuan utama. Ada Ibu Hayati, Mama Maman, dan Mama Nabila.

Tiga kelompok ini kemudian berpencar ke dua wilayah kampung, yaitu Dusun Palli dan Dusun Tana Doko. Setiap kelompok berjalan menyusuri jalanan kampung dan pekarangan warga sambil memperhatikan tumbuhan yang tumbuh di sekitarnya. Anak-anak terlihat antusias bertanya, apakah daun ini bisa dimakan, apakah yang itu bisa dijadikan obat, dan bagaimana cara mengolahnya. Bagi anak-anak, tanaman yang mereka kumpulkan sebagian besar belum mereka ketahui nama dan fungsinya apa. Dari proses ini, berhasil terkumpul sekitar lima puluh jenis daun yang memiliki fungsi berbeda, mulai dari bahan pangan hingga ramuan obat tradisional.

Suasana menjadi semakin hidup ketika semua catatan itu kami bawa kembali ke kantor desa. Dengan kertas plano besar, anak-anak menuliskan kembali nama-nama tumbuhan, lalu bersama-sama kami mengelompokkan berdasarkan khasiatnya. Ada tanaman untuk mengatasi sakit perut, ada yang untuk obat sakit gigi, ada yang untuk luka ringan, penurun panas, hingga pengganti makanan pokok. Ruang itu berubah menjadi semacam kelas terbuka di mana pengetahuan yang selama ini tercecer di kepala para orang tua kini berpindah tangan, berpindah generasi, dan menjadi ingatan kolektif.

Dari proses ini, saya merasakan betapa pengetahuan perempuan adat Kaluppini bukan hanya kumpulan resep atau ramuan, melainkan strategi bertahan hidup. Pengetahuan itu lahir dari pengalaman panjang hidup berdampingan dengan alam, teruji oleh krisis demi krisis, dan diwariskan dengan cara paling sederhana melalui percakapan sehari-hari serta praktik di kebun dan dapur. Namun saya juga menyadari bahwa jika tidak ada upaya mendokumentasikan dan meneruskan, pengetahuan ini bisa hilang, terkikis oleh modernisasi, dan terpinggirkan oleh arus besar pengetahuan yang dianggap lebih ilmiah.

Refleksi lain yang saya dapat adalah tentang cara kita membicarakan krisis iklim. Selama ini, wacana iklim sering hadir dalam bahasa yang jauh dari keseharian, misalnya suhu global, data emisi karbon, atau jargon internasional. Tetapi di Kaluppini, krisis iklim tampak jelas di pekarangan rumah. Ia hadir ketika satu jenis tanaman tidak lagi tumbuh subur, ketika musim panen bergeser, atau ketika ibu-ibu harus mencari alternatif bahan makanan untuk keluarga mereka. Krisis itu nyata, bukan sekadar konsep. Dan perempuan adatlah yang paling dulu merasakan sekaligus mencari jalan keluar.

Bagi saya, keterlibatan dalam proses ini adalah pengalaman pulang. Pulang bukan hanya dalam arti fisik ke kampung halaman, tetapi juga pulang pada pengetahuan yang pernah saya abaikan, pulang pada kearifan yang selalu ada namun jarang dianggap penting. Saya belajar bahwa untuk menghadapi krisis global, kita tidak bisa hanya mengandalkan solusi dari luar. Justru pengetahuan lokal yang tumbuh di pekarangan dan diingat oleh perempuan adat adalah bagian dari jawabannya.

Karena itu, pekerjaan ini belum selesai. Mengumpulkan data hanyalah langkah awal. Yang lebih penting adalah menjaga agar pengetahuan ini tetap hidup, diwariskan, dan dipraktikkan oleh generasi berikutnya. Saya semakin yakin bahwa suara perempuan adat Kaluppini bukan hanya perlu didengar, tetapi juga dijadikan fondasi dalam membayangkan masa depan yang lebih tangguh di tengah krisis iklim.

E-Zine ini adalah Output dari Project Marginalised Women’sVoices on Climate Emergency in Sulawesi and Wales, kolaborasi Makassar International Writers’ Festival (MIWF) dan Literature Across Frontiers (LAF) didukung oleh British Council melalui ‘Connections Through Culture Fund’

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top