Berjalan Kaki sebagai Seni, Refleksi Pribadi dan Pemaknaan Situasi Kota

MAKASSAR – Program pembuka hari terakhir Makassar International Writers Festival (MIWF) 2025, “The Journey Motif: Berjalan Kaki sebagai Seni”, menjadi sarana refleksi bagi pesertanya. Program yang difasilitatori oleh Ibe S. Palogai, inisiator kolektif Fermentasi Radiasi dan penerbit Footnote Press itu mengajak para peserta berjalan kaki tanpa gawai dan tanpa interaksi dengan peserta lain. Mereka menempuh perjalanan reflektif mengenai kondisi pribadi dan memaknai situasi perkotaan sepanjang jalan dari Fort Rotterdam hingga Kompleks Makam Raja-raja Tallo.

Perjalanan tujuh kilometer pada Minggu pagi (1/6/2025) itu menandai peluncuran buku Ibe yang berjudul “Berjalan Kaki sebagai Seni”. Ada lebih dari sepuluh peserta mengikuti program yang dimulai sekitar pukul 07.30 pagi itu.

Adapun sepajang perjalanan, para peserta tidak diperkenankan menggunakan gawai dan tidak diizinkan berbicara dengan peserta lainnya. “Perjalanan ini menjadi refleksi mengenai makna kota (Makassar) ini, makna tempat-tempat yang akan dilewati nanti, dan untuk siapa kota ini ada,” kata Ibe memulai rangkaian program.

Berjalan kaki sebagai seni merupakan perenungan Ibe kala merumuskan kembali berjalan kaki sebagai pengalaman artistik yang membuka ruang bagi perenungan itu sendiri dan pencatatan. Ibe mengajak peserta berkomunikasi dengan situasi perkotaan mulai dari sekitar benteng Fort Rotterdam, kawasan pecinan, hingga perbatasan area kota dan area utara Kota Makassar.

Ada hal-hal kontras yang menunjukkan perbedaan signifikan antara area kota dan area utara Makassar. Perbedaan itu ialahkondisi udara, struktur jalan, jenis bangunan, bahkan situasi pergerakan masyarakat. Ini disebutkan oleh masing-masing peserta saat panel diskusi seusai berjalan kaki.

Peserta duduk membentuk lingkaran di gazebo yang terbuat dari kayu, yang terletak di Kompleks Makam Raja-raja Tallo. Mereka (peserta) diminta untuk menceritakan pengalaman masing-masing selama perjalanan. Cerita mereka pun bervariasi.

Ada yang mengungkap, kegiatan jalan kaki pagi itu adalah giat penuh makna kala mengawali Juni. Ada juga yang menyadari, sepotong ingatan atau memori kecil dari masa lalu ternyata mampu menemani kesendirian masa kini. Bahkan, ada yang merasa terhubung kembali dengan diri sendiri saat berjalan kaki menyisir kota Makassar sampai daerah pinggirannya di utara.

Yusran (24) adalah salah satunya. Ia mengakui, sudah lama kebisingan kota membuat dia tidak lagi berkomunikasi dengan diri sendiri. Programm berjalan kaki itu kemudian membuatnya terhubung kembali dengan diri sendiri karena tidak ada gawai yang mendistraksi.

Hal serupa turut dirasakan Gitannisa (21). “Jalan kaki tanpa handphone bikin lebih enjoy. Sebenarnya tadi malam, saya lagi banyak pikiran. Saya kira pas jalan akan membuat saya tidak fokus. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya,” kata Gita.

Ia pun menceritakan, tampilan masyarakat pinggiran membuat Gitta bersyukur. Ia melihat potret realita masyarakat sub-urban yang memiliki akses terbatas. Tidak seperti masyarakat di tengah kota. “Hidup yang saya keluhkan ternyata (barangkali) adalah impiannya orang lain,” ucap Gita sarat refleksi.

 

Penulis : Christina Mutiarani Jeinifer Sinadia

Fotografer : Andi Alan Galan Savana

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top