[Wawancara Khusus] Boy Candra dan Karya-karyanya yang Mengasuh Kota Padang

MAKASSAR – “Ikhlas itu ibarat lautan, tinggal manusia saja yang mampu menyelami atau tidak,” ungkap Boy Candra, penulis asal Kota Padang, Sumatra Barat, di hadapan para peserta diskusi panel. Ada lebih dari 30 karyanya yang sudah terbit dan berlabel best seller. Mulai dari “Sebuah Usaha Melupakan” (2016), “Jatuh dan Cinta” (2017), “Trauma” (2020) dan “Menikmati Manis Racun di Bibirmu” (2022),

Boy seolah menjadi penerus generasi penulis bergenre roman asal Sumatra Barat. Di awal abad ke-20 saja ada banyak nama besar yang meramaikan dunia kesussasteraan. Sebut saja Nur Soetan Iskandar, Marah Roesli, Abdul Moeis, Toelis Soetan Sati, hingga Aman Datuk Madjoindo.

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2025 menjadi kali keduanya meyambangi Kota Makassar. Kunjungannya kali ini terasa Istimewa sebab dirangkaikan dengan peluncuran novel terbarunya “Ikhlas Penuh Luka” yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU). Novel tersebut, yang menjadi karya tulis ke-31 dalam karier kepenulisan Boy, berangkat dari cinta terhadap tanah lahirnya yakni Padang.

Tim Relasi Media MIWF berkesempatan mewawancarai sang penulis pada Sabtu siang (31/5/2025), setelah program “Peluncuran Buku: Ikhlas Penuh Luka” yang berlangsung di Gedung I, Fort Rotterdam Makassar. Selama 15 menit, Boy berbicara banyak hal. Mulai dari hubungan tema MIWF tahun ini dengan karya terbarunya, proses kreatif hingga pandangan Boy terhadap penggunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI). Berikut ini wawancara lengkapnya.

1. Boleh perkenalkan terlebih dahulu tentang diri Anda dan sejak kapan mulai menulis?

Saya Boy Candra, saya dari Padang. Saya itu mulai menulis tahun 2011. Saya merasa menulis itu salah satu kesempatan kerja yang merdeka yang harus diperjuangankan.

2. Tema MIWF tahun ini adalah “Land and Hand”. Bagaimana Anda melihat relasi antara manusia, tanah, dan kerja tangan dalam novel “Ikhlas Penuh Luka”? Apakah ada simbol atau metafora yang sengaja Anda tanamkan?

Sebetulnya secara kebetulan novel saya itu juga melakukan pendekatan yang sama, ya. Saya itu meromantisasi Padang. Padang itu kota tempat saya tinggal. Itu juga salah satu cara saya untuk lebih mencintai tempat tinggal kita karena tangan dan tanah itu sesuatu yang nggak bisa kita pisahkan. Kalau tangan kita nggak ngerawat dengan baik, mungkin tanahnya jadi hancur. Jadi kita harus sebijak mungkin menggunakan tangan kita. Termasuk dalam menulis cerita. Jadi saya memanfaatkan tangan saya untuk menulis cerita tentang Padang, agar orang-orang sadar tempat tinggal itu sangat penting bagi kita untuk dijaga.

3. Apa yang mendorong Anda menulis “Ikhlas Penuh Luka”? Apakah ada pengalaman pribadi atau observasi sosial yang memengaruhinya?

Jadi yang paling mendorong sih kegelisahan saya. Pertama, melihat ngelihat tidak banyak yang menulis Padang hari ini. Kebanyakan itu tentang Padang masa lampau atau Minangkabau masa lampau, ya. Saya mencoba mengambil peluang itu mengisi kekosongan yang ada untuk menulis novel dengan latar cerita itu Padang hari ini, yang lebih dekat dengan kehidupan saya dan generasi saya. Semacam usaha saya untuk ngerekam. Hal-hal yang ada di Padang yang bisa saya tangkap tapi saya simpan dalam cerita fiksi.

4. Sebagai penulis yang karyanya banyak dibicarakan, bagaimana Anda melihat peran festival sastra seperti MIWF dalam membangun dialog antara sastra, isu sosial, dan pembaca?

Saya pertama kali datang ke MIWF ini 2018 dan sejak saat itu saya jadi pengagum MIWF. Jadi saya kagum banget sama Aan Mansyur dan teman-temannya yang terima kasih udah bikin sastra atau tulisan itu sangat dekat dengan masyarakat dan saya merasakan itu di MIWF, terutama acara malam yang baca puisi.

5. Apa harapan Anda bagi pembaca setelah mereka menyelesaikan novel ini, terutama dalam konteks refleksi tentang manusia, tanah, dan kerja hidup?

Secara pribadi sebetulnya ‘kan ini keinginan saya untuk mencintai kota saya. Saya juga ingin orang-orang yang membaca novel saya juga cinta sama kotanya masing-masing. Kadang-kadang kita hanya tinggal di satu kota tanpa pernah benar-benar mengenal kota itu. Saya juga merasakan itu dan saya sadar saat menulis novel ini ternyata saya nggak sekenal itu sama Padang. Akhirnya, saya cari tahu lagi tuh ini jalan apa ya namanya? Ini makanan apa ya? Ini tempat ini bagaimana sejarahnya. Lalu, saya pun berharap semua orang makin sadar itu dan makin cinta sama kotanya, makin menjaga kotanya masing-masing sehingga kita bisa punya kesetaraan yang sama di Indonesia.

6. Judulnya terdengar paradoks, “Ikhlas Penuh Luka”. Bagaimana Anda mendefinisikan “ikhlas” dalam konteks cerita ini? Apakah ia sebuah pembebasan atau justru bentuk lain dari luka?

Karena di Indonesia negara yang religius, ya. Orang-orangnya banyak yang merasa religius. Jadi kita tuh seolah-olah ikhlas itu cuman diartikan alat untuk supaya damai, supaya tentram. Padahal dalam prakteknya, meski kita berusaha ikhlas, kita tetap terluka sebetulnya. Kita tetap menyimpan luka dalam diri kita. Jadi yang jarang dibicarakan orang bagian itu.  Saya pengen orang-orang sadar kalau ikhlas itu bukan soal langsung damai. Namun, soal untuk berusaha menyembuhkan luka kita. Sementara itu, luka itu mungkin juga nggak hilang, hanya kita tetap berusaha untuk (menjalani) hidup saja.

7. Berdasarkan hasil pembacaan saya dari beberapa review pembaca di medsos? Keluarga dalam novel ini tampak menjadi sumber luka sekaligus kekuatan. Bagaimana Anda membangun dinamika itu? Apakah ada pola relasi (orang tua-anak, saudara) yang sengaja dieksplorasi?

Buku-buku saya kebanyakan, itu tokohnya emang lebih banyak itu relasi antara anak dan ayah. Termasuk di novel ini, lebih banyak itu anak dan ayah, karena saya juga sebetulnya lebih dekat dengan hal itu. Selain itu, ibu saya kan meninggal waktu saya masih kecil. Saya tidak punya banyak ingatan tentang ibu saya.

8. Tanggapan Anda mengenai peran AI (Artificial Intelligence) terhadap pengaruhnya untuk karya sastra sendiri?

Saya tidak anti AI, tapi saya belum pernah memakai AI untuk berkarya. Masih percaya perasaan, emosi itu emang dibentuk dari latihan, dari mengalami. AI mungkin mempercepat bekerja saja.

9. Berbicara mengenai riset karya, bagian yang paling sulit dalam prosesnya itu apa?

Kalau riset sekarang itu sebetulnya nggak terlalu sulit, ya. Internet juga, informasi juga banyak. Terus kita juga bisa dapat informasi yang banyak dari orang langsung. Justru yang sulit itu mengatur komposisinya, supaya tetap jadi novel yang bisa dinikmati orang muda. Saya ngerasa tantangannya itu justru di situ.

10. Pertanyaan terakhir, apa pesan untuk orang-orang yang baru ingin berkarier di dunia kepenulisan di era sekarang ini?

Pertama sih harus berani. Berani aja menjadi dirimu sendiri. Kamu hanya perlu bersuara dengan apa yang pengen kamu suarakan. Kedua itu memanfaatkan teknologi. Apalagi kalau kita yang di daerah, ya. Namun, kalau misalnya tidak memanfaatkan media sosial, mungkin kita akan lebih cepat tenggelam karena sekarang ‘kan media sosial itu informasi banyak banget. Kita tuh harus mau nyelip di situ, supaya kita tetap terlihat di arusnya.

 

Penulis : Hervin Al Jumari

Fotografer : Eghi Algipari

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top