MAKASSAR — Bagi pencinta musik, Hirah Sanada dikenal sebagai musisi tunggal asal Makassar yang bernyanyi dan menyisipkan permainan biola pada setiap penampilannya. Dia memulai karier bermusiknya pada 2019, yang ditandai dengan perilisan lagu pertama yang ia tulis dengan judul Berpindah.
Tahun ini, Hirah Sanada mendapat kehormatan menjadi ilustrator official artwork Makassar International Writers Festival (MIWF) tahun ini sekaligus mengisi program sebagai panelis. Selain itu, pengunjung juga berkesempatan menyaksikan kolaborasinya bersama penulis dan seniman di acara tahunan tersebut.
Bagaimana Hirah Sanada menjalani waktunya sebagai seorang seniman yang menekuni bidang musik dan rupa? Bagaimana pula dengan proses kreatifnya saat membuat official artwork ini? Berikut ini wawancara khusus yang dilakukan MIWF dengan Hirah Sanada yang dilakukan di Rumata’ ArtSpace pada Jumat (17/5/2024) sore.
- Halo Hirah, bisa perkenalkan diri kamu ke pembaca? Jelaskan juga sedikit tentang kesibukan sekarang?
Saya itu sebenarnya bisa dibilang seniman, karena saya menekuni bidang musik dan rupa, terus di Makassar International Writers Festival (MIWF) saya menjadi ilustrator. Dan kesibukanku akhir-akhir ini, itu adalah menekuni dunia (seni) rupa sih sebenarnya.
- Apa yang membuat Hirah memutuskan menekuni seni ilustrasi? Ada motivasi khusus mungkin?
Kalau secara personal saya merasa punya kekurangan dalam mengutarakan apa yang saya pikirkan, saya tidak jago berkata-kata dalam tulisan, saya tidak jago ngomong di depan orang. Jadi, menurutku membuat karya seni seperti ilustrasi itu cukup membantu saya untuk memvisualisasikan apa yang ada di kepalaku.
- Bisa ceritakan sedikit asal inspirasi dan ide yang muncul dalam proses kreator artwork MIWF 2024 ini? Apalagi saya melihat ilustrasi ini memiliki nyawa dan personifikasi.
Brief awalnya Kak Aan (Aan Mansyur) itu kan, tentang apa ya, kan namanya mothering-othering (m/othering). Jadi, bagaimana kita merangkul orang-orang yang mungkin selama ini merasa terpinggirkan, atau maksudnya mungkin tidak ada dalam eye side-nya orang-orang pada umumnya. Itu menurutku, keberagaman itu bisa kubentuk menjadi keberagaman-keberagaman baru dalam (untuk) ilustrasi.
Dan inspirasi pertamaku itu mengapa bunga (tumbuhan)? Karena iya dia tumbuh ceritanya, sama seperti kita manusia. Cuma maksudnya kalau manusia itu kan terlalu obvious, karena ceritanya yang kita bahasa itu di manusia, ada laki-laki dan perempuan. Jadi, kalau misalnya saya gambar perempuan maksudku, feminin itu juga kan ada pada laki-laki, jadi kalau misalnya saya menggambar itu dalam rupa manusia, itu jadinya terlalu obvious, terlalu apa ya, tidak mewakili dua gender, artinya ini susah untuk dibuat. Maksudnya, kalau dalam bentuk tumbuhan itu menurutku tidak ada gendernya. Secara visual enak sekali dibilang tidak ada gendernya.
Kebetulan saya suka sekali menggabungkan bentuk. Jadi, kayak saya berusaha untuk membuat kemungkinan-kemungkinan baru dari bentuk-bentuk yang ada. Misalnya, kayak kalau dilihat dari ilustrasiku itu ya adalah bunga yang mungkin kelopaknya satu jadi pena. Itu sebenarnya menyimbolkan jurnalis ceritanya, tapi di sisi lain kita bisa ambil kesimpulan kalau itu ceritanya kelopaknya tidak sempurna, tapi kita tidak pernah terpikir kalau itu tidak sempurna karena kita sudah melihat itu indah dan bisa menjadi sesuatu yang lain.
Itu yang selalu saya coba angkat dari karya-karyaku. Jelas sekali, ada yang itu tumbuhan piano terbalik itu, itu seperti terbalik ‘kan, tangkainya di bawah, terus umbinya di atas. Itu kan sebenarnya umbi-umbian. Selama ini kan umbi-umbian yang kelihatan cuman daunnya tuh naik ke atas, tapi ternyata yang berharga itu ada di bawah (tanah, red.).
- Apa yang terlintas dalam benak Hirah saat mendengar kata “m/othering”?
Satu kata yang muncul itu adalah “rangkul” sih sebenarnya. Saya selalu merasa ibu, kan kalau dibilang mothering sudah pasti ibu gitu. Cuman ibu di kepalaku itu sifatnya merangkul, baik itu secara sikap, maupun secara tidak terlihat.
Jadi, maksudnya untuk menjadi ibu, kita tidak harus jadi ibu dulu, semua bisa menjadi ibu untuk siapapun, dan dalam berbagai situasi. Makanya, ada salah satu ilustrasi bunga yang sangat besar.
- Masih berhubungan dengan tema MIWF tahun ini. Menurut Hirah, seberapa penting kita terus menjaga gagasan dan tindakan merawat atau mengasuh di tengah dunia yang semakin sibuk ini?
Sebenarnya di dunia yang semakin sibuk ini, akhirnya orang menjadi sibuk sendiri juga, kan. Maksudnya ketika kita dihadapkan atau diperdengarkan, apa sih yang terjadi di sekitar kita itu kadang-kadang itu, waktu untuk memikirkan hal itu tuh jadi mahal begitu, terlewatkan. Saya juga kalau ada masalah jadi punya kesibukan sendiri.
Nah, yang penting dari merawat hal berupa merangkul itu ceritanya ya bagaimana kita yang sifatnya lebih slowing down, soften everything, atau slow living dalam artian sebenarnya kamu bisa tetap jalan, tapi ayo kita ciba dulu rehat sejenak kayak ayo kita coba pikir orang lain, bahwa ada orang-orang di sekitarmu.
Karena kan kita biasanya kalau terlalu fokus, bahkan contohnya kalau kita kerja di ini depan laptop kan, kalau ada yang ajak bicara kan kita cuma “oh iya, ya!” Padahal kan kita juga tidak mendalami apa yang orang lain bilang. Jadi menurutku itu termasuk pentingnya cooling down the time.
- Apa Hirah punya pengalaman tersendiri yang berkaitan dengan MIWF? Sebagai pengunjung mungkin?
Pada tahun 2019 itu saya baru pertama kali mendengar tentang MIWF dari beberapa teman-temanku yang pelukis juga. Saya dulu punya komunitas, mereka bilang “Ayo kita melukis-lukis di taman bacanya MIWF.” Terus pada waktu itu kan saya memang belum tahu, dan belum punya teman penulis. Sungguh sangat tidak familiar itu penulis di kepalaku adalah sesuatu yang serius gitu.
Terus di tahun 2021, dipanggil nampil sama Hara, Rara Sekar. Nah, di 2019 saya baru tahu (MIWF), dan di 2021 saya jadi pengunjung dan nampil. Jadi, 2021 betul-betul baru saya datang ke MIWF.
- Tahun ini, Hirah terlibat langsung di MIWF sebagai ilustrator official artwork dan bahkan sebagai pembicara. Bisa ceritakan perasaan Hirah tentang itu?
Benar, di tahun ini alhamdulillah dipanggil menjadi ilustrator, sebagai pembicara, juga nanti akan berkolaborasi mengiringi Kak Theo (Theoresia Rumthe).
Sebenarnya hal yang paling saya senangi itu adalah, iya tadinya kan saya mikirnya menjadi penulis itu adalah sesuatu yang serius dan berkawan dengan penulis itu akan mungkin rasanya akan formal dan kaku begitu. Tetapi ternyata setelah saya ada dalam lingkungan ini, oh ternyata bukan cuma santai saja, tapi saya membutuhkan itu juga.
Itu ternyata yang membuat pemikiranku sebagai seniman, ternyata yang bahwa notabenenya sebagai seniman itu seperti apa sih, seaneh apa sih seniman itu, iya abstrak gitu. Dan semakin ke sini, penulis-penulis itu juga semakin membawa pemikiran-pemikiran baru. Jadi, pokoknya santai dan lebih tidak menegangkan, tidak ada benar salah juga, ternyata dalam menulis itu.
Saking inklusifnya itu bagi saya, ya itu ternyata saya bisa jadi penampil, saya bisa jadi ilustrator juga di sini, terus jadi panelis juga, jadi pengunjung juga. Saya senang sekali jadi punya ruang untuk menunjukkan karya saya.
Karena kan selama ini saya berpikir, apakah kalau misalnya saya menunjukkan semua bakatku dalam satu wkatu itu akan menjadi sesuatu yang berlebihan untuk orang. Namun, menurutku dengan rangkaian acara yang dibuat MIWF tidak membuat saya terlalu nampak berlebihan.
- Terakhir, apa pesan dan harapan Hirah untuk MIWF tahun ini?
Harapan dan pesan untuk MIWF, ya semoga ke depannya inklusifitas ini terasa di semua orang. Mengingat bahwa tema tahun ini m/othering, jadi semua orang merasakan zona amannya mereka di sini begitu.
Melihat MIWF ini juga akan sangat ramai, jadi semakin banyak kolaborasi dengan seniman-seniman lain begitu. Terus, apalagi ke depannya mungkin generasinya sudah bukan saya, ya. Mungkin generasi volunteer ini ada yang jadi panelis atau bagaimana. Melakukan dramatic reading atau memegang a cup of poetry menggantikan kak Ibe S. Palogai yang juga sibuk.
Apalagi kan selama ini kan a cup of poetry hanya tempat orang membacakan puisi dengan intonasi puisi yang selama ini kita tahu, yang selama ini diajarkan guru bahasa Indonesia kita. Ternyata, kan bisa dibacakan dengan cara apapun, bisa diperlakukan seperti apa yang ada di Antologi Puisi, nanti ada DJ set-nya, ada musisi, ada sinrilik juga, dan sangat beragam, jadi saya suka sekali.
Dan semoga itu bisa tetap terjaga sampai tahun-tahun berikutnya.
Di MIWF 2024, Hirah Sanada akan menjadi panelis untuk program Musically Speaking : Words and Chords yang berlangsung pada Jumat 24 Mei 2024 pukul 16.00 – 18.00 WITA. Turut serta menemani Hirah sebagai pembicara yakni solois Azimah Fada, penulis lagu Reda Gaudiamo, pendiri Unspoken – Bali Poetry Slam yakni Virginia Helzanika serta seniman Luka Kharisma.
Penulis : Fatmawati Hamzading
Fotografer : Muhammad Ishaq