“Menulis ini salah satu kontribusi yang bisa saya berikan.”
“Apa sih kontribusi yang bisa saya berikan ke negara saya, Indonesia, saat berada diluar negeri?” Pertanyaan ini selalu menghantui Intan Paramaditha salah satu penulis yang dijuluki Expatriate Writers. Penulis yang baru saja mengeluarkan buku berjudul “Gentayangan” ini telah menjalani kehidupannya di luar negeri berpindah-pindah dari San Diego, Amsterdam, New York, yang akhirnya memilih menetap di Sydney, Australia.
Expatriate, dalam kamus bahasa Inggris Oxford merujuk pada orang yang tinggal di negara kelahiran atau asalnya tanpa merinci latar belakang rasnya. Selain Intan, Clarissa Gunawan, dan Nuril Basri adalah penulis yang juga mendapat julukan Expatriate Writers. Ketiganya berbagi di Makassar International Writers Festival (MIWF) dalam program bertajuk Far From Home: Stories of Indonesian Expatriate Writers, yang berlangsung di Ruang I La Galigo, Fort Rotterdam, Makassar, Kamis, 27 Juni 2019.
Selain berprofesi sebagai penulis fiksi, Intan juga mengajar setelah menyelesaikan gelar doktoralnya di Universitas New York. Ia mengawali sesinya dengan pertanyaan pendek, namun berhasil memantik pikiran peserta yang hadir di Ruang I La Galigo. Intan juga menyampaikan kritiknya tentang perkembangan pengetahuan di Dunia yang semakin luas, namun ironinya karena cara berpikir manusia semakin sempit. Pemaparan Intan mengundang sorak tepuk tangan dari para peserta yang memenuhi ruangan.
Berbeda dengan Intan, Clarissa memutuskan menetap di Singapura. Tekanan hidup yang cukup berat terutama dari segi finansial selama residensi di Singapura membuat Risa, begitu ia akrab disapa, memutuskan untuk menulis. Baginya liburan paling asyik adalah membaca, dan hobi paling murah adalah menulis.
Hingga akhirnya, ketekunan perempuan asal Surabaya ini untuk menulis, membuat dia meninggalkan gaya hidup mewah dan hura-hura ala anak muda perkotaan. Risa memulai karir kepenulisannya dengan sebuah buku berjudul “Rianbird”, buku yang menjadi rekomendasi situs The Asian Writers sebagai salah satu buku yang wajib dibaca ditahun 2018. Ia berhasil menerbitkan karyanya di Amerika, Singapura, dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Tulisan-tulisan Intan sendiri sering kali menyisipkan topik gender, seksualitas, budaya, dan politik. Terkait bukunya “Gentayangan”, kata Intan, hanya sebuah metafora, bukan berarti arwah yang tidak tenang, tetapi suatu kondisi “in between”, perasaan berada ditengah-tengah, yang pasti dialami oleh para manusia yang bergerak di muka bumi ini. Bernaung tapi tak berumah, seperti manusia yang memiliki hasrat akan sesuatu, namun tak ingin meninggalkan rumah.
Diskusi yang dipandu tim Gramedia Pustaka Utama selanjutnya memberikan kesempatan kepada Nuril Basri untuk berbagi cerita, mengingat Lelaki kelahiran Tangerang ini bisa dibilang memiliki pengalaman kerja yang luar biasa unik. Sejak kecil ia telah bekerja sebagai penjaga warnet, pekerja gudang bengkel, kasir minimarket, guru privat, sales, hingga manager sekretaris di kedutaan Korea dan masih banyak lagi pekerjaan yang tak habis dicobanya. Saat ini ia bekerja sebagai seorang pelayan restoran di darat dan di kapal pesiar.
Pengalamannya yang beragam ini mengantarkan Nuril untuk bisa menciptakan eksperimen dalam genre dan tema tulisannya. Beberapa bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Malaysia seperti Love Lies and Indomiee, Not A Virgin, dan Rasa.
Moderator kembali mengambil alih acara setelah sesi perkenalan yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan yang dijawab bergantian oleh para expatriate writers ini. Dalam sesi ini, para pengunjung diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada para narasumber, yang ternyata mendapat apresiasi dari Gramedia Pustaka Utama berupa pemberian goodie bag bagi tiga orang yang mengajukan pertanyaan.
Moderator kemudian mempersilahkan seorang wanita yang terlihat sangat bersemangat, saat diberi kesempatan memegang mic untuk menyampaikan pertanyaannya. “Apakah menjadi seorang expatriate writers memberikan pengaruh terhadap rasa nasionalisme yang dimiliki ?”
Secara bergantian, para narasumber dipersilahkan untuk memberikan tanggapannya.
“Sebenarnya pertanyaan yang harus diajukan bukan seperti ini, kita yang hidup diluar dengan tetap menyandang kewarganegaraan Indonesia didiri kita harusnya mempertanyakan kontribusi apa yang bisa kita berikan saat tidak berada di wilayah negara kita? Nah, menulis ini salah satu kontribusi yang bisa saya berikan dengan tentunya tetap memperhatikan dan mengangkat kondisi lingkungan tempat saya tinggal sebagai bagian dari tulisan”, ucap Intan.
“Sejauh apapun saya, rumahku Indonesia. Dimanapun kita berada itu bukan perihal ruang (space), ini tentang senses of belonging, dimana hati kita berada”, kata Clarissa dengan penuh keyakinan. “Dimanapun saya tinggal, itu tidak akan mempengaruhi apa yang saya tulis”, ungkap Nuril menutup sesi tanya jawab tersebut.
Ternyata menjadi seorang penulis expatriate, jauh dari rumah, tidak menjadi penghalang untuk berkarya. (*)
Syarifah F. Yasmin