Kedatangan Ketiga di MIWF

Mario F. Lawi

* Catatan tentang keikutsertaan Pertukaran Penyair Indonesia Timur-UK sebagai rangkaian dari Makassar International Writers Festival 2019

Tahun ini, untuk kali ketiga, saya diundang untuk hadir di acara Makassar International Writers Festival (MIWF).

Pada 2013, saya diundang sebagai salah satu emerging writer dari Indonesia Timur. Lalu, pada 2014, saya diundang sebagai salah satu kurator buku puisi Isis dan Musim-Musim yang diluncurkan di festival. Kemudian berlanjut sebagai kedatangan ketiga pada 2019, melalui pilihan tiga kurator MIWF, sebagai salah satu peserta program Pertukaran Penyair UK-Indonesia Timur di Tahun Bahasa Daerah Internasional.

Hari pertama, 26 Juni 2019, terdapat dua momen perkenalan; pertama terjadi di ruang I La Galigo. Kami, para peserta program pertukaran penyair, diminta untuk saling memperkenalkan diri. Pada momen pertama ini, saya mulai mengenal Rufus, Billy dan Roseanne, tiga penyair peserta program pertukaran dari UK (United Kingdom).

Momen kedua terjadi pada malam pembukaan, kami diperkenalkan ke seluruh peserta festival di panggung utama Benteng Roterdam Makassar, 26 Juni 2019. Perkenalan pertama tidak hanya perkenalan saya dengan para peserta lain, tetapi juga dengan sesuatu bernama Indonesia melalui kacamata seorang penulis Agustinus Wibowo.

Untuk tiga hari berikut, para penyair peserta program ini memiliki sejumlah agenda, termasuk membicarakan perkembangan puisi Indonesia bersama Aan Mansyur, membicarakan program bertema mayoritas/ minoritas di Kampus UIN Alauddin Makassar, serta hal yang paling sering dibicarakan yakni bahasa daerah dalam konteks keberkaryaan di tempat masing-masing, serta bagaimana hubungan pekerjaan dengan kerja-kerja berpuisi yang dilakukan oleh para peserta.

Dari Roseanne, misalnya, saya tahu bahwa bahasa Shetland adalah bahasa yang sistem tertulisnya baru diajarkan setelah Roseanne tamat sekolah, dan dengan demikian bernasib tidak jauh berbeda dari bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia.

Sebelumnya, saya berpikir bahwa bahasa-bahasa Eropa telah memiliki sistem pengajaran yang teratur di sekolah-sekolah. Mendengarkan Roseanne membacakan puisi-puisinya pada sejumlah kesempatan, pada acara permainan puisi di Museum I La Galigo dan di panggung utama, seperti membayangkan kejadian-kejadian visual, seperti siluet seorang nelayan laut dalam yang pulang melaut.

Dari Rufus dan Billy, saya kembali diingatkan bahwa puisi pada mulanya adalah bunyi, sesuatu yang kadang terdengar sangat purba, tetapi bisa dihadirkan dalam bentuk-bentuk modern seperti musik rap, atau bunyi-bunyian yang memanfaatkan pengalaman sebagai sumber inspirasinya; dua hal yang dikerjakan dan ditampilkan dengan begitu indah oleh mereka berdua selama MIWF 2019 berlangsung.

Rufus berulang kali menyebut dirinya rapper, aspek penonjolan bunyi begitu dominan dalam pembacaan puisi-puisinya, tetapi tidak berarti tanpa kritik sosial. Sepanjang perjalanan kembali dari kampus UIN ke hotel, di dalam mobil, Rufus mengutarakan kecemasan-kecemasannya tentang gerakan anti LGBT dan bentuk diskriminasi lain yang terjadi entah di Indonesia maupun di tempat lain.

Bagi Billy, puisi adalah apa yang tersedia sebelum penciptaan, setidaknya itu yang saya tangkap dari pandangannya di sela diskusi lanskap puisi Indonesia bersama Aan, “Menulis atau mengucapkan puisi adalah cara untuk menyimpannya, tetapi puisi telah ada jauh sebelum itu,” katanya.
Dari ketiganya saya diingatkan bahwa khazanah sastra berbahasa Inggris hanyalah sebagian kecil dari khazanah kesusasteraan orang-orang UK, dan orang-orang seperti mereka tidak jauh berbeda dari semua penyair non-Inggris di berbagai belahan dunia yang mengusahakan agar bahasa mereka, yang turut membentuk khazanah sastra dunia, semakin diakui eksistensinya.

Selain diskusi lanskap puisi Indonesia bersama Aan Mansyur, kami juga berkesempatan mendengarkan bagaimana pengalaman Avianti Armand menulis puisi-puisinya yang merespons kisah-kisah dalam tradisi Perjanjian Lama, serta mendengarkan pandangan-pandangan Joko Pinurbo tentang kemajemukan dan responsnya melalui puisi-puisinya yang ia tulis tentang agama, atau buat Gus Dur di kampus UIN.

Dari interaksi yang intensif dengan Jamil dan Irma selama festival, saya disadarkan bahwa Indonesia punya begitu banyak khazanah, dengan segala kompleksitas, keunikannya, dan bahasa daerah hanya salah satu cara untuk mengungkapkan apa yang tersembunyi di balik khazanah-khazanah tersebut. Puisi-puisi mereka mungkin ditulis dalam bahasa Indonesia, disiarkan untuk orang-orang berbahasa Indonesia, tetapi tak jarang, misalnya dalam beberapa puisi Jamil, menampilkan konstruksi berpikir masyarakat-masyarakat yang mengalami kehidupan mereka dalam bahasa daerah.

Jamil juga mengelola kembali kisah-kisah yang beredar di tengah komunitasnya sebagai dongeng dan mitologi dalam sejumlah puisinya. Sementara Irma, meski tidak terlalu berinisiatif mengutarakan gagasan-gagasannya, tetapi dalam pendapat-pendapatnya kami tahu bahwa kecemasan berbahasa dan mengutarakan sesuatu juga tertampilkan dalam puisi-puisinya. Irma mengambil gagasan dari mana saja untuk ia kelola dari dalam puisinya, dan saya merasakan dalam perspektif tertentu strategi ini berpengaruh terhadap puisi-puisinya. Ia pernah menulis tentang Maria, Ibu Yesus, dalam salah satu puisinya. Ia juga pernah menulis puisi tentang seseorang yang bergerak dalam kobaran api, yang mengesankan suasana magis tetapi sekaligus tragis.

Puisi-puisi yang ditulis oleh kawan-kawan dari Indonesia yang mengikuti program ini menunjukkan persoalan bahwa potensi bahasa daerah sebagai bahasa sastra tertulis belum dimaksimalkan dan perlu kerja serius dari berbagai pihak.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top