Membaca Kritis Seperti Memecahkan Teka-Teki

“Cerpen yang baik adalah cerpen yang dalam lima menit pembacaan sudah mampu membuat kita percaya dengan ceritanya.”

Lily Yulianti Farid dan Intan Paramaditha, dua penulis Indonesia yang kini menetap di Australia, bertemu untuk menggagas hal yang menarik dalam dunia sastra dan film di Indonesia. Berangkat dari keresahan mereka terhadap sastra Indonesia, mereka memutuskan untuk membentuk Period Workshop.

Period Workshop, meskipun baru lahir pada 2018, namun sudah bergegas dan melaksanakan program pertamanya, yaitu Kelas Kritik Sastra dan Film yang terlaksana di Jakarta pada Desember 2018. Alasannya sederhana, Kelas Kritik Sastra dan Film ini sangat dibutuhkan dan diharapkan menjadi ruang baru di mana penulis maupun pembaca dapat membaca karya secara lebih kritis.

Di tahun ke-9 Makassar International Writers Festival (MIWF) yang kembali digelar selama 4 hari, 26-29 Juni 2019, dilaksanakan hal yang baru di MIWF. Period Workshop bekerja sama dengan MIWF melaksanakan program yang bertajuk Period Reading Circle.

Program Period Reading Circle ini, merupakan forum pembacaan karya yang dilaksanakan pada sore di hari ketiga MIWF di Ruang Chapel, Fort Rotterdam, Makassar. Menariknya, pada forum pembacaan ini, 8 perempuan penulis —Shinta Febriany, Henny Triskaideman, Dhianita Kusuma Pertiwi, Avianti Armand, Intan Paramaditha, Reda Gaudiamo, Lily Yulianti Farid, dan Maria Pankratia—saling membaca dan mempresentasikan hasil pembacaan mereka.

Karya-karya yang dibacakan pada program ini sangat beragam, mulai dari kumpulan cerpen, kumpulan puisi, naskah drama,  dan novel. Dipandu oleh Dewi Noviami, acara ini berlangsung sangat menarik, karena peserta yang hadir dapat melihat secara langsung bagaimana para sesama penulis saling membaca dan mengkritik karya. “Pembacaan ini harus kritis tapi tidak kejam,” ungkapnya sambil tertawa bercanda sebelum menyerahkan kepada Lily sebagai pembaca pertama yang mempresentasikan hasil bacaan terhadap karya Reda Gaudiamo.

“Cerpen yang baik adalah cerpen yang dalam lima menit pembacaan sudah mampu membuat kita percaya dengan ceritanya,” kata Lily atas pembacaannya terhadap cerpen “Anak Ibu” karya Reda Gaudiamo. Lily mengaku menemukan ini di cerpen Reda.

Selanjutnya, Reda membacakan “Museum Masa Kecil” yang merupakan kumpulan puisi karya Avianti Armand. Reda membuka dengan membacakan kutipan-kutipan puisi Avianti yang dilanjutkan dengan presentasinya “Ini bangsat sekali,” ungkapnya sambil tertawa sebab terpukau dengan karya Avianti.

Secara bergiliran, beberapa penulis selanjutnya melakukan hal yang sama. Shinta Febriany membaca “Buku Panduan Matematika Terapan” karya Henny Triskaideman; Maria Pankratia membaca kumpulan naskah drama karya Dhianita, sebaliknya Dhianita membaca kumpulan cerpen karya Maria. Begitu pula, Intan Paramaditha membaca “Ayahmu Bulan, Engkau Matahari” karya Lily, Henny Triskaideman membaca “Gentayangan” karya Intan Paramaditha, dan diakhiri dengan Avianti Armand yang membaca secara kritis kumpulan puisi “Gambar Kesunyian di Jendela” karya Shinta Febriany.

Hal menarik, ketika Shinta mempresentasikan hasil pembacaannya terhadap novel “Buku Panduan Matematika Terapan” karya Triskaideman. “Membaca buku ini seperti membaca sebuah teka-teki. Semakin saya membacanya, saya menemukan hal-hal yang sangat besar yang ingin disampaikan oleh Henny.” Ia menambahkan “melalui buku ini, kita diajak untuk melihat dunia dari matematika.”

Acara yang berlangsung pada pukul 16.00-18.00 WITA ini ditutup dengan sesi foto bersama. Beberapa peserta yang hadir pun tampak tak lega setelah akhirnya mendapatkan salah satu cara memandang dan membaca karya secara kritis.(*)

Abd.Wahab

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top