MAKASSAR – Diskusi betajuk “Literary Agent and Intellectual Rights in Publishing Industry” turut mengiringi hari kedua penyelenggaraan Makassar Internasional Writers Festival (MIWF). Diskusi yang menghadirkan Sugiyama Atsuo, Yani Kurniawan dan Gita Nanda ini berlangsung di Gedung K Benteng Fort Rotterdam, Kota Makassar, Jumat (24/5/2024) sore.
Sugiyama merupakan pekerja di perusahaan penerbitan jepang bernama Futabasha, Yani ialah pendiri agen sastra Literasia Creativa, sedangkan Gita merupakan penerjemah karya sastra asing utamnya sastra Amerika latin sekaligus pendiri Labirin Buku.
Diskusi yang mengulik tentang kerja-kerja agen sastra dan bagaimana hak intelektual industri sastra tersebut ditunggangi oleh Evelyn Ghozalli sebagai moderator, serta diikuti sebanyak 18 orang peserta.
Diskusi dibuka dengan pertanyaan yang dilontarkan Evelyn.
“Apa itu hak intelektual?,” tanya ilustrator itu.
Lalu dijawab Yani, dia mengatakan hak intelektual senada dengan istilah copyright yang lebih dekat dengan masyarakat awam.
Yani menerangkan jika hak intelektual adalah hak untuk memperoleh perlindungan atas karya yang lahir dari ide. Ide kata dia, apa bila berubah menjadi bentuk fisik, maka dapat diproteksi melalui copyright.
“Jadi kalau idenya lahir ke dalam bentuk tulisan segala macam dia dapat diproteksi. Namun selama masih sebatas ide, maka tidak terproteksi oleh copyright,” jelasnya.
Hak intelektual ini, kata Yani, secara umum ada dua, yakni hak ekonomi dan hak moral.
Agen sastra asal jepang Sugiyama Atsuo, mengatakan di negara asalnya, penerbit akan mengantongi dua hak atas karya si penulis sastra. Hak yang dimaksud Sugiyama adalah hak penerbitan dan hak-hak turunannya.
“Misalnya hak untuk dibuat menjadi film, hak untuk dibuat sebuah produk, apapun itu ada hak turunannya masing-masing, tentu saja mereka (penerbit) tidak bisa melakukan itu tanpa koordinasi pada penulisnya,” kata translator Sugiyama.
Sugiyama sebut dengan adanya hak yang dimiliki penerbit tersebut, maka penerbit bebas memilih production house mana yang layak mendapatkan hak untuk penggarapan film atau turunan-turunan dari karya sastra penulisnya.
Menanggalkan persoalan hak intelektual, Yani kemudian membahas tentang agen sastra yang minim bahkan setahunya tidak ada di Indonesia.
Yani mengatakan secara umum agen sastra adalah sosok yang mendampingi penulis. Membantu penulis dalam diskusi dan editorial karya penulis. Di sisi lain, agen juga bertugas menjual karya sastra.
Berkaca dari luar negeri seperti Amerika, Yani menjelaskan jika agen sastra punya peranan sebagai perantara. Jika di Indonesia penulis dan penerbit melakukan kontak langsung guna menerbitkan karya si penulis, maka di Amerika penerbit tidak menerima tulisan secara langsung dari penulis, tetapi melalui sang agen.
“Ada kemungkinan terbit, tapi penerbit lebih percaya pada agen-agen yang menjadi rekanan mereka,” sambungnya.
Kehadiran agen sastra menurut Yani penting lantaran Yani meyakini jika penulis harus menuangkan fokusnya hanya pada kerja-kerja menulis, sedangkan kerja-kerja pemasaran kata Yani harus dikerjakan oleh agen.
Bagi Yani, Indonesia masih butuh proses yang panjang untuk menciptakan ekosistem sastra yang baik. Dan untuk itu, negara perlu mewadahinya.
Penulis : Saldi Adrian