MIWF 2021 : Anthropause

MIWF tahun ini mengusung tema Anthropause, satu istilah yang masuk dalam kamus Oxford dan dikenalkan sebagai salah satu kata yang mewakili perasaan satwa dan alam ketika manusia tidak kemana-mana. Kata ini muncul dalam salam salah satu jurnal ilmiah, Nature, ketika sekelompok peneliti mencoba mengukur tingkat kebersihan udara ketika dunia penerbangan collapse akibat pandemi. Gejala alam yang juga muncul adalah satwa yang tidak pernah muncul di kota-kota besar, ternyata kembali.

\"\"

MIWF mendapatkan penghargaan dari London Book Fair. Semua penghargaan itu tidak akan bisa diperoleh tanpa adanya campur tangan volunteer/relawan dalam menyukseskan MIWF. Festival ini tidak akan terjadi jika tidak ada volunteer. Lily Yulianti Farid mengirimkan salam untuk semua teman-teman volunteer yang pernah membantu MIWF sepanjang perjalanannya sebagai sebuah festival.

MIWF mempercayai beberapa nilai, seperti kampanye anti korupsi. Lily Yulianti Farid juga menyebutkan bahwa kalau ada yang bisa berdiri paling depan untuk mendukung kemandirian KPK, kami ada di paling depannya. Empat tahun lalu, MIWF pernah mengumumkan tentang pungli yang dialami setiap tahun ketika menyewa heritage place. Ini adalah persoalan moral. Festival penulis telah berevolusi menjadi festival of ideas, festival of morals, festival of ethics, festival of values.

MIWF digerakkan oleh 85% perempuan dan sejak tahun 2018 secara resmi menggerakkan bahwa tidak boleh ada panel yang semua pembicaranya laki-laki.

Tahun 2019, MIWF berkomitmen untuk menjadi sebuah festival yang mengusung gerakan tak ada sampah yang berakhir ke tempat pembuangan sampah akhir. Para volunteer memungut sampah, memilah sampah, dan mengolah sampah tersebut. Ada sekitar 500 kg sampah, yang sebagian besar dapat diolah lagi, yaitu sampah organik yang tidak harus dibuang. MIWF juga sudah selesai dengan slogan bring your own tumbler, tetapi menekankan penolakan terhadap pembelian plastik sekali pakai.

Emerging Writers
Pada tahun 2021 ini, ada 148 naskah dari Kawasan Timur Indonesia. Kurator memilih 7 emerging writers yang memiliki keterampilan yang cakap untuk menuturkan gagasan-gagasannya dengan baik.

Tahun lalu, ada 143 karya yang dikirim oleh penulis-penulis dari KTI. Karya-karya ini umumnya menggunakan imaji, mitos, dan bahasa lokal yang cukup mirip seperti tahu-tahun sebelumnya yang bisa digali dan diberi perspektif baru.

MIWF selalu dalam persimpangan antara sastra dan aktivisme, salah satunya tidak ada panel yang isinya laki-laki semua. Selain itu juga dari urgensi yang diangkat, misalnya tahun ini mengangkat isu pekerja migran, pengungsi, dan komunitas difabel yang semuanya menggunakan tulisan untuk mengekspresikan diri.

Emerging writers yang terpilih adalah Jemmy Piran dari Flores Timur, Sitti Hajar dari Kupang, Septina Andriani dari Kalimantan Timur, Iin Farliani dari Mataram, Afrianto Kim dari Flores, Hairima dari Toli-Toli, dan Cecilia Tiffany dari Atambua.

Residensi penulis virtual diadakan tahun ini antara Indonesia dan Wales dengan bekerja bersama seniman dan penulis tuli. Teman-teman tuli mendapatkan mentorship dan support system berupa project manager dan beasiswa. Kegiatan ini berhasil dengan adanya dukungan dari British Council.

Ada pula program Reading The People of Asia, bagaimana memahami orang-orang Jepang yang tidak berhenti mengolah isu kesepian di kota-kota besar seperti Tokyo. Selain itu, melihat lahirnya gelombang penulis perempuan yang usianya bukan di puncak remaja, mereka menulis setelah berada di puncak kehidupan, seperti sebagai istri atau ibu.

Terakhir, Lily Yulianti Farid menambahkan bagaimana sebuah festival penulis seperti MIWF bisa menjadi garda terdepan yang membahas tentang iklim dan isu-isu lingkungan lainnya.

Suzy Hutomo
Suzy Hutomo hadir dengan project yang berjudul Postcards for An Empty Paradise. Proyek buku ini akan ditulis dalam Bahasa Inggris. Cerita dalam buku ini diambil oleh pengalaman Suzy selama tinggal di Sanur.

Dalam project ini, ada dua kacamata yang digunakan, yaitu kacamata Suzy sebagai environmentalist dan Pepeng sebagai fotografer. Hal yang mendasari buku ini adalah plastic waste sebagai satu hal yang tidak berkesudahan di Bali. Sampah dari Jawa dan bahkan sampah dari sungai di Bali itu sendiri.

Selama pandemi, lockdown dimulai setelah perayaan Nyepi. Suzy menemukan dampak besar selama lockdown bahwa no tourist, no plastic waste. Pekerja yang biasanya menjajakan jualan atau jasanya masih datang ke pantai untuk mencari nafkah meskipun di tengah lockdown.

Menurut Suzy, pantai yang awalnya selalu sibuk dengan pengunjung menjadi sangat sepi selama lockdown dan pemandangan ini sangat surreal. Semuanya sangat sepi, tetapi kini tampak seperti pulau berhantu.

Ketakutan terbesar bagi orang-orang di Bali adalah turis yang tidak akan datang selama masa pandemi. Terlebih 80% pendapatan di Bali bergantung pada kehadiran turis. Orang-orang jadi kembali ke pekerjaan mereka sebelum turis mulai ramai di Bali, misalnya menjadi petani ataupun nelayan sembari menunggu turis untuk kembali.

Yang paling menonjol adalah burung-burung yang tak pernah muncul, perlahan kembali selama lockdown, karena orang-orang tak lagi mengganggu mereka. Mereka menjadi lebih bebas dengan rumah mereka. Suzy menutup pemaparannya dengan sebuah gambar yang diambil dari bawah laut. Dari keindahan laut yang disaksikan dari atas/luar, ada sampah-sampah yang bersarang di dalam laut. Pernahkah kita memikirkan perasaan ikan-ikan yang rumahnya kedatangan banyak sampah?

Marina Mahatir
Marina Mahatir saat ini tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia mengikuti kelas Master of Biography and Creative Writing sebelum pandemi. Ia juga menambahkan satu hal yang dipelajarinya. “Jika kamu punya peluang untuk melakukan sesuatu, lakukan saja, jangan menunggu. Karena siapa yang akan tahu bahwa dunia akan berubah.”

Sejak pandemi, Marina mulai membuat buku, sebuah memoar. Buku ini tentang memoar dari hidup Marina sebagai anak seorang Mahatir. Ia mencoba menjawab rasa penasaran semua orang tentang itu dalam bukunya.

Marina menambahkan bahwa dia menulis di kolom surat kabar selama hampir 25 tahun. Dari yang hanya sekitar 800 sampai 1000an kata, Marina ditantang untuk membuat satu buku dengan lebih banyak jumlah kata di dalamnya.

Penguin Books juga telah menghubungi Marina untuk membagikan ceritanya sebagai anak dari seorang Mahatir. Dalam proses penulisan ini, Marina tidak fokus pada runutan kejadian yang sudah dia alami, tetapi apa saja hal yang terlintas di dalam pikirannya saat itu. Dari kumpulan cerita-cerita yang terlintas itulah, kemudian Marina merangkumnya dalam sebuah bab. Tentu saja hal ini tidaklah mudah, ia harus mampu menghubungkan setiap cerita menjadi satu bagian yang utuh.

Marina menuturkan bahwa ia tidak punya pilihan selain beradaptasi dengan kehidupan yang berbeda saat ayahnya menjabat. Selain itu, ia juga sebagai seorang public figure, terlepas dari ketenaran yang disemat oleh ayahnya. Ia adalah seorang aktivis di salah satu NGO yang berfokus pada isu HIV/AIDS. Orang-orang selalu menginterpretasikan Marina dari berbagai perspektif.

Pembacanya sangat baik, mereka yang membaca kolom yang ia tulis di surat kabar, terkadang menghampirinya saat bertemu di ruang publik. Mereka mengekspresikan apa yang dirasakan setelah membaca tulisan dari Marina. Menurutnya, ia menulis bukan tentang apa yang diinginkan oleh pembacanya, tetapi apa yang ia ingin tulis. Jika ternyata bisa terhubung dengan pembaca, itu suatu kesyukuran untuknya.

Ia menambahkan bahwa saat ini ia menjalankan sebuah program tv bernama 3R, Relax, Respect, Respond, untuk perempuan muda. Sebuah platform untuk perempuan mengemukakan idenya. Saat ini, ia juga menjadi Chair of the board of MUSAWAH. Marina juga menuturkan bahwa ia sangat menyukai travelling, terlepas dari privileged yang dimilikinya. Keresahannya terhadap kepercayaan diri perempuan untuk melakukan perjalanan membuatnya menggagas sebuah website yang membahas tentang perempuan dan travel, tetapi juga tetap percaya diri untuk melakukan perjalanan. Website ini sudah ada sejak tahun 2014 dan ia juga mengusung sebuah festival bernama ZafigoX. Sejak pandemi, ia menambahkan bahwa Zafigo melebarkan pertemuannya melalui virtual dan membahas berbagai isu. Selain itu, ia juga membuat sebuah siniar bernama Busy Reading Books yang membahas tentang buku, bukan hanya satu, tetapi banyak buku.

Sayaka Muraka
Hidup dalam situasi pandemi di Jepang seolah membongkar hidup Sayaka. Ia tidak tahu lagi apa yang membentuknya sebagai manusia. Di lain pihak, ia bisa melihat kemanusian itu dari sudut yang berbeda.

Ia yang biasanya bekerja dari kedai kopi dan mendengar percakapan pengunjung lain, kini beralih mendengarkan suara dari radio maupun teman-temannya obrolan di ponselnya. Ia beralih ke sosial media untuk mendengar lebih banyak. Ia jadi mempertanyakan kebiasaan yang dilakukannya. Apakah dia seperti itu karena menyerap kata-kata dari orang-orang terdekat dan orang-orang yang dikaguminya?

Ia mulai menafsirkan, apakah inti dari manusia itu sebenarnya hampa? Seperti sebuah cangkir yang diisi oleh emosi dan kata-kata. Ia bisa menjadi cangkir yang berisi air ataupun cangkir yang berisi jus jeruk.

Tokoh perempuan dalam novelnya ini jadi suatu pertanyaan baru baginya. Apakah perempuan dalam buku itu sebenarnya adalah dia?

Kenyataan yang Sayaka hadapi selama pandemi akan selalu mengendap dalam dirinya, mungkin suatu saat kenyataan ini akan muncul kembali menjadi sebuah karya. Dunia yang digambarkannya mungkin akan mengendap suatu waktu dan muncul kembali menjadi sebuah karya baru.

Gody Usnaat
Gody Usnaat tinggal di kabupaten Kerom, Jayapura. Ia aktif sebagai staf administrasi di sebuah gereja paroki di daerahnya. Setiap sore, ia membaca cerita untuk anak-anak di desanya. Gody menuliskan puisi-puisinya kemudian dikirim melalui Whatsapp ke temannya yang tinggal di Jayapura. Ide untuk menerbitkan puisi-puisinya ini datang dari temannya. Bukunya yang berjudul Mama Menganyam Noken diterbitkan oleh salah satu penerbit indie. Gody menutup perjumpaannya malam ini dengan pembacaan puisi.

Nicholas Saputra
Percakapan bersama Nicholas Saputra diawali dengan pemaparannya tentang film Semesta. Film ini hanya tayang selama sebulan sebelum akhirnya pandemi dan semua pergerakan dibatasi. Harapannya film ini tidak hanya ditayangkan di bioskop saja, tetapi juga bisa di sekolah-sekolah. Nicho juga berharap bisa mendengar ulasan teman-teman yang sudah menonton film ini, sayangnya tidak bisa tayang sehingga diinisiasi lah untuk menayangkan film Semesta di Netflix. Sosial media menjadi media bagi Nicho dan tim untuk mendengar komentar-komentar dari penonton.

Kisah di film ini sangat berhubungan dengan hal-hal yang dialami oleh banyak penonton, misalnya bagian yang menggambarkan Nyepi di Bali. Nicho juga mempertanyakan apakah bisa mengadaptasi hal ini di Indonesia atau bahkan di dunia? Kita berhenti sejenak selama satu hari untuk merayakan apa yang alam telah berikan, sekaligus waktu untuk bermeditasi dan menemukan diri sendiri, serta melakukan hal-hal di luar kebiasaan kita. Dari film Semesta, ia banyak belajar dan berefleksi dalam menghadapi situasi pandemi seperti sekarang.

Membicarakan agama dalam keterkaitannya tentang lingkungan di film Semesta ini dimulai dari pengalaman Nicholas saat terlibat dengan salah satu NGO untuk mengkampanyekan isu lingkungan pasca tsunami. Ia bertemu tokoh agama di sana dan mereka menyampaikan pesan itu dan mengaitkannya dengan sudut pandang Islam dalam khutbah Jumat. Nicholas kemudian bertanya, jika Islam saja bisa, bagaimana dengan agama lain? Adakah praktik-praktik seperti ini juga?

Saat mendengar kata Anthropause, yang muncul dalam pikirannya adalah kisah hidup Nicholas sendiri. Ini seperti jeda dari semua aktivitas dan perjalanan yang dilakukannya. Ia merasa momen ini adalah momen reflektif, memikirkan siapa dia dan hal-hal lainnya. Ini seperti perjalanan naik gunung yang dulu sering ia lakukan bersama teman-temannya, melewati medan yang sulit dan memahami karakter masing-masing. Hal ini juga terjadi saat pandemi. Ini masa untuk berhenti sejenak dan memikirkan banyak hal.

Setahun ini ia lebih sering berdiskusi dengan orang dibanding baca buku. Nicholas menambahkan bahwa sekarang lebih banyak waktu bisa dihabiskan dengan mengobrol dan ia mendapatkan begitu banyak hal dari situ.

Theory of Discoustic
Lagu songka bala (tolak bala) diinspirasi oleh situasi pandemi. Narasi yang digunakan berkaitan dengan lagu songka bala. Mereka melakukan riset terkait songka bala sebelum akhirnya mengemas ke dalam sebuah lagu.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top