Silence – Virtual Residency Project for Deaf Community

Sesi ini dimoderatori oleh Desca Ang. Dalam panel ini, ada tiga bahasa yang digunakan, yaitu bahasa isyarat Amerika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Dalam panel ini, ada satu kutipan yang diangkat, yaitu \”Di tengah perubahan kehidupan di masa pandemi, ekslusivitas hanya berlaku untuk orang-orang tertentu saja– lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak diuntungkan dalam situasi ini?’ Seperti teman-teman dari komunitas Tuli.”

Safyan Iqbal

Safyan Iqbal memiliki obsesi besar dalam pembuatan video. Ia mengejutkan kita dengan video yang ia buat. Video ini bercerita tentang dia yang lahir normal, tetapi semakin beranjak dewasa, dia mulai menunjukkan tanda-tanda dari tuli (tidak mendengar). Ia mencapai titik kesadaran akan situasinya di usia 9 tahun. Dokternya memberikan alat bantu pendengaran untuknya, hanya saja ada batasannya. Ibunya kemudian berinisiatif untuk belajar bahasa isyarat mengingat kondisi anaknya.

Pada tahun 2005, Safyan menjalani operasi implan koklea. Suara yang pertama kali didengarnya adalah suara bayi menangis dan suara anjing tetangga yang membuatnya menangis. Masuk ke jenjang sekolah menengah, dia mulai berkomunikasi dengan baik. Suara telah merubah hidupnya secara utuh. Dia dapat berkomunikasi dalam dua bahasa, bahasa isyarat Amerika (ASL) dan Bahasa Inggris verbal serta mendengarkan musik.

Dengan adanya komunitas tuli yang terus bersamanya semasa menjalani perkembangan hidupnya, dia merasa disertakan dan bahasa isyarat telah menjadi bahasa utama untuknya. Pada tahun 2018-2019, dia belajar tentang ITV. Program favoritnya adalah Justice League dan TMNT. Inilah yang membawanya pada ketertarikannya terhadap pembuatan video. Alasan lain karena dia ingin membuktikan bahwa teman-teman dari komunitas tuli juga mampu melakukan hal serupa. Ia membuktikan kepada penentang itu bahwa mereka salah.

Pandemi menciptakan situasi yang cukup berat dalam hidupnya. Ia harus tinggal di rumah dan ketika keluar, ia harus mengenakan masker. Hal ini tentu saja menyulitkannya untuk paham bahasa tubuh orang lain. Platform Zoom juga dapat membuatnya frustasi kadang-kadang. Ia lebih memilih ngobrol dan bertemu langsung dengan orang lain. Di tengah pandemi seperti saat ini, Safyan membenamkan dirinya ke dalam musik, seni peran, pertunjukan, dan siniar untuk membuatnya terus belajar dan memperoleh pengalaman.

Alexandra Buchler

Alexandra adalah Direktur dari Literatures Across Frontiers, sebuah platform yang berlokasi di Wales, Inggris. Dia juga adalah kreator, penerjemah, dan editor di bermacam-macam publikasi. Alexandra telah menerjemahkan 25 buku fiksi dan puisi antara bahasa asalnya, Bahasa Yunani, dan Bahasa Inggris. Menerjemahkan beberapa rangkaian dari suara baru editor dari Eropa dan di luar puisi dwibahasa. Dalam wawancara ini, ia akan menyatakan hubungan antara Frontiers dan MIWF.

Sebagai sebuah organisasi, Frontiers telah bekerja bersama organisasi sastra lainnya yang berada di Asia Tenggara. Frontiers berkolaborasi dengan MIWF sejak 2017 di London Book Fair, ketika Indonesia menjadi ‘fokus pasar’. Bagaimanapun juga ia tidak terlalu tertarik dengan sebutan itu, karena baginya Indonesia adalah sekumpulan budaya dan bahasa, bukanlah sebuah pasar.

British Council menyelenggarakan sebuah program kebudayaan yang diadakan tiap tahun di London Book Fair, yang kemudian menjadi residensi singkat antara Niall dan Faisal Oddang di Wales, Inggris. Niall seharusnya menghadiri MIWF sebagai pertukaran dari residensi tersebut, tetapi pandemi menerang. Kedua organisasi tetap saling menjaga hubungan hingga akhirnya muncullah gagasan tentang program ini.

Bagi Alexandra, project yang mereka kerjakan di tahun 2021 ini membuka matanya lebih lebar. Dia bersyukur dapat bekerjasama dengan Komite Seni Disabilitas, sebuah organisasi di Wales yang mendukung seniman dengan disabilitas. Dari organisasi inilah ia bertemu dengan Safyan. Safyan telah menggunakan bakatnya dalam mengadvokasi dan menciptakan hubungan antara komunitas tuli dan pendengar, menjelaskan batasan dan cara mengatasinya.

Niall Griffith

Ia lahir di Liverpool dan berbasis di Mid Wales selama seperempat abad. Niall telah menulis 8 novel, satu diantaranya ditulis ke dalam skenario dan memenangkan penghargaan film BAFTA. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, sayangnya belum dalam Bahasa Indonesia. Ia telah membaca beberapa buku karya Faisal Oddang yang telah diterjemahkan. Ia menemukan ketertarikan dalam sebagian dunia sastra kontemporer modern yang masih asing untuknya. Budaya yang sempat disebutkan oleh Alex adalah hal yang ingin ia eksplor, meskipun dia belum pernah berada di tempat tersebut.

Niall juga menceritakan pengalamannya mengajak Faisal untuk berkeliling melihat tempat-tempat di kota Wales yang jarang dikunjungi oleh wisatawan, seperti pondok kecil yang dia gunakan untuk menulis novel pertamanya. Tempat tersebut berada jauh di atas bukit. Bagi Niall, menyenangkan baginya untuk berbagi tentang budaya dengan Faisal.

Alex mendorongnya untuk bekerja bersama Safyan. Dia tertarik dengan cara Safyan menggunakan bahasa isyarat dan Bahasa Inggris yang kemudian dia interpretasikan dalam tulisannya. Inilah yang membuatnya tertarik untuk terlibat bersama Safyan. Baginya Safyan mampu menciptakan dialek yang aneh dalam Bahasa Inggris melalui sebuah puisi. Ia telah terpesona dengan dialek dan gerak isyarat atau ia menyebutnya sebagai ekspresi dari mode termarjinalkan.

Wadah untuk bereskpresi Safyan adalah video. Niall bekerjasama dan mengamati bagaimana gambar dapat menangkap beberapa kalimat. Dia menemukan kegunaan dari gambar di sini cukup berbeda dibandingkan pekerjaan yang ia lakukan sebelumnya di film dan tv. Tidak sama halnya dengan memiliki gambaran tentang ekspresi yang telah kamu pilih. Hal ini membuat pengalamannya jadi lebih terbuka.

Erni Aladjai

Erni adalah seorang penulis asal Indonesia. Ia menulis prosa dan berita. Hasil kerjaanya dalam bentuk pusi, cerita pendek, dan novel yang telah diterbiitkan dalam banyak media. Pada tahun 2011, ia terpilih menjadi emerging writers di MIWF. Ia juga berperan sebagai mentor Fitrah di program ini.

Menurutnya, Fitrah adalah seorang penulis. Ketika bertemu dengannya dalam project ini, secara instan ia dan Fitrah menemukan kecocokan. Projecy Silence ini telah memberikan ruang bagi penulis selama pandemi. Dia juga mendapat sedikit ruang utnuk menulis jurnal di tengah pandemi.

Lily Yulianti Farid

Silence adalah project dengan perencanaan yang cukup lama dnegan komunitas tuli di Makassar. Jika bukan karena juru bahasa isyarat, tidak akan ada sebuah pencerahaan tentang kebutuhan untuk.menciptakan dan memfasilitasi komunitas tuli di Makassar.

Tonton rekaman diskusinya melalui tautan berikut.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top