Oleh: Irma Agryanti
* Catatan tentang keikutsertaan Pertukaran Penyair Indonesia Timur-UK sebagai rangkaian dari Makassar International Writers Festival 2019.
Direktur Makassar International Writers Festival (MIWF), Lily Yulianti Farid saat konferensi pers MIWF 2019, mengatakan bahwa beberapa program kolaborasi Internasional yang digelar tahun ini diharapkan bisa menjadi awal dimana Indonesia Timur dapat membuka diri dalam kerja sama internasional tanpa perlu lagi melalui Jakarta.
Pernyataan tersebut bukan hanya menunjukkan bagaimana upaya yang terus dilakukan dalam membangun kesenian, kebudayaan, dan kesusastraan di Indonesia Timur, tetapi lebih dari itu, MIWF diharapkan dapat menjadi jembatan kebudayaan antar negara. Hal itu tentu saja menjadi sesuatu yang layak diapresiasi, mengingat tidak banyak festival serupa yang secara independen mampu mengusahakan kebudayaan dan kesenian Indonesia Timur tampil ke ranah internasional.
MIWF sendiri telah berkembang sebagai festival of ideas yang menjadi tempat bertemunya seniman lintas disiplin, budayawan, aktivis, serta intelektual untuk saling berbagi pengalaman dan cerita terkait karya satu sama lain dan dengan masyarakat Makassar sendiri secara luas.
Hal di atas pula saya rasa yang kemudian melatarbelakangi pemilihan tema MIWF tahun ini yaitu \”People\” dimana bermakna masyarakat, sehingga MIWF membuka banyak ruang-ruang percakapan tentang orang-orang biasa yang berdedikasi di berbagai bidang. Hal itu juga mengingat pasca-pemilihan umum di Indonesia, keterlibatan masyarakat dirasa seolah hanya diperhatikan saat perebutan kekuasaan saja. Padahal, peran masyarakat tidak hanya semata sebagai pemilik suara yang memenangkan salah satu kandidat saja, tetapi lebih sebagai pemilik suara yang membawa ide dan cakupan lebih luas bagi pembangunan negara.
Karena itulah, saya kira sangat tepat jika festival ini dimaknai sebagai perayaan hubungan pertemanan dan saling percaya antar satu sama lain, tanpa melihat lagi pilihan politik yang berbeda.
Tahun 2019 ini, MIWF selain menyelenggarakan berbagai peluncuran buku, diskusi, seminar, sesi membaca, teater boneka, tayangan film, dan pertunjukan-pertunjukan lainnya juga membuat sebuah terobosan, dengan mengadakan program Pertukaran Penyair Indonesia Timur-UK yang didukung oleh British Council dan Komite Buku Nasional.
Program ini berlangsung selama 5 hari, pada 26-30 Juni 2019 dengan melibatkan 6 penyair yaitu 3 dari Indonesia Timur, yakni Jamil Massa dari Gorontalo, Mario F Lawi dari Kupang, saya sendiri Irma Agryanti dari Lombok. Sementara itu, ada 3 peserta dari UK antara lain Roseanne Watt, Rufus Mufasa, dan William Letford.
Para kurator memilih 3 penyair Indonesia Timur, karena dianggap merupakan representasi festival yang selalu berfokus pada Indonesia Timur, baik dalam membangun kesenian, kebudayaan, dan kesusastraan.
Saya sendiri sebagai penyair terpilih dari Lombok merasa beruntung dapat bertemu dan berinteraksi langsung dengan ketiga penyair dari UK.
Selain itu, dalam rangka turut serta merayakan tahun internasional bahasa asli, program pertukaran penyair Indonesia Timur-UK ini mengajak 6 penyair terpilih untuk menyelami bahasa lokal dan berkolaborasi dalam karya-karya puisi. Oleh kurator, para penyair diharapkan dapat mengeksplorasi dan menjelajahi akar budaya masing-masing melalui bahasa asli dan menuangkannya dalam karya puisi.
Paul Smith dari British Council meyakini bahwa bahasa lokal dan puisi memiliki kekuatan yang unik dalam melestarikan dan memproduksi pengetahuan, mencatat gagasan serta menjembatani perbedaan. Dengan potensi bahasa lokal yang dimiliki masing-masing penyair, diharapkan memperkaya gagasan dan warna karya penyair.
Selama lima hari program berlangsung, harapan-harapan di atas memberikan motivasi kepada saya pribadi untuk lebih mendalami Bahasa Sasak, sebagai bahasa lokal dari pulau Lombok, serta-merta memberikan efek kelenturan dalam proses saya berkarya.
Fakta bahwa sebagaimana yang dinyatakan Goenawan Mohamad dalam sebuah pidatonya yang mengatakan bahwa penyair Indonesia menulis di dalam lingkungan bahasa yang telah ambruk, mereka yang bahasa ibunya telah dibikin gagap oleh sejarah dimana bahasa lokal telah dibungkam oleh bahasa yang dipakai kalangan orang-orang terdidik di sekolah-sekolah yang diatur negara sebagai bahasa dengan status yang luhur, telah membuat saya merasa puisi berbahasa Indonesia hanya menghadirkan tanda-tanda generik yang jauh dari bau, warna, bentuk, dan lainnya yang semestinya beraneka ragam. Tidak seperti bahasa lokal yang mampu menghadirkan variasi makna dan bunyi, bahasa Indonesia seolah-olah menyempitkan identitasnya sendiri.
Puisi sejatinya adalah keterbukaan kepada yang tak terumuskan, oleh karena itu Blanchat, seorang sastrawan Prancis mengatakan bahwa menulis adalah menarik bahasa dari dunia atau dengan kata lain membebaskan diri dari apa yang disebut Nietzsche sebagai penjara bahasa. Tak mengherankan bila Papermoon Puppet Theater dalam pertunjukannya di Rumata\’ Artspace yang kami tonton sebagai bagian dari rangkaian MIWF, menunjukkan kekecewaannya terhadap kata-kata dengan sebuah skenario yang hampir tanpa dialog dan hanya menggunakan gerak serta komposisi musik dan cahaya. Dengan segera, saya menyadari bahwa Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang mengandung makna berlimpah-limpah. Maka, jika puisi tak ingin ikut terperangkap dalam Bahasa Indonesia saja, ketimbang menghilangkan pemakaian bahasa lokal di dalamnya, adalah lebih bijak menelusuri bagaimana bahasa lokal dengan perangkat puitiknya dapat menghasilkan puisi dengan kekayaan makna tak terhingga.
Permasalahan yang sama rupa-rupanya tak hanya terjadi pada bahasa lokal kita saja, akan tetapi juga pada bahasa lokal di UK seperti di Skotlandia dan Wales. Dalam salah satu sesi diskusi ketiga penyair dari UK berbagi cerita mengenai keberadaan bahasa lokal mereka yang tidak lagi mendominasi. Misalnya saja di Skotlandia dimana semua orang berbahasa Inggris meski dengan aksen tertentu dan hanya sekitar 2% dari mereka yang masih menggunakan bahasa Scottish Gaelic, bahasa dari suku asli mereka yaitu Keltik. Sedangkan di Wales sendiri diketahui pada abad ke-19 banyak warga Wales yang mengungsi ke Patagonia, Argentina untuk menyelamatkan bahasa mereka yang terancam punah karena pengaruh bahasa Inggris.
Beruntung, sejak tahun 1950 penutur Bahasa Welsh kini semakin bertambah. Bahkan Jamil Massa salah satu penyair terpilih dari Gorontalo, mengatakan bahwa dengan menulis bahasa lokal di dalam puisinya adalah sebagai pertanggungjawaban agar dirinya tak merasa \”durhaka\” kepada bahasa ibunya juga disepakati oleh Roseanne Watt, penyair dari Shetland yang juga merasakan hal serupa.
Mendapatkan pemahaman-pemahaman baru mengenai bahasa lokal dalam puisi sebagaimana yang saya sampaikan di atas membuat saya ingin segera membagikannya kepada kawan-kawan penulis lain di Lombok, selepas festival berakhir dengan harapan kreativitas baru dalam berkarya akan selalu lahir.
Demikianlah catatan ringkas tentang MIWF dan program pertukaran penyair Indonesia Timur-UK yang saya ikuti semata sebagai referensi kita bersama. Semoga catatan ini sekaligus menjadi laporan proses kreatif saya, untuk menghasilkan karya yang jauh lebih kaya lagi.