Karya Deasy Tirayoh – Emerging Writers MIWF 2015
Cara untuk menikmati hidup ada banyak versi, bagiku cukup sederhana. Lewat secangkir kopi yang kuramu dengan sepenuh hati. Dengan menjadi barista di sebuah kedai, seperti menggapit dua kenikmatan sekaligus. Gembira melihat orang lain puas menikmati kopi dan puas menikmati kegembiraan orang lain menyeruput kopi buah tanganku.
Di kedai, ada semarak kecil jika melihat senyuman dua pengunjung setia kedai yang kerap menghabiskan sore dengan dua cangkir Kopi Toraja, mereka berdua kerap duduk di meja 9 sebelah pojok dekat jendela. Selalu disitu. Selain bahwa meja barista bersejajar lurus dengan posisi mereka, jika sedang lowong, aku mencuri tatap pada keduanya.
Entah magnet apa yang membuat mereka selalu kembali ke kedai ini dan senantiasa duduk di meja yang sama. Hingga pernah suatu sore gerimis mereka pun memilih menunggu di luar kemudian kembali masuk sesaat setelah meja 9 kosong.
Aku jadi tahu nama mereka adalah Tama dan Cleo, saat kedai membuat angket testimoni. Tama dan Cleo menjadi salah satu dari banyak pengunjung yang foto dan testimoninya terpajang di dinding kedai.
Kubertanya dalam hati, apakah mereka sepasang kekasih?
Pernah sekali waktu, Tama terlihat memberikan sebuah bingkisan kecil yang entah apa isinya, Cleo pun terharu dengan kerling membinar. Kupikir Cleo yang cantik itu mungkin sedang berulang tahun sebab saat itu bukan Valentine. Dan tak kalah serunya sewaktu Cleo datang di satu sore yang cerah dengan girang yang sulit diterjemahkan. Tama menyambutnya dengan jabat tangan penuh selamat. Dugaanku, Cleo menang undian atau dapat bonus, atau apalah. Sebab dugaan akan tetap jadi dugaan. Mana mungkin aku pura-pura nimbrung sekedar memasang radar agar kepenasaranku memeroleh titik terang, kuhanya bisa melihat mereka dari meja barista saja. Dengan perasaan senang karena kopi racikanku menjadi secangkir penyempurna suasana diantara mereka.
Aku barista yang berdiri dibalik meja. Mereka tidak tahu bahkan kurang menyadari kehadiranku dalam lingkaran itu. aku terkadang menatapi bagaimana Tama dan Cleo saling menatap, menggenggam, melempar guyonan, diskusi, dan tertawa, bahkan terdiam. Semua penuh dengan kasih. Sepertinya mereka memanglah sepasang kekasih.
Buatku, ada hal penting selain realita bahwasa mereka menggemari Kopi Toraja racikanku. Aku ingin menghadirkan yang lebih dari dua cangkir itu. Kuingin menjadi bagian yang tak terlupakan dari kisah mereka, bukan sekedar dikenal karena papan nama di kiri dadaku. Tapi reaksi lain di luar cangkir-cangkir itu.
Lantas tibalah di sabtu yang mendung. Sebelumnya Cleo telah duduk menunggu dan 15 menit berlalu Tama tiba dengan tergesa. Ada yang lain dari biasa, Cleo tampak dingin dan miskin wicara sedang Tama terperanjat tak bisa mematahkan satu katapun. Tatapan diantaranya kian awas dan sukar dimaknai, apakah mereka sedang perang dingin? Mungkin saja. Maka gegas kuambil alih tugas waitress mengantarkan pesanan. Yaitu jika Tama dan Cleo dari meja 9 maka dua cangkir Kopi Torajasuguhannya.
“Selamat menikmati” celetukku mempersilahkan.Nihil. keramahtamahanku kurang manjur mencairkan suasana, bahkan kepulan kopi beraroma belum juga menerobos cuping hidung keduanya. Aku memilih kembali ke mejaku, menyaksikan adegan mereka dari jauh.
Tama menghela nafas, seakan mencoba memaklumi tatapan sinis Cleo. Ekor mata keduanya bertemu pada satu simpulan yang hanya keduanya mengerti. Sekali lagi aku menduga mereka sedang digerogoti ego. Ah masa iya? Akhirnya fokusku berpaling pada daftar pesanan dari meja 8, empat cangkir coffee latte dan secangkir black Arabica. Itu berarti sekitar 10 menit aku akan kehilangan momen Tama dan Cleo beraksi.
Astaga! Benar saja, momen terpenting lenyap sudah. Kulihat Tama sudah sendirian. Kemana Cleo? Apakah ending dari aksi barusan. Mungkinkan Cleo menampar pipi Tama seperti adegan di sinetron atau berlalu dengan derai air mata seperti segmen bernyanyi di film India. Akhirnya yang ku lihat Tama memanggil waitress dan membayar bon kemudian berlalu dengan pongah.
Waktu berputar, hampir sebulan berlalu sudah. Tama datang sendirian ke kedai, aku yang melihatnya untuk pertama kali setelah kejadian waktu itu. Ganjil memang melihatnya datang sendiri, terlebih ketika dia tidak langsung ke meja 9 melainkan menuju ke meja barista, itu berarti dia sedang kemari, menghampiriku.
“Kau pernah lihat teman perempuanku datang kemari? Ciri-cirinya, eh dia ada di foto yang…” tidak selesai diucapkan.
“Cleo maksudmu?” tandasku
“Kau kenal rupanya, baguslah kalau begitu”
“Aku bahkan mengenal jenis kopi favorit kalian, Kopi Toraja”
“Oh ya? Terima kasih! Sulit menduga ternyata kau begitu memperhatikan kami. Apa pernah lihat Cleo kemari?”
“Tidak, sejak sebulan terakhir”
“Kalau dia datang, berikan ini padanya” Tama menyerahkan amplop putih, akupun menyimpannya ke dalam loker.
Adalah waktu yang menjadi rentang. Dalam hari, minggu, bulan, dan tahun. Akan kusebut apa waktu yang berlalu di kedai ini, selain rentang dalam sebuah judul ‘kopi’. Mengapa kopi menjadi begitu mewah? Bukankah dia hanya serupa dikotil dari pohon berakar tunggang yang tumbuh di kaki bukit atau di bentang lembah, apa yang menghipnotis hingga kopi begitu diminati bahkan menjadi serentetan filosofi?
Jauh dari riwayat kopi, ada pertanyaan yang sama ingin kulontarkan bagi Cleo. Mengapa sudah setahun tak berkunjung ke kedai ini. Tidakkah Kopi Toraja membuatnya rindu?
Amplop surat Tama masih utuh walau karuan perasannku dibuatnya. Sudah setahun amplop itu merapat dan diam dalam kerahasiaan, menggugah keingintahuanku. Memancing jemari bergerak membukanya. Bukankah beda antara rasa penasaran dan sekedar memastikan? Oh Tuhan ampuni aku…
Cleo…
Aku berhutang padamu, bukan seharga traktir minum di kedai kopi, atau memberikanmu buku Pramoedya Ananta Toer, atau sebuah gembok berukirkan nama kita yang ingin kau pasangkan pada jeruji menara cinta abadi di Tokyo lalu kuncinya dibuang ke laut. Lebih dari semua itu, aku berhutang sebuah kata maaf untukmu, sejak pertengkaran itu. Sejak kau memutuskan semua jalur komunikasi.
Cleo…
Katakanlah aku pengecut, tapi sebatas itulah yang ku mampu, membiarkan hubungan kita tak bernama, tak berbentuk. Tapi tidakkah kau baca mataku tiap kali menatapmu? Sebab telah bertahun-tahun aku melihatmu dengan tatapan yang sama. Sadarkah kau mengapa ku hadiahi gelang bukannya cincin saat hari jadimu? Karena asumsiku gelang lebih dekat dengan urat nadi, aku ingin hadir di tiap denyutmu.
Cleo…
Jangan mengira aku tengah menatap Andromeda atau menanti Pegasus di langit dalam pekat malam, seolah-olah pagi tak mungkin terkejar usia. Aku tidak sedang berpamitan untuk kematian, tetapi surat ini kubuat sekedar menyampaikan bahwa aku akan ke Inggris, menyelesaikan studi perfilman di sana. Obsesiku kelak, bisa mendokumentasikan kisah kita dalam sebuah film, yang mungkin akan kuberi judul “pojok 9”. Kau boleh tertawa…
Cleopatra…
Pastikan kau menungguku. Dua tahun bukan waktu yang lama jika kau yakini aku pasti kembali. Di kedai, pada ulang tahunmu, 30 Mei dua tahun lagi. Aku akan datang dengan keberanian mengucapkan “aku cinta kamu, menikahlah denganku…”
Utama Abadi
Kulipat seperti sedia kala, menatap amplop itu berkali-kali dengan perasaan yang tak menentu. Bulan depan harusnya aku pindah. Itu artinya surat ini tak mungkin tersampaikan, tak ada yang begitu mengenali Cleo selain aku. Maka kuputuskan menunda kepindahan, setidaknya dosa membaca surat orang lain kutebus dengan menunggu sampai Cleo datang atau justru Tama yang pulang. Akhirnya akupun menjadi bagian dari kisah mereka, meski hanya sebagai pengantar surat.
Hanya ada dua cara menunggu Cleo. Pertama adalah seolah-olah keajaiban itu tidak ada. Cara yang kedua adalah meyakini keajaiban itu ada. Aku memilih yang kedua. Sebab tidakkah ini begitu mengejutkan, setelah nyaris dua tahun lamanya, perempuan itu masuk dan telah duduk khidmat di meja 9 sendirian. Dialah Cleo. Dan hari ini 23 Mei, seminggu sebelum tanggal yang ditentukan Tama.
***
Menunggu. Apakah aku selalu ditakdirkan untuk itu? Setelah sejam berlalu Rindra tak juga muncul. Kuputuskan untuk ke toko buku sendirian saja. Menelusuri jejeran rak buku dengan mood yang datar. Sampai ujung mataku tertumbuk pada sebuah buku dengan judul yang persuatif, sampulnya hitam dengan gambar dua cangkir kopi. Seperti manekin di etalase dengan pesona luar biasa, kutatap buku itu lekat-lekat. Aku tersenyum dan memutuskan untuk membelinya.
Rindra tiba dengan nafas terengah. Aku berusaha tenang meski kedongkolan menggawangi perasaanku setelah hampir dua jam menunggu.
“Maaf Van, ban motorku kempes tadi. Buku apa itu? Coba lihat” seraya merampas dari genggamanku.
“Kau belum membacanya?” Aku menggeleng. “Ini buku paling romantis yang pernah kubaca, kisah nyata dari sepasang suami istri, keren!”
Aku terhenyak. Mengeja huruf demi huruf di sampul buku itu. Judulnya ‘Pojok 9’ dan ditulis oleh Utama Abadi. Perlahan kubuka lembaran pertama. Dengan tegas dan indah tertera, didekasikan untuk Savana, barista di kedai kopi yang telah menjadi jembatan bagi cinta kami. Tak ayal seringai haru membuncah di wajahku. Bukankah itu misah tiga tahun lalu, sebelum aku pindah ke kota ini. Kini aku sadari, menjadi jembatan adalah cerita lain dari peranku memagutkan dua keterpisahan sebagai penyampai surat. Aku berbahagia sebab semua terbayar dengan kenyataan bahwa Tuhan menjodohkan mereka.
Mei, 2008