Delapan penulis Indonesia Timur saling membaca dan membagi hasil bacaan, mereka adalah:

Deasy Tirayoh
Membaca karya dari Jemmy Piran yang berjudul “Wanita Bermata Gurita”
Menurut Deasy, Jemmy Piran telah berhasil menyampaikan pesan dari novel “Wanita Bermata Gurita” ini. Karena saya seperti mengalami pengalaman indrawi. Saya bisa merasakan bau anyir laut, air asin, dan meraba kerang-kerang. Bahkan ketika Jemmy menceritakan dengan detail tokoh perempuan yang merupakan jelmaan gurita.”
Dalam buku ini, Jemmy menyampaikan isu-isu, seperti perempuan yang menjadi objektifikasi oleh masyarakat pesisir. Selain itu, Jemmy mengingatkan kita dengan tokoh medusa yang dikutuk sekaligus oleh banyak orang. Deasy juga menambahkan bahwa dia tertarik dalam cara Jemmy menggambarkan tokoh lain, seperti tokoh perempuan cantik yang ada dalam buku ini. Perempuan-perempuan itu diidam-idamkan oleh lelaki, tapi kemudian di bagian tengah buku ini, Jemmy menjungkirbalikkan tokoh tersebut. Perempuan itu meskipun dia cantik, dia dibenci karena dia dianggap sebagai kutukan.
Eko poceratu
Eko membaca buku karya dari Emil Amir yang berjudul Sala Dewi, yang artinya “bukan perempuan”. Buku ini sangat dekat dengan hal-hal yang terjadi di timur saat ini. Buku ini bercerita tentang adat, hutan, dan tanah yang disimbolkan sebagai seorang ibu. Cerita ini sangat erat kedekatannya terhadap realitas di Timur, seperti lokalitas, kebenaran, kekerasan, kerusakan dan semuanya tertuang secara kompleks di dalam alur dan aliran cerita.”
Tanah adalah ibu, tempat kita tinggal.
Melahirkan cuma sekali setahun.
Begitulah adat kita panen hasil.
Lebih dari itu, sudah menyalahi alam.
Mengeruk itu merusak.
Pasang mengajarkan untuk tidak serakah mengolah tanah.
Belajarlah dari hutan sedia kala.
Tercatat dalam tanah hitam.
hal. 52
Eko juga menceritakan tentang pohon enau yang tidak bisa disentuh oleh laki-laki. Bagi orang Maluku, khususnya desa yang bermata pencaharian sebagai petani mayang, pohon enau ini adalah ibu. Pohon itu tidak akan menggugurkan air mayang. Pohon mayang atau enau ini hanya bisa dipegang oleh perempuan. Dia juga menambahkan bahwa orang Papua dan orang Maluku percaya kalo hutan itu adalah ibu, hutan itu adalah perempuan. Ada suku-suku tertentu yang tidak mau mengizinkan kemajuan-kemajuan seperti pembangunan jalan raya atau internet. Mereka percaya bahwa ketika orang luar masuk dan menyentuh hutannya, hutan tersebut akan rusak dan bahkan hancur. Keperawanannya akan hilang dan hal ini bisa menyebabkan kesialan bagi daerah di sekitarnya.
Selain itu, Eko juga menambahkan sedikit penjelasan tentang perempuan yang dituliskan dalam buku ini. Salah satunya, bagaimana janda selalu menjadi buah bibir dalam masyarakat dan memiliki konotasi buruk yang membuat adanya pengucilan atau pengabaian dalam masyarakat. Suatu kesalahan selalu dilimpahkan kepada perempuan (janda). Seolah-olah setelah kejadian buruk terjadi, janda tersebut menjadi kutukan dan kesalahan dilimpahkan kepadanya. Perempuan ini terpinggirkan, bahkan ketika dia sudah ada di pinggir jurang.
Ilda Karwayu
Membaca buku karya Felix K. Nesi yang berjudul Orang-orang Oetimu. Dalam novel ini, Ilda memulai pembacaan buku ini dengan membahas ketertarikannya pada paragraf di halaman 79 yang membahas tentang jati diri Sersan Ipi. Meskipun sebaik apapun Sersan Ipi, seberapa giat dia, dia tetap saja orang Portugis. Dia bukan orang Oetimu. Menurut Ilda, novel ini berbicara tentang kekerasan, entah itu kekerasan fisik maupun kekerasan psikis. Di novel ini, bagaimana orang Portugis masuk ke daerah tersebut dan melakukan kekerasan terhadap orang-orang Timur. Belum lagi orang Indonesia yang datang dengan maksud untuk menolong, tetapi dibalik itu ada maksud dari kedatangannya. Kekerasan fisik yang juga dilakukan oleh TNI atas nama Indonesia.
Kekerasan selanjutnya juga dilakukan oleh otoritas gereja. Felix menggambarkan para romo terkait aktivitas seksualnya, bahkan praktik kapitalisme besar dilakukan atas nama pendidikan. Juga ada isu gender, seperti praktik kekerasan seksual dan bagaimana Sersan Ipi mengalami pelecehan saat di sunat.
Menurut Ilda, novel ini bisa dibaca dengan cepat, karena ritmenya cepat. Untuk eksplor bentuk, Ilda menemukan bentuk jurnalisme sastrawi dalam novel ini, tetapi gaya tuturnya lebih ke jurnalistik. Efek samping dari bentuk penulisan ini, penafsirannya jadi lebih mengerucut. Ini seperti jurnal yang ditulis saat kejadian itu berlangsung.
Jemmy Piran
Jemmy Piran akan membaca kumpulan cerpen karya Deasy Tirayoh. Jemmy mengambil jarak dalam membaca ketiga belas cerpen dari buku Deasy Tirayoh. Menurutnya, cerpen ini mengangkat tema yang biasa saja, namun dengan pengungkapan yang luar biasa. Muncul pertanyaan kenapa penulis tidak mengangkat tema dari Timur saja, hanya 3 atau 4 cerpen saja yang mengangkat cerita dari Timur. Temanya belum terlalu kuat dan belum mengeksplor tema yang diangkat secara utuh.
Selain itu, Jemmy juga berpendapat bahwa ada diksi yang kurang pas dengan tema yang diangkat dalam cerpen di buku tersebut.
Felix K. Nesi
Buku Eko Saputra Poceratu yang berjudul “Hari Minggu Ramai Sekali” akan dibacakan oleh Felix K. Nesi. Ada 21 puisi tentang kehidupan di Maluku dan Papua. Cerpen dalam buku ini menggambarkan masyarakat kecil dan ketimpangan sosial, termasuk masalah sosial yang ada campur tangan negara.
Dalam cerpen ini, Eko fokus pada orang kecil, seperti orang kecil yang susah cari kerja, serta kekerasan-kekerasan yang dialaminya, lalu ada juga gereja yang berubah menjadi lahan bisnis. Menurut Felix, di sini Eko seperti menyerukan sebuah cerita tentang apa yang terjadi di Maluku dan Papua. Eko juga menuliskan hal-hal yang dianggap remeh, tetapi dampaknya besar. Hal ini yang dituliskan oleh Eko di dalam bukunya,
Puisi favorit Felix berjudul “Rumput dan Sapi-Sapi”. Felix merefleksikan hasil bacaannya terhadap puisi ini dengan pernyataan bahwa hidup orang-orang kampung terjebak dalam kehidupan orang modern, tetapi tidak nyambung dengan kehidupan masa lalunya.
Felix juga menambahkan tentang bahasa Melayu Ambon dalam penulisan ini sangat lugas. Selain itu, Felix menganggap bahwa tema yang diangkat dalam puisi ini terlalu beragam.
Felix menutup pembacaannya dengan satu catatan tentang ketimpangan sosial yang diceritakan dalam buku tersebut. Dia menangkap bahwa orang kota atau orang modern itu hidupnya itu berkecukupan, lalu matinya tidak tenang, dikejar-kejar jadwal, tua di jalan. Lalu orang tersebut memikirkan satu atau beberapa hal yang bisa membuatnya tenang, seperti lari ke puisi atau seni. Dan kemudian orang tersebut datang ke kampung, meminta kebudayaan, seperti menenun misalnya. Tapi orang di kampung itu tiap hari menyanyi semua. Tiap menenun ada nyanyiannya, memotong rumput ada nyanyiannya. Persoalan orang di kampung hanya satu, besok makan apa?
Gody Usnaat
Gody membacakan buku karya Ilda Karwayu dan memberi judul untuk pembacaannya kali ini, yaitu “Berjalan Bersama Ilda, Tutup Mata Buka Pikiran”. Menurut Gody, buku puisi Ilda menyebut tubuh sebanyak 30 kali, seperti: benang kusut dalam tubuhmu, kabel kusut dalam tubuhmu, lalu ada tubuh jam dinding dalam rumah sendiri.
Gody mengungkapkan bahwa dia melihat buku ini seperti mengisahkan satu perjalanan seorang perempuan, karena beberapa kali dalam buku ini menyebutkan kata si puan. Gody melihat tubuh dalam buku ini sebagai sebuah tubuh yang sadar. Tubuh itu tak hanya di rumah, tetapi juga keluar untuk bersepeda ataupun naik kereta api. Gody menambahkan bahwa puan dalam puisi Ilda ini tidak menemukan apa yang dia cari. Sekolah tidak menyediakan ruang yang bagus untuk si puan agar bisa lebih leluasa untuk mencari atau menemukan makna hidup. Lembaga pendidikan pada kenyataannya hanya menitikberatkan pada apa yang harus dilakukan oleh murid, seperti dipaksa untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh guru ataupun kurikulum.
Dalam buku ini, Gody melihat bahwa tokoh puan ini seperti kuda laut yang menghantam batu karang saat harus masuk ke sekolah. Puan melihat hal yang tidak bagus di dalam sekolah, tetapi dia berusaha untuk keluar dari situ sampai akhirnya dia menemukan dirinya sebagai seorang perempuan penyair.
Gody juga menambahkan bahwa kita terlalu sibuk mengupas bawang, sampai lupa mengupas kalimat. Di sekolah-sekolah, sulit untuk menemukan buku-buku yang bagus dan mampu menarik perhatian anak. Tidak salah jika anak yang masuk sekolah, tapi tidak bisa menarik minat baca anak tersebut. Dalam hal ini, Gody sebagai guru tidak bisa menyalahkan anak atas hal ini. Sebagai penutup, Gody menyebutkan dua judul puisi yang menarik baginya, yaitu “Ketika Harus Bangun Pagi” dan “Perundungan”
Emil Amir
Dalam pembacaan kali ini, Emil akan membacakan buku karya dari Erni Aladjai yang berjudul “Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga”. Dalam novel ini, Emil menyebutkan bahwa perumpamaan tentang air panas yang ditumpahkan ke tanah adalah tema yang diungkap tentang kekerasan. Ada empat macam kekerasan yang diulas dalam novel ini.
Pertama, kekerasan tentang pendidikan oleh tenaga pendidik atau dapat perundungan dari teman-temannya di kelas karena kondisi fisiknya yang berbeda. Menurut Emil, di sinilah kritik tajam Erni bahwa sekolah menggunakan cara yang keras untuk mendidik siswa, tetapi tidak tahu apakah metode tersebut berhasil atau tidak.
Kedua, kekerasan yang dilakukan oleh perempuan kepada perempuan itu sendiri, bagian ini fokus pada perselingkuhan. Yang disoroti pada umumnya adalah perempuan yang menjadi selingkuhan. Padahal, pada kenyataannya laki-laki tersebutlah yang menyembunyikan statusnya dan hal inilah yang membuka peluang untuk itu. Anggapan tentang perempuan (pelakor) itulah yang harus dibinasakan inilah yang kemudian menarik perhatian Erni.
Ketiga adalah kekerasan terhadap orang yang dianggap tidak beragama. Salah satu tokoh dalam buku ini adalah dia dianggap berbahaya oleh orang-orang desa. Menurut Emil, orang desa cenderung membuat prasangka tanpa mengecek kebenaran suatu hal terlebih dahulu.
Keempat, kekerasan yang lebih luas, yaitu tentang penjajahan. Pohon cengkeh dalam novel ini dieksploitasi oleh penjajah. Faktanya, pada zaman Orde Baru, ada Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang memonopoli kembali perdagangan cengkeh. Erni juga turut mengkritisi cengkeh ini dalam ceritanya.
Menurut Emil, Erni mampu mengemas karyanya dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dan unik. Ibarat seorang nenek yang bercerita kepada cucunya. Tidak akan sulit untuk dibaca oleh anak-anak.
Emil menambahkan jika kekerasan dalam novel ini tidak menemukan benang merahnya, kekerasannya terpisah-pisah. Emil juga menyarankan bahwa rumah teteruga ini bisa dijadikan batu loncatan untuk mengurai kekerasan-kekerasan yang disebutkan Erni dalam novelnya.
Erni Aladjai
Buku puisi karya Gody Usnaat yang berjudul Mama Menganyam Noken ini dibacakan oleh Erni Aladjai. Erni menyebutkan jika ada efek terapi yang dirasakannya saat membaca puisi dari Gody, karena memberikan perasaan senang. Hampir semua sajak-sajak Gody ditulis dengan lembut maupun jenaka.
Erni menambahkan bahwa ketika melihat sajak-sajak Gody, dia melihat tema yang diusung adalah relasi manusia dan alam orang Papua dan tanahnya. Ini bisa ditemukan dalam sejumlah metafora yang disampaikan melalui sajak-sajaknya, seperti sagu, pinang, pohon matoa, dan kasuari.
Ada satu puisi yang dibacakan oleh Erni menggambarkan sesuatu yang organik kemudian diambil dari elemen-elemen orang Papua. Erni menemukan banyak bahasa Papua sehari-hari yang disematkan di hampir semua sajak-sajak Gody. Kosakata yang sangat timur ini kemudian menjadi tataran yang sama dengan Bahasa Indonesia dalam sajak-sajak Gody. Erni melihat hal ini sebagai sebuah struktur puisi yang estetik sekaligus punya tujuan politis.
Respon penyair terhadap ke-Indonesia-an seseorang terhadap Papua dan tanahnya juga diungkap Erni. Ada yang coba dikritik penyair tentang sistem pendidikan yang tidak diperhatikan, eksploitasi alam, juga tanah dan dusun yang berubah semenjak pembangunan masuk. Erni melihat ada keresahan seorang anak Papua yang diberondong banyak hal modern. Ada keresahan seseorang yang besar di tanah itu dan mengalami perubahan-perubahan seperti itu.
Ada puisi yang jenaka, salah satunya puisi yang menginterpretasikan bahwa si penyair kekurangan akses informasi. Ketika membaca ini, Erni jadi merefleksikan kondisi serupa di kampung halamannya. Untuk mendapatkan sebuah informasi, dia harus naik ke bukit untuk mencari sinyal.