MAKASSAR – Sesi diskusi buku Sapaan Sang Giri menjadi salah satu program di hari pertama pelaksanaan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 pada Kamis (23/5/2024). Dengan Deasy Tirayoh bertindak sebagai moderator, program ini mengupas kulit-kulit sejarah perbudakan masyarakat Indonesia di Cape Town atau yang biasa dikenal sebagai Tanjung Harapan di Afrika Selatan melalui novel karya Isna Marifa.
Sapaan Sang Giri menjadi karya debut Isna Marifa setelah 30 tahun lebih berkecimpung di isu lingkungan. Perlu tiga dekade agar keinginannya untuk berkembang di dunia menulis kreatif terwujud. Benteng Fort Rotterdam Makassar dan para peserta diskusi menjadi saksi pemutaran video berupa teaser dari novel sebelum masuk ke dalam sesi utama pada kali ini, yakni diskusi.
“Setelah baca sedikit, saya sudah bisa menyimpulkan buku ini sebagai perayaan terhadap sejarah perbudakan leluhur Indonesia,” tutur Deasy. Ia bercerita bahwa buku Isna Marifa ini menggunakan karakter Wulan, gadis Jawa berusia 9 tahun yang terpaksa mengikuti ayahnya ke dunia perbudakan di masa kolonialisme.
Proses penulisan Sapaan Sang Giri pun turut diceritakan oleh Isna Marifa kepada Deasy dan teman-teman peserta. Isna berangkat dari ketidaktahuannya mengenai sejarah Indonesia yang tidak pernah secara mendalam terekspos dalam buku-buku sejarah.
Ia mengaku telah berkelana ke Afrika Selatan untuk melakukan riset, mewawancarai beberapa orang, serta menggali temuan yang menjadi pemantiknya untuk menulis. Isna pun turut terkejut saat mengetahui bahwa warga asli Cape Town, entah mengapa familiar dengan pendidikan mengenai sejarah Indonesia.
Dari temuan tersebut, ia menyadari bahwa ia benar-benar dalam urgensi harus menulis demi menunjukkan kepada masyarakat terkini mengenai leluhur-leluhur yang menjadi korban perbudakan VOC yang tak memiliki jalan untuk pulang di masa lampau.
Isna membawa beberapa buku terjemahan asing selama risetnya. Dalam riset tersebut, ia menyisir daftar perbudakan di masa kolonialisme VOC, tak hanya dari berbagai suku bangsa, daftar tersebut juga memuat banyak nama. Isna mengeksekusi gagasan yang ada di buku ini dengan tatanan bahasa rapi dan emosional, cukup untuk membangkitkan rasa iba kepada sang karakter utama, Wulan.
“Tentunya, masih ada generasi berusia 30 hingga 40 tahun ke atas yang sedang mencari akar budayanya. Mereka ingin tahu darimanakah mereka memulai kehidupan, apakah mereka salah satu keturunan dari perbudakan yang terjadi di Tanjung Harapan. Sapaan Sang Giri menjadi petunjuk bahwa masih ada yang peduli mengenai akar budaya mereka.” sebut Isna dalam sesi tanya jawab, mengenai mengapa novel tersebut harus dibaca.
Isna percaya bahwa masyarakat di abad ke-18 masih erat hubungan batinnya dengan lingkungan, “giri” atau gunung salah satu contohnya. Ia ingin menciptakan rasa nyaman akan rumah dalam suatu penggambaran lokasi pada bukunya.
Isna menambahkan, juga ingin menggambarkan ketangguhan dari diri para tokoh untuk melawan apa yang tengah mereka hadapi, martabat dan harga diri yang mereka pertahankan. Penekanan pada tokoh Wulan, yang ternyata merupakan sosok asli dari hasil riset yang benar-benar korban perbudakan di masa kolonialisme. Ironisnya, mengetahui fakta bahwa peristiwa perbudakan leluhur Indonesia terjadi di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Dimana seharusnya tempat tersebut dapat meninggalkan kesan yang baik sesuai penamaannya.
Sesi diskusi buku Sapaan Sang Giri di hari pertama MIWF 2024 berakhir pada pukul 18.00, meninggalkan rasa ingin tahu terhadap apa saja sejarah Indonesia yang tak diedukasi kepada masyarakat secara luas sekaligus tak sejalan perkembangan zaman.
Penulis : Maylafathma Azizah Wicaksono