MAKASSAR – Diskusi publik tentang pentingnya merawat bahasa ibu semakin relevan di tengah gemuruhnya modernisasi dan globalisasi. Dengan hadirnya Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 yang bertema m/othering, menjadi salah satu wadah masyarakat untuk berdiskusi terkait merawat bahasa ibu itu sendiri.
Diskusi yang bertajuk Siasat Merawat Bahasa Ibu itu digelar di Benteng Rotterdam, Museum I Lagaligo pada Minggu (26/05/2024). Menghadirkan berbagai narasumber termasuk Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan. Yakni Ganjar Hwia, Mariati Atkah, Daeng Nojeng, dan Faisal Oddang.
Dalam diskusinya, mereka berbagi perspektif dan pengalamannya tentang bagaimana cara atau langkah-langkah mereka dalam melestarikan bahasa ibu itu sendiri.
“Ketika berbicara persoalan bahasa ibu, apa yang ada di pikiran teman-teman?” tanya Ganjar Hwia, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan kepada para peserta.
Sontak para peserta tampak merenung sejenak dan ramai ingin menjawab. Salah satu di antaranya menjawab, bahwa katanya bahasa ibu adalah bahasa asli.
Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai oleh anak, bahasa yang diajarkan sehari-hari, serta yang dipakai di lingkungannya. Oleh karena itu, bahasa ibu identik dengan bahasa daerah.
“Bagi kita di Indonesia, bahasa ibu diidentikkan dengan bahasa daerah pertama. Karena hampir 79,5% bahasa ibu adalah bahasa daerah” ungkap Ganjar.
Dalam diskusi dan penelitian Kepala Balai Bahasa itu, ia menganalogikan daya hidup bahasa daerah, seperti fenomena gunung es. Bahwa mungkin dari aspek jumlah penutur bahasa daerah itu terlihat aman, tetapi secara detail bisa saja bahasa daerah itu terancam punah atau kritis.
Dengan demikian, ia menegaskan kepada para peserta bahwa pentingnya melestarikan bahasa daerah itu, dimulai dari kesadaran. Karenanya, bahasa adalah cerminan diri dan kebudayaan kita sendiri.
Seiring berjalannya diskusi, waktu ke waktu, menit ke menit, Museum I Lagaligo ini tidak berhenti kedatangan para peserta untuk mendengarkan sesi diskusi.
Di sisi lain, Azis Nojeng yang lebih dikenal dengan Daeng Nojeng, seorang penyiar di radio Gamasi dan bagian dari pelestarian bahasa daerah membagikan aktifitas dan pengalamannya mengupayakan pelestarian bahasa daerah.
Dalam sesinya, Daeng Nojeng banyak menceritakan kerentanan bagaimana orang-orang salah menggunakan bahasa daerah itu sendiri
“Kemarin Prof. Muhlis Hadrawi mengamuk di Facebook. Gara-gara ada orang Bugis yang menetap di Kalimantan, lalu memplesetkan lagu dangdut pakai bahasa daerah yang kotor di Sulsel ini,” ungkap Daeng Nojeng.
Hal ini menjadi kekhawatiran Daeng Nojeng terhadap orang-orang yang salah dalam pengupayaan pelestarian bahasa itu sendiri. Dengan itu, ia membagikan perspektifnya kepada peserta bagaimana pengupayaan pelestarian bahasa daerah itu sendiri bisa dilakukan dengan upaya apa pun. Seperti dengan mencetak baju, desain-desain grafis, sastra atau nama.
“Kayak anaknya temanku, Fawas Maccana Mafato” ungkapnya.
Sementara itu, Museum I Lagaligo yang sudah di isi penuh oleh peserta karena antusiasnya, Mariati Atkah tak kalah menarik membagi perspektifnya sebagai perempuan dan sebagai penulis dalam mengupayakan bahasa ibu.
“Kalau kita berbicara tentang bahasa, berarti kita berbicara tentang manusia, identitas kolektif, dan budaya” ujar Ati.
Ati menyatakan bahwa agar bahasa tetap lestari, suatu bahasa itu harus tetap dituturkan, dipergunakan dalam bahasa sehari-hari dan juga diwariskan ke generasi selanjutnya.
Sesuai data statistik tahun 2011, jumlah penutur bahasa bugis terhitung ada sebanyak 3,5 juta. Yang tak bisa disangkal bahwa dengan jumlah penutur sebanyak itu juga suatu saat akan punah, karena beberapa hambatan dalam mengupayakan pelestarian bahasa itu sendiri. Salah satunya karena ada rasa malu atau pernikahan antar etnis penutur.
Tak luput, Ati juga membagikan beberapa perspektif dalam upayanya dalam melestarikan bahasa ibu itu sendiri. Salah satunya adalah dengan berkarya.
“Bahasa daerah itu punya martabat yang sama dengan bahasa-bahasa lain. Termasuk bahasa Indonesia, maupun bahasa Inggris” tutur Ati
Penulis : Alifah Umaimah Ramadhani R