Unjuk Ara: Membaca sebagai Aksi Performance

Makassar – Makassar International Writers Festival (MIWF) sukses mempersembahkan presentasi karya ceramah bertajuk Unjuk Ara, mempertemukan Galuh Pangestri dan WAYS dengan Taufik Darwis sebagai dramaturg. Dikemas dalam bentuk lecture performance, kegiatan ini membedah novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer, dan berlangsung di Benteng Rotterdam, Sabtu (31/5).

Kegiatan ini diawali dengan presentasi karya ceramah, dengan Galuh membawakan suara dan gerak yang terinspirasi dari novel Larasati. Lewat tokoh utamanya, Ara, kemerdekaan tidak hanya menjadi tema, tetapi juga terasa hidup, dan tubuh Ara kemudian menjadi ruang ketegangan.

“Lecture performance menjadi bentuk di mana tubuh tidak hanya berbicara tentang apa yang dibaca, tetapi juga bagaimana cara membacanya itu dapat mengubah dunia, dengan mempertimbangkan teks hidup di dalam tubuh,” tutur Galuh.

Tubuh Ara menjadi ruang dialog antara sastra dan tari. Para penari menggunakan tubuh mereka untuk menampilkan gestur, emosi, dan interaksi yang menggambarkan pergolakan batin Ara, tokoh yang sulit dibayangkan dalam konteks hari ini. Novel ini berlatar 75 tahun lalu, ditulis sekitar 1960-an, dan menimbulkan pertanyaan: bagaimana kita bisa berperan dalam dunia yang kacau balau?

Presentasi karya ini menggunakan elemen dasar tari seperti ruang, tubuh, tenaga, dan waktu, dengan tubuh penari sebagai medium utama perjuangan. Mereka membaca dan menghidupi novel Larasati melalui gerak, menjadikan lecture performance ini lebih dari sekadar pembacaan. Proses kreatifnya berkembang selama setahun, dari pembacaan menjadi tarian dan tafsir, dengan tiap penari membawa perspektif pribadi terhadap isu sosial dan aktivisme.

Taufik Darwis, sang dramaturg, menjelaskan bahwa sejak awal proyek ini dimaksudkan untuk menjembatani tari dan sastra. Banyak penari belum terbiasa membaca, tetapi proses ini membuat mereka bertahan, meski hanya lima dari sepuluh yang melanjutkan. Penuh risiko dan tantangan bagi tubuh, tetapi di sanalah mereka menemukan ruang untuk tumbuh.

“Lecture performance ini, selain membahas proses karya, berbentuk ceramah yang fokus pada proses pembacaan yang dilakukan para penari, baik terhadap karya sastra maupun di luar teks, seperti novel, gerakan tertentu, dan perjuangan terkait hunian,” ungkap Taufik.

Lecture performance ini akan berlanjut hingga proyek utama pada Agustus. Tak hanya membahas proses kreatif, tetapi juga bagaimana teks sastra hidup dalam tubuh, menciptakan tafsir baru, dan membuka ruang bagi suara-suara tersembunyi. Di tengah pesimisme ruang seni Bandung, karya ini menjadi harapan bahwa seni tetap hidup selama kita mau membaca dan bergerak.

Penulis: Fadiah Nadhilah Irhad

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top