Merancang Kota Ramah Disabilitas demi Mewujudkan Ruang Publik yang Inklusif

Makassar – Makassar International Writers Festival (MIWF) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Menatap Kota Makassar yang Ramah Disabilitas: Menyusun Langkah Inklusif untuk Infrastruktur Ramah Disabilitas” di Benteng Fort Rotterdam, Jumat (30/5). Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara MIWF, AksesHUB, dan Aksi Indonesia Muda (AIM). Diskusi menghadirkan dua narasumber utama: Sri Aliah Ekawati, S.T., M.T. (dosen Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin) dan Anggi, salah seorang teman tuli.

Mengangkat isu social justice dan spatial justice, diskusi ini menyoroti pentingnya pemerataan akses ruang dan kesempatan bagi penyandang disabilitas. Selama ini, mereka masih menghadapi keterbatasan fasilitas, seperti trotoar, transportasi, dan ruang publik yang belum ramah. Sri Aliah menekankan bahwa kota harus dirancang agar semua orang, termasuk penyandang disabilitas, bisa merasa bahagia dan nyaman saat beraktivitas.

“Kita perlu mendengarkan langsung dari teman-teman disabilitas agar apa yang kita tulis dan rancang tidak mengada-ada, tetapi berdasarkan pengalaman nyata dan validasi langsung dari mereka,” ujar Sri Aliah, menegaskan pentingnya pelibatan pengalaman langsung dalam perencanaan kota yang inklusif.

Pengalaman tersebut diperkuat oleh Anggi yang membagikan kisahnya tentang kesulitan mengakses layanan publik, seperti rumah sakit yang minim informasi visual dan petugas yang tidak memahami bahasa isyarat. Ia juga menghadapi tantangan saat menggunakan ojek daring karena komunikasi yang umumnya mengandalkan telepon. Menurut Anggi, informasi visual sangat penting untuk membantu teman-teman tuli.

“Jadi, harapan saya teman-teman semua, masyarakat, bisa memahami bahasa isyarat, sama seperti petugas kesehatan, petugas transportasi, dan semuanya. Saya harap masyarakat bisa belajar bahasa isyarat, mengikuti kelas BISINDO, dan pertemuan dengan teman-teman tuli agar bisa memahami komunikasi bersama dengan teman-teman tuli,” harapnya.

Menanggapi pertanyaan peserta, Anggi menegaskan bahwa membangun kota inklusif tidak bisa dilakukan sendiri. Kolaborasi pemerintah, masyarakat, dan organisasi disabilitas sangat penting, didukung dengan UU No. 8 Tahun 2016 tentang hak penyandang disabilitas. Ia juga menekankan perlunya edukasi agar kesetaraan ruang publik benar-benar terwujud.

Sri Aliah menegaskan bahwa edukasi harus menyasar semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat luas. Ruang publik harus dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk anak-anak, perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas yang memiliki hak yang setara.

Keseluruhan diskusi ini menegaskan bahwa mewujudkan kota yang inklusif bukan hanya tugas satu pihak. Fasilitas umum harus benar-benar bisa diakses oleh semua orang, termasuk kelompok rentan. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, media, dan organisasi disabilitas sangat dibutuhkan untuk menghadirkan solusi nyata dan berkelanjutan demi kota yang adil dan membahagiakan bagi semua.

Penulis: Fadiah Nadhilah Irhad

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top