MAKASSAR — Menulis menjadi Ricky Ulu menjadi budaya lokal dalam tulisan. Atambua, salah satu kota kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berjarak 751 kilometer dari Makassar, benar-benar mengalir di celah-celah puisinya. Bagi Ricky, ini merupakan salah satu ejawantah bentuk cinta pada kampung jalamannya.
Berprofesi sebagai seorang guru, Ricky juga gemar menyisipkan Bahasa Melayu Atambua (Kreol) dalam setiap karyanya. Dalam perjalanannya, ia juga membentuk komunitas baca bernama Komunitas Pohon Asam. Dan tahun ini, ia terpilih menjadi salah satu Emerging Writer dalam helatan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2025.
Pada Minggu (18/5/2025) sore, Tim Relasi Media MIWF berkesempatan untuk berbincang langsung secara daring dengan Ricky tentang bagaimana perjalanan ia dari awal menekuni dunia sastra hingga tiba di panggung MIWF 2025 yang mengusung tema “Land and Hand”.
1. Bisa perkenalkan diri dan jelaskan kesibukan saat ini?
Saya biasa dipanggil Riki. Lahir di Dili (kini ibu kota Timor Leste, red.), 27 Juli 1993. Saya ini guru SMA, jadi di 2018 mengajar di kampung. Saya juga suka menulis, suka membaca, suka belajar hal-hal sastra.
2. Apa saja kesibukan saat ini?
Bergiat di Komunitas Pohon Asam. Saya ini guru SMA. Jadi di 2018 mengajar, di kampung kalau habis pulang sekolah mau buat apa? Di sana tidak ada apa-apa. Mau cari hiburan apa? Tidak ada. Paling lihat sapi, lihat sawah, atau pagar semua. Lalu karena saya suka membaca dan kebetulan koleksi buku ada, lalu anak-anak itu bilang kami mau baca, kami juga mau pinjam. Lalu oh sekalian saja kita buat komunitas baca lalu sambal cerita-cerita apa yang sudah kita baca, apa yang kita dapat. Yah, sharing–sharing bukulah dengan anak-anak SMA saja. Jadi komunitas itu sebenarnya komunitas yang awalnya dibentuk sama anak-anak SMA saja, yang di sekolah saya saja.
3. Apakah ada pola mengajar di komunitas untuk menjaga identitas lokal?
Mungkin satu pola yang terstruktur, sistematis dan atau dalam pengajaran-pengajaran di komunitas saya mungkin plong. Mungkin saya belum menemukan cara yang pasti untuk bagaimana saya bisa mengajarkan atau mengajak anak anak Atambua. Mungkin dalam percakapan setiap hari, misalnya beberapa teman penyiar radio itu saya selalu sentil mereka “masa, lo di Atambua, lo ngomong ‘gue, enggak’”, itu, kan, lidah-lidah terlipat. Kita ini, kan, Sonde atau apa, kan, yah, kita ini. Jadi secara Bahasa untuk menjaga kearifan lokal untuk komunitas atau untuk Atambua secara umum, secara langsung belum, atau mungkin saya merasa tidak pas saya. Mungkin kalau orang membaca buku saya orang mulai berpikir bisa tulis gaya model Atambua ini, kalimat istilah di Atambua ini bisa kita selipkan masuk.
5. Bisa ceritakan sedikit tentang perjalanan menulis kamu sebelum terpilih sebagai Emerging Writer untuk MIWF 2025?
Kalau saya secara pribadi, mulai belajar dan serius mulai belajar menulis puisi itu mulai 2013. Belajarnya waktu itu masih komunitas di Dusun Flobamora Kupang. Jadi waktu dulu belajar filsafat, kami, kan, di asrama. Waktu itu mau keluar dari asrama itu dua pilihan, kalau tidak main bola berarti harus menyanyi. Saya tidak bisa kedua itu. Lalu tiba-tiba ada event festival sastra, teman-teman ini ajak, lalu dibuat pengumuman siapa mau ikut ini festival diizinkan untuk berkegiatan di luar, kegiatannya di Universitas Cendana. Lalu saya berpikir, oh, iya. Ayo kalau begitu. Daripada tidak bisa main bola, tidak bisa nyanyi kalau gitu ikut yang ini kegiatan”, lalu di situ suka dengan menulis. Lalu ada beberapa tulisan yang membuat saya, oh iya saya mau seperti ini, nih. Kalau bisa mau menghasilkan yang begini, nih, yang model-model begini.
5. Apa arti menjadi Emerging Writer MIWF 2025 untuk kamu secara pribadi?
Menurut saya, ini jadi satu titik penting dalam perjalanan saya menulis, belajar seperti ini. Di awal-awal, saya berpikir menulis setelah itu karya kita minimal dibaca lalu diberi apresiasi. Lalu menjadi emerging untuk saya ini, menjadi satu titik penting bagaimana minimal saya bisa terpilih karya saya mungkin mendapat tempat mendapat perhatian meskipun juga saya harus tetap belajar untuk memperbaiki ada yang kurang sana sini tapi untuk saya penting ini menjadi satu titik penting dalam perjalanan saya ke depan. Saya mungkin di sana belajar, bertemu teman teman, berbagi. Saya akan mendapat banyak hal. Kita tahu Makassar kini menjadi satu tempat yang kalau mau dibilang, yah, satu pusat sastra di Indonesia dan menjadi emerging di MIWF untuk saya titik penting untuk saya itu.
6. Apa tema atau isu yang paling sering diangkat dalam karya-karya kamu, dan mengapa itu sangat penting?
Banyak saya menulis tentang kampung saya, tempat kampung di mana saya belajar Ponu, juga Atambua. Saya banyak menulis di sana, juga dengan saya banyak dengan tema memakai bahasa melayu yang di sini, lokal, Melayu Atambua, Melayu Ponu. Saya mengapa itu harus penting karena menurut saya mengapa penulis Sumatera itu, menurut saya penting karena waktu ketemu puisi-puisi mereka waktu itu yang di (rubrik sastra) Kompas itu, kan, masih ada sastra melayunya. Waktu saya ketemu, bagaimana pola bahasanya disusun, pola kalimatnya disusun, pola Melayu Padang, Sumatera kental sekali, bukan ikut pakem yang biasa, Bahasa Indonesia seperti kebanyakan. Waktu itu saya berpikir bagaimana kalau saya juga menulis menggunakan Melayu Atambua, Melayu Ponu citraan-citraan yang minimal orang mau baca Ponu mau baca Atambua, salah satu jalan masuknya mungkin melalui puisi saya atau ini, nih, ditawarkan cara menulis Atambua.
7. Apakah identitas lokal atau budaya di tanah kelahiran selalu hadir dalam karya-karya kamu? Jika iya, bagaimana cara meramu unsur lokalitas ini?
Waktu itu ada seperti tawaran dari dalam diri sendiri untuk jangan tulis pake Atambua kalau bisa tulis tema atau hal yang umum dan bisa dinikmati banyak orang. Tapi saya merasa kapan lagi, sih, kalau bukan saya? Siapa lagi, nih, yang mau tulis kampung ini? Pagar patah atau kali kecil yang kering. Mau kapan lagi? Terus kapan lagi orang akan kenal bahwa, oh, bahasa Indonesia, tuh, ada juga, sih, bahasa Indonesia yang dipakai dan semacam jadi ciri khas di Atambua. Lalu saya memlih jalan ini di tengah bayak juga teman teman penulis, penyair, teman-teman yang lain yang memilih bahasa umum yang mungkin akan diterima secara luas. Kalau mungkin karya saya terlalu egois yang mungkin hanya bisa dinikmati oleh orang-orang Atambua atau Ponu. Tapi untuk saya, kenikmatan tersendiri bisa menulis lalu dinikmati dengan cara Atambua cara Ponu itu.
8. Bagaimana cara menjaga identitas lokal dalam karya-karya Ricky?
Waktu itu ada satu penggalan tulisan saya yang kalau bahasa Indonesia “Panen Tahun Ini” itu Bahasa Indonesia, akan diterima umum, tapi kalau kami di Atambua itu terbalik “Panen Ini Tahun”. Jadi waktu saya tulis ini, orang Atambua bilang “Oh, ini kami”. Dan untuk saya, ada kenikmatan tersendiri memakai kearifan lokal, tetap memakai kearifan lokal, membaca dan dinikmati oleh orang-orang lokal dulu, mungkin ini egois tapi untuk saya sudah saatnya kami di Atambua menulis memakai mata kami, cara kami memakai bahasa kami juga kami nikmati dan ini saya pikir bisa memberikan kekayaan juga untuk bahasa Indonesia juga karena ada juga nih gaya Atambua di tengah gaya- gaya yang lain.
9. Apakah ada tantangan yang sering kamu hadapi saat menulis, dan bagaimana cara mengatasinya?
Akan ada periode di mana tiba-tiba stuck, berhenti. Tapi ada satu tantangan besar secara sosial di Atambua. Mungkin karena kami sudah terlanjur memberi cap di Atambua bahwa laki-laki harus keras, laki-laki harus kuat tapi tiba-tiba ada laki-laki umur 30-an masih mau menulis puisi. Sedangkan orang Atambua, itu merasa puisi hanya tentang patah hati, puisi hanya tentang perasaan, puisi tentang nasihat-nasihat.
Saya meresponnya, yah, sudah mungkin cara saya menikmati hidup, cara saya tetap berjalan, yah, itu tetap pilihan saya dan saya menikmati pilihan yang sekarang. Tantanganya itu. Juga terlebih sastra yang saya pilih untuk tekuni puisi sedangkan tanggapan orang orang seperti itu, termasuk keluarga dekat saya. Awal awalnya ada tapi lama lama, yah, diterima lalu keluarga mulai mendukung pelan-pelan.
10. Kembali berbicara tentang MIWF, apa kamu pernah mendengar event tersebut? Jika pernah, apa yang terlintas dalam pikiran saat mendengar MIWF?
Untuk saya pribadi, MIWF itu satu titik yang untuk saya harus saya capai, saya harus capai di situ. Untuk saya itu penting. Untuk saya, semacam pembuktian. Kalau saya di situ, minimal karya saya dilihat, dibaca, dan layak, lah. Jadi untuk saya, dia memiliki arti penting dalam proses ke depan, itu sesuatu yang menjadi pembuktian. Oh, ini, nih, karya saya akhirnya dibaca, dihargai, diundang sebagai Emerging.
11. Bagaimana kamu melihat peran sastra dalam merespons isu-isu sosial atau politik hari ini?
Peran sastra itu masih besar untuk merespons isu-isu sosial sekarang. Kalau kami di masyarakat Atambua itu yang berkembang di kami itu sastra lisan, bagaimana setiap masalah, setiap pertemuan, atau setiap apapun yang terjadi, orang tua itu, kan, selalu menggunakan bahasa-bahasa yang penuh metafora untuk menyelesaikan masalah, masalah adat. Jadi, bagaimana semua itu direspons secara sastra, sastra lokal.
Saya pikir, sastra bisa memberi dampak, pukulan, merespons isu-isu sosial itu untuk masyarakat luas. Sastra masih memberi dampak yang umum untuk masyarakat luas. Contohnya kayak kami di sini, novelnya Felix K. Nesi terakhir dibaca oleh banyak kalangan di Atambua, Kupang, dan semuanya, lalu dia membentuk satu paradigma baru.
12. Menurut Ricky, bagaimana sastra bisa menjangkau publik?
Saya pikir, sastra bisa memberi dampak, pukulan, merespons isu isu social itu untuk masyarakat luas. Sastra masih memberi dampak yang umum untuk masyarakat luas. Contohnya kayak kami di sini. Novelnya Felix K. Nesi terakhir (“Orang-Orang Oetimu”, red.) dibaca oleh banyak kalangan di Atambua, Kupang, dan semuanya. Lalu dia membentuk satu paradigma baru.
13. Tidak lengkap rasanya kalau tidak berbicara tentang inspirasi. Siapa penulis yang paling memengaruhi gaya dan cara menulis kamu?
Awalnya itu Joko Pinurbo (Jokpin) yang membuat saya jatuh cinta dengan puisi itu, kan, “Celana Ibu”, bagaimana Jokpin bisa membuat peristiwa Paskah yang kalau di kami di Katolik itu kan sakral sekali, ternyata puisi tuh, oh, bisa seenak ini, nih. Lalu kayak Aan Mansyur. Dari Aan lalu gerak ke Mario Lawi. Yang sekarang malah Sunlie Thomas Alexander. Juga penulis penulis yang dari Sumatera. Dulu mau akses bacaan-bacaan puisi, kan, Kompas. Tapi Jokpin tuh saking sukanya, tuh, saya sampai beli buku buku sampai mau jadi kolektor waktu itu. Tapi buku-buku itu saya tinggal begitu di Kupang, habis kuliah saya tidak bawa. Tapi yang berpengaruh atau yang saya suka yang membentuk saya sekarang yang itu nama-nama itu.
14. Apa harapan kamu terhadap dunia sastra di Indonesia, khususnya bagi para penulis-penulis muda?
Dunia sastra tetap sehat dengan banyaknya karya yang dihasilkan juga diimbangi dengan kritik-kritik yang terus dihasilkan. Juga bagaimana sastra merespons banyak persoalan yang selama ini mungkin ditutup-tutupi. Sastra berani, para penulis bisa berani untuk melihat isu-isu sekitar. Saya pikir supaya anggapan-anggapan bahwa sastra adalah kumpulan patah hati, itu jangan lagi. Saya masih berharap dan masih percaya bahwa penulis-penulis bagus, penulis penulis hebat masih banyak dan tumbuh dari Indonesia di mana saja untuk merespons semua hal yang kurang dan untuk memperbaiki hidup ini lebih enak.
15. Terakhir, apa tiga buku favorit Ricky?
Buku Jokpin yang sangat saya suka itu “Surat Kopi”, kalau Aan Mansyur itu “Melihat Api Bekerja”, dan “Rumah” dari Sunlie Thomas Alexander.
Di MIWF 2025, Ricky Ulu menjadi pembicara di beberapa program. Antara lain “7 x 10 Lanskap Hidup: Kisah-Kisah tentang Tempat/Living Landscape: Stories of Place” yang berlangsung pada Jumat 30 Mei 2025 pukul 10.00 – 12.00 WITA, serta “In Conversation with Emerging Writers MIWF 2025” pada Minggu 1 Juni 2025 pukul 16.00 – 18.00 WITA. Selain itu, Ricky Ulu juga meluncurkan buku kumpulan puisi pertamanya yang berjudul “Lalu Kau Menulis Atambua”.
Makassar International Writers Festival (MIWF) 2025, termasuk program Emerging Writers, didukung penuh oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenkebud) RI, melalui Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan.
Penulis : Muhammad Aswar

