Aktivis Papua : Kami Ingin Semua Anak Papua Bisa Membaca

MAKASSAR – Empat aktivis asal Papua membawa kabar terkini tentang situasi Bumi Cendrawasih dalam diskusi panel yang diwadahi oleh Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 di Museum I La Galigo, Sabtu (25/5/2024).

Mereka yakni Aktivis sekaligus akademisi perempuan Papua, Dominggas Nari; Guru sekaligus penulis Papua Gody Usnaat; Aktivis Gender Esther Haluk; Aktivis Pendidikan Dayu Rifanto. Diskusi ini dipandu oleh Fahri Salam, Wartawan dan editor Project.

Selama dua jam diskusi. Mereka banyak bercerita bagaimana sulitnya akses Pendidikan dan akses Kesehatan di sana. Belum lagi, kondisi konflik semakin memperkeruh situasi. “Bagaimana kami bisa nyaman, kalua tantara dimana-mana bahkan di sekolah-sekolah,” kata Esther.

Esther menceritakan, pihaknya sering kali mendapat diskriminasi, bahkan Tindakan represif dari aparat. “Saya pernah dipenjara karena mengurusi pengungsi,” ujarnya.

Cita-cita Esther sederhana, hidup damai dalam kesejahteraan yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat asli Papua. “Dengan begitu kita bisa menata hidup kami lebih baik, tanpa ada rasisme. Karena kita yang paling tahu kondisi kita,” jelasnya.

Hal senada diungkapkan, Dominggas Nari. Dia hanya ingin Papua bisa bertumbuh lebih baik minimal dari pelayanan Kesehatan dan Pendidikan yang mudah diakses. “Paling sederhana itu kalua anak-anak Papua sudah bisa membaca semua,” tuturnya.

Dominggas ialah Pakar Kekerasan Berbasis Gender asal Papua yang berpengalaman lebih dari 20 tahun bekerja dalam menangani kekerasan terhadap perempuan melalui program pembangunan, akademik, dan aktivis.

Selain itu ia juga berupaya memberdayakan dan memperkuat masyarakat adat Papua melalui Jaringan Pelindung Masyarakat Adat Indonesia (Japhama) sejak tahun 1998 dan Konsorsium Pembela Masyarakat Adat.

Sekarang ia menjadi anggota pengurus PT PPMA (Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat) Papua. “Kami secara konsisten fokus pada penguatan kapasitas masyarakat adat Papua dalam pemahaman hukum dan perubahan sosial,” jelasnya.

Dalam tanya jawab sejumlah panelis juga menceritakan bagaimana Program Otonomi Khusus di Papua tidak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu penyebabnya karena perencanaan yang tidak matang.

Terakhir, Dayu Rifanto yang menceritakan bagaimana sulitnya akses literasi. Saat ini dia memfasilitasi, menggerakan komunitas,dan menulis buku bacaan anak. “Di Papua, kelompok yang sering terlupakan itu anak-anak dan perempuan,” jelasnya.

Dia berharap, banyak masyarakat yang mau tergerak untuk memajukan sumber daya manusia di Papua. “Paling tidak jadi relawan atau mendonasikan diri terlibat mengembangkan kemajuan Papua,” tukasnya.

Penulis : Faisal Mustafa

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top