Olin Monteiro memberi instruksi, memandu yoga sebelum workshop Art & Healing dimulai pagi ini di gedung J-3 Benteng Rotterdam. Beberapa gerakan peregangan kecil kami lakukan dengan mata terpejam, merelaksasikan jiwa dan raga.
Olin, seorang koordinator di komunitas ARTforWOMAN, berambut panjang dan menawan, bercerita tentang “pulih”. Ia mengajak kami menggambar kehidupan.
Selembar kertas di hadapanku saat itu, aku menarik garis berliku dengan tinta coklat, kubuat seperti rute jalan dengan bebatuan. Rest area demi rest area ku gambarkan sepanjang jalan itu. Kubayangkan sebagai persoalan paling membekas di hatiku sepanjang hidup.
Selesai menggambar, kami diminta untuk saling berbagi cerita atas apa yang kami lukis di kertas. Ini ranah yang sangat privat. Seseorang di sampingku mengajukan diri untuk berbagi kisahnya, ia teman terdekatku.
Tidak pernah kubayangkan ia akan bercerita. Bagiku dia orang paling kuat menutupi diri dan persoalan hidup di planet bumi. Tapi dia seperti menggertakku dengan kisahnya yang terlukis pada secarik kertas. Goresan-goresan hitam dan merah di lukisannya menghanyutkan. Aku mengonfirmasi sosok yang kukenal ini sebagai perempuan dengan ketegaran dan kesabaran sepenuhnya.
Kami bertepuk tangan merayakan keberaniannya. Aku terenyuh, sejak kapan terakhir ia bercerita? Ini adakah kali pertamanya. Dia telah merilis perasaannya.
Setelah sesi menggambar, kami lanjut ke sesi menulis. Temanya Writing & Healing. Deasy Tirayoh menjadi panelis sesi ini. Deasy membantu kami membalut luka melalui karya.
“Sampai kapan kita menunggu waktu untuk sembuh,” kata Deasy mengawali sesinya pada Sabtu, (26/5/2024).
Deasy juga bercerita tentang dirinya yang punya trauma dan diagnosa depresi mayor. Ia membagikan tips mendeliverikan luka dan kemarahan.
“Sesuatu yang kita kerjakan tidak melulu tentang bagaimana hal itu mentriger orang lain,” ucap Deasy.
Deasy seorang penulis, ia mendeliveri perasaannya dengan menulis surat untuk dirinya sendiri. Ia merasa jauh lebih baik setelahnya. Deasy juga menyarankan membalut luka dengan berbagai karya lainnya, seperti journaling, prosa, atau puisi.
Di akhir sesinya, ia meminta kami merilis tulisan untuk diri sendiri. Lalu bercerita dengan nyaman satu sama lain. Satu per satu peserta berbagi cerita isi surat dan puisi untuk diri mereka sendiri. Lagi-lagi tersentuh mendengar berbagai kisah dari yang lain. Kisah para perempuan yang merawat lukanya, menerimanya, dan membalutnya menjadi sebuah karya.
Penulis: Kartika Nurlan Gene