Tiga kata deskripsi pengalaman sepekan di Ubud : Menyenangkan, menyenangkan dan menyenangkan.
Apa yang terlintas dalam pikiran ketika membandingkan Makassar dan Ubud? Makanan? Budaya? Suasana? Atau bahkan senyum orang-orangnya? Dua kota yang terpisah jarak sejauh 600 kilometer tersebut memang berbeda kultur dan wilayah administratif. Tapi Ubud-Makassar berada dalam satu denyut nadi literasi yang sama, berdetak dan berusaha menjaga tingkat kewarasan sebuah negara di garis khatulistiwa.
Makassar International Writers Festival (MIWF) dan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) adalah dua perayaan sastra yang berlangsung di zona Waktu Indonesia Tengah. Tapi, UWRF lebih sepuh dan tahun ini sudah memasuki edisi ke-20, di saat MIWF yang lahir pada 2011 dan baru menginjak usia 13. Seperti seseorang yang sebentar lagi dewasa dan tetap bersemangat merakit konsepsi ideal tentang dirinya, MIWF merasa perlu belajar ke UWRF.
Berjejaring menjadi metode utama untuk memperluas wawasan dan pertukaran gagasan, dan itu yang dilakukan oleh MIWF. Sebanyak sepuluh koordinator divisi terbang ke Ubud dan terlibat langsung dalam acara sebagai residensi relawan selama sepekan. Menjadi sebuah kehormatan besar untuk terlibat langsung dalam selebrasi literasi tertua di Indonesia tersebut.
Kolaborasi ini membuat relawan residensi berkesempatan bertemu dengan penulis, sponsor, serta pengisi acara untuk melihat potensi kolaborasi di MIWF 2025 yang mengangkat tema “Land and Hand.” Kesempatan bersua dengan pegiat literasi dan budaya, terutama dari wilayah Indonesia bagian timur, diyakini memberi perspektif baru nan berharga bagi pengelolaan MIWF kelak.
Baru pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Dewata, dan saya langsung jatuh cinta dengan denyut budaya serta teduh pepohonannya. Memang benar kalau Bali layak disebut sebagai kediaman para dewa. Gapura megah berdiri gagah menyambut kami saat akan memasuki area Bandara Ngurah Rai Denpasar, merah bata menyala memancarkan auranya yang sederhana di sebagai gerbang menuju ruang kedatangan.
Kami tiba di Ubud pada malam hari, dan seni serasa menyambut dengan tangan terbuka. Patung-patung para figur suci Hindu sangat berwibawa dalam kegelapan. Berjejeran tiap beberapa meter dengan pancaran sakral, dan seolah mengatakan pada kami para penumpang dalam minibus bahwa “inilah Bali nan magis yang biasa kalian lihat di layar gawai, bersahabatlah.”
Misi utama kami di Ubud tentu saja menjadi salah satu dari lebih dari 300 relawan yang bekerja dalam UWRF 2024, sekaligus mengalami proses kesibukannya selama empat hari penyelenggaraan. Sebagai salah satu pesta buku dan penulis tertua di Indonesia, mereka berhasil memasukkan literasi dalam denyut budaya di kota ini yang selalu terjaga. Siang hingga malam adalah perayaan ekspresi kreativitas manusia, kemudian Janet DeNeefe serta tim menjaga bara seni berkata dan menggagas dalam lembar-lembaran buku sejak tahun 2004.
Janet memiliki semangat yang sama dengan mendiang Lily Yulianti Farid, sosok yang membidani lahirnya MIWF pada 2011. Budaya Sulawesi Selatan yang erat berkaitan dengan tradisi bertutur menjadi alasan utama menyulap Benteng Fort Rotterdam menjadi arena perayaan literasi di Tanah Daeng. MIWF yakin setiap kisah yang diutarakan tak boleh menguap dan terlupakan begitu saja, dan harus tetap diwariskan pada anak cucu.
Pengalaman berharga saya dan tim dapatkan dalam program residensi relawan. Bertegur sapa dengan orang-orang yang selama ini wujudnya hanya berupa teks di sampul depan buku, ditambah bekerja dan bertemu dengan para sosok mengagumkan di Media Centre dan kerabat kerja di divisi lainnya. Kepada mereka, saya semakin paham bahwa bekerja dalam sebuah festival haruslah menyenangkan dan dirayakan. Dan kesembilan peserta program ini pun sepakat dengan hal tersebut.
Saya pribadi mengagumi cara seluruh tim UWRF mengefisienkan segala hal. Instruksi jelas dan terperinci langsung didapatkan oleh para peserta program ini bahkan sejak masih di Makassar melalui rapat daring H-7 keberangkatan. Ini jelas menjadi referensi berharga untuk MIWF 2025, di mana kami mulai memetakan apa saja yang harus saya lakukan dan kerjakan selama empat hari di masa cuti bersama Mei tahun depan. Bekerja untuk persiapan segala hal dari sekarang? Sudah tentu.
Ada banyak hal saya alami di Ubud selama sepekan. Menonton film Eksil karya Lola Amaria yang menyajikan luka dan duka orang-orang terusir, serta absennya pemangku kebijakan dari upaya rekonsiliasi. Saya bercengkrama bebas dengan mbah Soesilo Toer (penulis dan adik dari Pramoedya Ananta Toer). Ia masih lantang membakar semangat pengetahuan (bukan ajakan melempar buku ke api unggun) di tepi usia senjanya.
Di Ubud, saya mendengar rasa gundah atas pembatasan ruang ekspresi sebagai masalah umum berbagai negara berkembang yang begitu bersemangat menjalankan “demokrasi pura-pura.” Di Ubud, saya menyimak dengan hikmat bagaimana sineas-fotografer-penulis dari Makassar merasakan dinamika sosial di kota tercinta ini dan menaruhnya dalam berbagai medium. Di Ubud, suara teriakan duka dan tangis kehilangan keluarga di Palestina terasa lebih dekat ke telinga melalui cerita-cerita dari sumber pertama.
Di Ubud, saya belajar untuk hidup melambat dan berlawanan dengan Makassar yang serba tergesa-gesa. Di Ubud, kami semua berhenti sejenak dan mengagumi bagaimana budaya dijaga dengan telaten penuh ketekunan. Di Ubud, saya dan seluruh rekan-rekan program residensi relawan belajar segudang hal agar MIWF senantiasa menjadi corong suara orang terpinggirkan sekaligus selebrasi sastra Indonesia Timur yang berusaha terus menyala.
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa MIWF dan UWRF bergerak dalam satu semangat serupa. Dua ajang tersebut adalah corong bagi kaum terpinggirkan, sekaligus ruang untuk membincangkan segala ketidakadilan tanpa takut dibredel tiba-tiba. Inklusivitas menjadi jaminan, dan setiap orang berhak mengekspresikan dirinya tanpa rasa gentar. Dan semangat tersebut akan menjadi benang merah dari ratusan program di MIWF 2025.
Raga memang sudah kembali bergelut dengan puluhan spreadsheet di Makassar. Tapi hati malah tertinggal di Ubud, dan saya gagal membawanya pulang.
Terima kasih banyak dan salam takzim untuk semua pihak di UWRF 2024 yang bersedia berkolaborasi dan menerima kami untuk belajar. Sampai jumpa di MIWF 2025! Ayo #MeiKeMakassar!
Penulis : Achmad Hidayat Alsair (Koordinator Divisi Relasi Media MIWF)
Foto : Muhammad Ishaq (Koordinator Divisi Dokumentasi MIWF)
*Perjalanan sepuluh koordinator divisi MIWF ke Bali dalam rangka mengikuti program relawan residensi di ajang UWRF 2024 didukung oleh Manajemen Talenta Nasional (MTN) Bidang Seni Budaya, Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan serta program Dukungan Perjalanan, Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Interaksi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia.