Caring Journalism at MIWF 2024 : Merawat Bumi dan Mereka yang Tak Terdengar

MAKASSAR – Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) tahun 2024 menggelar diskusi terbuka Caring Journalism: for the Unheard & for the Planet di Rumata’ Art Space, Selasa (21/5/2024).

Diskusi terbuka ini terbagi dalam dua sesi. Pada sesi pertama, ada Klinik Konsultasi Pulitzer Centre: Isu Kebebasan Pers, Lingkungan, dan Isu-Isu Pers Lainnya. Agenda ini menghadirkan Senior Manager Environmental Unit Pulitzer Center, Detty Saluling dan Pulitzer Center Grante, Adi Renaldi.

Pada sesi kedua, yakni Jurnalisme Melayani: Untuk yang Terdengar & Untuk Bumi. Sesi ini menghadirkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Didit Hariyadi; Pulitzer Center Grantee, Adi Renaldi; Senior Manager Environmental Unit Pulitzer Center, Detty Saluling; Fahri Salim dari Project Multatuli; Jurnalis Sulawesi TenggaraTenggara, Yuli Z; Jurnalis Makassar, Eko Rusdianto; dan dipandu oleh Direktur Eksekutif Project Multatuli, Evi Mariani.

KLINIK KONSULTASI PULITZER CENTRE

Saat pemaparan dalam diskusi pertama, Detty menjelaskan tentang bagaimana cara menjadi penerima pendaan peliputan dari Pulitzer Center untuk hal yang bersifat jurnalisme terobosan dan keterlibatan yang berpusat pada audiens.

Terdapat 3 pendaan Pulitzer Center, yaitu fellowship selama satu tahun, gaji, data, serta riset per angkatan. Adapun dana hibah atau ‘Grant’ yang bersifat jangka pendek, bergulir hingga mendapatkan biaya pelaporan. Selain itu, ada pun keterlibatan komunitas yang bersifat memadukan seni, theater, puisi dan pendidikan untuk memperkuat jurnalisme.

“Kami sangat menghargai adanya pendekatan yang bersifat kolaborasi, pendekatan yang memerlukan data dan jurnalisme dan juga inovatif. Jadi bukan yang biasa-biasa saja, kami berusaha untuk selalu mengikuti tren yang ada dalam dunia jurnalisme,” jelasnya.
Sementara itu, Pulitzer Center Grantee, Adi Renaldi, menjelaskan tentang bagaimana awal dirinya menjadi Grantee atau peraih pendanaan dari Pulitzer Center ketika mengalami Pemutusan Hak Kerja (PHK) saat terjadi pandemi Covid-19 beberapa tahun yang lalu.
Hal itu pula yang menjadi titik awal bagi Adi untuk menjadi wartawan lepas atau jurnalis freelance untuk terus berkarya, hingga kemudian tulisannya dapat diterima dan mendapatkan pendanaan peliputan dari Pulitzer Centre.
“Menurut saya ini sangat membantu yah bagi wartawan, terutama yang freelance untuk terus berkarya,” kata Adi.

Adi menambahkan, meski telah mendapatkan predikat ‘Grantee’, ia sempat mendapatkan penolakan dari Pulitzer Centre hingga beberapa kali percobaan baru dapat diterima.

“Saya sendiri berapa kali Decline, tapi jangan takut mencoba, karena kalau gagal sekali masih terus mencoba,” jelasnya.

DISKUSI JURNALISME MELAYANI: UNTUK YANG TIDAK TERDENGAR & UNTUK BUMI

Direktur Eksekutif Project Multatuli, Evi Mariani sekaligus moderator, sebelum memulai diskusi ini, menjelaskan alasannya untuk menyatukan tema Mothering MIWF 2024 dengan World Press Freedom tahun ini yang mengangkat memuat tagline ‘Jurnalisme untuk Bumi’.

“Malam ini kami ingin menawarkan sesuatu yang berbeda, jurnalisme yang lebih melayani, yang lebih merawat, jurnalisme yang mengaplikasikan suara yang tidak didengar atau under reported,” terangnya.

Dalam menghadapi 26 tahun reformasi bangsa Indonesia, kata Evi, di situlah peran dari jurnalisme pelayanan itu seharusnya dapat hadir.

26 tahun Reformasi kita akan menghadapi dugaan banyak orang, dimana kekuasaan kayaknya kemungkinan akan semakin ugal-ugalan. Nah di mana jurnalisme pelayanan ini hadir,” tegas Evi.

Ketua AJI Makassar, Didit Hariyadi mengungkapkan, pihaknya tidak hanya melakukan pendampingan terhadap kasus kebebasan pers bagi para jurnalis, namun juga bagi aktivis yang kritis hingga lembaga pers kampus atau mahasiswa.

“Aji mendampingi bukan soal kebebasan pers saja tapi kebebasan berekspresi, berpendapat. Nah, itu teman-teman AJI mendampingi kolaborasi LBH Makassar dan LBH Pers,” pungkas Didit.

Didit juga menjelaskan bahwa saat ini kolaborasi dari sejumlah pihak, baik masyarakat hingga mahasiswa sangat diperlukan ditengah mudahnya bagi para jurnalis terkena jeratan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

“Kenapa kita butuh kolaborasi, karena di era sekarang ini digitalisasi kita bebas menyuarakan pendapat tapi kadang kita dikena dengan undang-undang ITE-nya,” tuturnya.

Jurnalis freelance asal Kota Makassar, Eko Rusdiyanto menjelaskan sejumlah pengalaman serta hambatan peliputannya bersama para narasumber selama di lapangan untuk mendapatkan sebuah informasi lebih dalam.

Adapun Yuli Zahra yang merupakan jurnalis asal Bau-Bau, Sulawesi Tenggara yang membahas bagaimana pengalaman dan hambatannya selama meliput isu kekerasan seksual hingga polusi air akibat pertambangan nikel di Pulau Wawonii yang masuk dalam nominasi salah satu kategori pada The Sopa Award’s yang akan diumumkan bulan Juni 2024 nanti.

Pemimpin Redaksi Project Multatuli, Fahri Salim beranggapan bahwa dalam menghadirkan media yang fokus dalam melakukan pelayanan terhadap mereka yang dipinggirkan, dengan bekal jargon saja tidak cukup.

“Artinya sebenarnya, idenya gak baru-baru banget. Cuma kayak butuh nekat aja, ada orang yang nekat terus ketemu sama orang yang visinya sama,” kata Fahri.

Adi Renaldi bilang, dalam menghadirkan sebuah karya, tentu yang kerap dipertanyakan adalah bagaimana dampaknya. “Tentu sebagai wartawan, mungkin ingin membawa karya itu membawa dampak, dalam arti sebuah perubahan,” kata dia.

Walaupun terkadang tidak ada yang baca, Adi bilang bahwa setidaknya karya yang telah dibuat itu akan tetap ada.

Bagi Putlizer Center, membahas tentang impact merupakan hal yang selalu diperbincangkan. Walaupun, menurut Detty Saluling, hal itu tak jarang membuat wartawan itu sendiri merasa terganggu.

“Karena kan tugas wartawan pada awalnya kan memberitakan sesuatu, tidak memikirkan tentang impact. Tetapi, mau tidak mau itu jadi hal yang otomatis,” ujar Detty.

Penulis : Andi Fatur Rezky AAR, Muhammad Aswar

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top