MAKASSAR – Dalam rangka menyambut Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024, digelar kegiatan pre-event MIWF yang menghadirkan pembicara dari Sekolah Pemikiran Perempuan di SMA Negeri 9 Gowa pada Selasa (20/5/2024).
Reski Ciki, yang akrab disapa Ciki membuka diskusi dengan memperkenalkan Co-Director MIWF Ilda Karwayu dan salah satu kurator MIWF 2024 yakni Margareth Ratih Fernandez sebagai pembicara yang akan memperkenalkan MIWF dan menjelaskan Sekolah Pemikiran Perempuan kepada 24 siswi SMA Negeri 9 Gowa yang menjadi peserta. Ciki sendiri merupakan alumni Sekolah Pemikiran Perempuan
‘Kami di sini ingin menjelaskan beberapa hal yang mungkin bakal bermanfaat bagi kalian, mungkin bisa dijadikan opsi, second choice, apabila kalian nanti tertarik,” jelas Ciki.
Ilda Karyawu sebagai pembicara pertama menjelaskan dan memperkenalkan MIWF kepada siswi SMA Negeri 9 Gowa. Ia menjelaskan bahwa helatan tersebut bersifat gratis dan bisa dinikmati oleh siapa saja. Beragam aktivitas pun bisa dinikmati oleh para pengunjung. Turut pula dijelaskan tentang makna m/othering yang menjadi tema penggerak MIWF tahun ini.
“Teman-teman bisa ajak orang tuanya, kakaknya, bisa banget. Di sana teman-teman bisa bertemu penulis, sesama pembaca, musisi, pemain teater, atau artis lainnya dan bisa ikut program-program gratis. Misalnya mendengar (pembahasan) tentang buku, orang yang ngobrolin terbitan buku yang baru, dengar orang baca puisi, itu bisa,” ujar Ilda.
“Tahun ini, MIWF itu ingin mengadakan kegiatan-kegiatan yang mengajak kita semua berpikir ulang, sebenarnya yang bisa melakukan kerja-kerja merawat, mengasuh itu apakah cuma ibu? Jadi semuanya itu tentang siapa aja sih orang-orang yang sekarang bisa merawat dan bisa mengasuh? Bukan hanya ibu kandung, perempuan dewasa, tapi juga kalian yang remaja, bahkan teman laki-laki juga bisa mengasuh,” sambung Ilda.
Selain itu, sebelum berbicara lebih jauh mengenai para pemikir perempuan yang ada di Indoseia, Drs. Muhammad Alyafid selaku Wakil Kepala Sekolah Kesiswaan SMA Negeri 9 Gowa turut memberi kata sambutan sekaligus membuka secara resmi diskusi Sekolah Pemikiran Perempuan.
“Pihak sekolah sangat bersyukur dengan kegiatan-kegiatan seperti ini, supaya anak-anak kami terutama yang perempuan tidak lagi dianggap mungkin muncul diskriminasi, dianggap perempuan yang lebih kurang daripada laki-laki dari segala hal, mungkin dari segi pekerjaan, segi berpikir,” ungkap Alyafid.
SMA Negeri 9 Gowa sendiri dipilih karena sudah pernah ambil bagian dalam rangkaian kegiatan BASASulsel. Bagian dari kerja sama yang telah terjalin sejak lama adalah para siswa dan siswi di sekolah tersebut telah memiliki akun BASASulSel sendiri. Margareth Ratih Fernandez sebagai pembicara selanjutnya, kemudian melanjutkan dengan menjelaskan mengenai apa itu Sekolah Pemikiran Perempuan.
“Sekolah Pemikiran Perempuan, bukan sekolah formal seperti SMA Negeri 9 Gowa. Kami yang ada dalam sekolah itu, menyebar. Ada di mana-mana, di pelosok, bahkan di luar Negeri. Jadi sebenarnya Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) ini adalah sebuah ruang kolektif yang mana memang terdiri dari perempuan-perempuan, kita tuh mendukung belajar bersama-sama membaca kembali pemikiran-pemikiran perempuan yang sudah mendahului kita,” ujarnya.
“Ada banyak sekali pemikir-pemikir, penulis-penulis perempuan, atau seniman-seniman perempuan yang karya-karyanya tidak kita kenali hari ini. Sebagai perempuan, kita justru tidak membaca karya perempuan-perempuan di masa lalu. Lebih banyak yang kita baca adalah misalnya penulis laki-laki. Sebenarnya para seniman-seniman atau pemikir-pemikir perempuan juga punya cara pandang terhadap sesuatu yang pastinya lebih relatable untuk para perempuan-perempuan di masa sesudahnya,” sambung Ratih.
Agenda selanjutnya, dilanjutkan dengan workshop perkenalan tokoh-tokoh perempuan yang dimulai dengan games. Permainan tersebut dinamakan “Bola Pemikiran.” Cara bermainnya adalah semua siswi akan mendapatkan lemparan bola dan menyebutkan nama tokoh perempuan yang dikaguminya. Setelah permainan tersebut, siswi yang mengikuti kegiatan ini dibagi menjadi 4 kelompok untuk menceritakan sejumlah pemikir perempuan Indonesia yang terdiri dari Saparinah Sadli, Charlotte Salawati, Saadah Alim, dan Marianne Katoppo.
Setiap kelompok mempresentasikan dan menceritakan tokoh pemikir perempuan Indonesia-nya dengan kreatif dan seru. Dari latar belakang, pendidikan, bahkan karyanya. Selain itu, setiap kelompok juga diberi instruksi untuk mempersiapkan 5 pertanyaan dari tokoh yang telah diceritakannya. Salah satu kelompok, yaitu anggota kelompok 1 juga membagi kesimpulannya yang telah menceritakan Marianne Katoppo.
“Marianne Katoppo adalah salah satu sosok motivasi saya walaupun saya baru mengenalnya. Tapi, beliau merupakan tokoh yang dapat memperjuangkan ketidakpuasan dan kebebasan perempuan dari karya-karyanya. Beliau juga merupakan tokoh yang inspiratif yang bisa menguasai 12 bahasa. Soekarno pernah berkata, beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,” jelas salah satu siswi.
Selanjutnya, dilanjutkan dengan Ratih yang memilih menjawab setiap satu pertanyaan dari setiap kelompok yang telah diajukan. Salah satu pertanyaan yang dijawabnya adalah mengapa Charlotte Salawati mempunyai nama panggilan lain, yaitu Salawati Daud. Ia kemudian menyitir isi buku Yang Terlupakan dan Dilupakan yang membahas tentang Charlotte Salawati dan Saadah Alim.
“Ada satu cerita yang sangat menarik, jadi bu Charlotte Salawati sudah aktif berjuang dari zaman penjajahan kolonial Belanda. Beliau punya semacam gerakan nasionalis, yang mana salah satu rekan dia, di gerakan itu ada namanya Daud. Mereka cuma dekat, tapi dekatnya tuh cuman sebagai rekan. Tapi ternyata anak buahnya itu selalu menyalahartikan. Karena di asumsikan keduanya ini punya relasi romantik, akhirnya orang-orang, kemana-mana, nyebut bu Charlotte Salawati itu bukan Charlotte Salawati lagi tapi Salawati Daud, karena diasumsikan pak Daud ini adalah suaminya, padahal bukan,” jelas Ratih.
Sebagai penutup, Ilda menyebutkan bahwa permainan ini diharapkan bisa membuat para siswi terinsiprasi. Terlebih terjadi perubahan besar tentang bagaimana perempuan dulu dipandang, dibandingkan masa sekarang. Dan juga semua perempuan memiliki hal-hal yang diceritakan, dan nama-nama mereka tidak lekang dalam sejarah.
“Itulah sebabnya kenapa tadi (di games) teman-teman menyebutkan nama tokoh yang kalian senangi, yang menginspirasi kalian, meskipun itu ibu teman-teman sendiri, atau guru, wali kelas, kami ingin teman-teman menyebutkan nama mereka, karena betapa pentingnya menyebutkan nama, mentioning name untuk orang,” jelas Ilda.
“Karena di zaman dulu, di era bu Charlotte salawati bahkan perempuan itu tidak punya power yang cukup untuk mempertahankan namanya sendiri. Mereka menemukan sesuatu, menggagas sesuatu tidak semudah kita di zaman sekarang,” pungkas Ilda.
Penulis : Alifah Umaimah Ramadhani R.
Foto : Muhammad Trian Rezki Azhar