Crisis Within Crisis: An Introduction to Climate Fiction

Panel kali ini mengundang 3 orang pembicara dengan latar belakang yang berbeda-beda, tetapi dengan fokus yang sama, yaitu Climate Fiction. Isu ini telah hangat diperbincangkan selama 1 dekade ini di dunia, tetapi di Indonesia belum terlalu mengenal isu ini.

Khairani Barokka

Pada bulan Juni 2021, Oka membuat sebuah esai yang berjudul “Art in Pandemic?”. Dalam esai tersebut Oka menekankan bahwa selalu penting untuk berkarya. Kreativitas itu selalu ada dan selalu penting untuk digerakkan. Yang perlu dilihat adalah bagaimana keterlibatan struktur-struktur dan infrastruktur-infrastruktur seni. Bagaimana pekerja seni dan industri kesenian juga ada tanggung jawab terhadap krisis.

Buku pertama Oka berjudul Indigenous Spesies atau Spesies Asli. Buku ini dia gambar, desain, dan tulis. Dia juga menambahkan huruf braille, sebagai pegiat seni dia memandang perlunya ada penyesuaian dalam menerjemahkan buku yang dibuat agar bisa diakses oleh siapa saja. Dia juga menunjukkan ilustrasi lipstik pada salah satu halaman dalam bukunya. Penting untuk tahu dari mana asal semua produk yang kita gunakan. Banyak produk yang terbuat dari kelapa sawit dari Indonesia yang kemudian diekspor keluar negeri.

Buku terbarunya berjudul Ultimatum Orang Utan yang mengaitkan antara kolonialisme dan krisis iklim yang terjadi sekarang. Saat terjadi kolonialisme, ada perpisahan antara alam, pikiran, dan badan. Dalam hubungan antara kolonialisme dan krisis iklim, Oka ingin mengangkat tentang BIPOC and Climate Change.

Oka percaya bahwa di setiap komunitas akar rumput di Indonesia ada cerita-cerita yang saling bercerita tentang masa depan, khususnya climate science fiction ini. Bagi Oka, penting untuk mengedepankan pendapat-pendapat orang pribumi, khususnya perempuan, tentang tanah mereka.

Mandy Marahimin

Awal mula film Semesta ini karena Mandy dan Nicholas sangat prihatin dengan isu iklim. Mereka juga sering diskusi tentang film yang fokus pada krisis iklim, sayangnya emosi yang ditampilkan hanya emosi negatif atau ketakutan. Mereka kemudian mencoba menampilkan emosi yang berbeda dalam film Semesta, mereka ingin menunjukkan isu ini melalui sisi keagamaan. Berharap ada pemantik bagi masyarakat untuk menjaga lingkungan melalui pendekatan emosi positif atau cinta pada lingkungan dan dari perspektif agama.

Ketertarikannya membaca novel distopia membuatnya memikirkan kembali bagaimana caranya menarik perhatian masyarakat. Novel-novel yang dibacanya ini selalu menunjukkan akibat dari sesuatu yang dilakukan saat ini terhadap masa depan. Ia juga menganggap bahwa manusia bisa berubah dengan kisah-kisah, saat emosi yang tersentuh.

Mandy juga menambahkan bahwa terdapat pengaruh yang besar saat orang menonton tentang climate fiction di film daripada di buku. Dia menunjukkan 3 film yang mengangkat isu perubahan iklim. Salah satu film tersebut dapat diakses melalui laman Youtube yang berjudul Negeri di Bawah Kabut. Mandy juga menambahkan bahwa mungkin alasan belum ada film fiksi di Indonesia yang mengangkat isu ini karena biaya yang cukup mahal, apalagi fokusnya pada menyampaikan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Oleh sebab itu, dia menyukai buku Eka Kurniawan yang berjudul The Tales of Two Planets, karena tidak fokus pada cerita di masa depan. Dia melihat ada potensi buku ini untuk diadopsi ke dalam film fiksi yang mengangkat isu perubahan iklim. Selain itu, Mandy berpendapat bahwa genre film orang Indonesia juga sangat terbatas sehingga mungkin dengan mengangkat film yang bertema distopia seperti ini akan mahal.

Afu Utami

Afu selama 8 tahun terakhir ini fokus sebagai peneliti dan pembicara untuk meningkatkan kesadaran tentang krisis iklim. Dia mengaku bahwa semakin dia mengulang dengan audiens yang berbeda dari tahun ke tahun, Afu menyadari bahwa semakin kesini semakin terasa jika pekerjaannya ini ibarat menyampaikan berita kiamat. Secara pribadi, dia mengaku bahwa membagikan fakta-fakta terkait isu lingkungan ini tidaklah mudah baginya sendiri. Orang-orang masih merasa jika isu ini isu yang jauh, sehingga mereka belum benar-benar memikirkan dampaknya saat ini.

Bahasa dan teknis yang digunakan untuk menggambarkan isu ini menciptakan jarak, kesannya untuk bisa membicarakan ini orang-orang perlu tahu dulu bahasa yang dimaksud. Dalam isu krisis iklim ini, isu ketidakadilan, dimana kelas yang paling banyak berkontribusi pada perubahan iklim ini adalah kelas yang paling banyak mengonsumsi, paling banyak mengeluarkan emisi, tetapi mereka tidak begitu merasakan dampak dari perubahan iklim ini. Sedangkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab malah yang paling banyak merasakan. Jika dilihat dari sudut pandang sosial ekonomi, kelas menengah atas yang perlu lebih banyak berkontribusi pada pencegahan perubahan iklim ini.

Afu membagikan hasil refleksi personalnya tentang kenapa fiksi iklim ini spesial. Dia membaginya dalam dua cara pandang, yaitu secara intrinsik dan secara eksternal. Secara intrinsik, hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh non-fiksi, yaitu medium menyampaikan kebenaran, menyelami irasionalitas melalui dialog karakter, kanal memproses kecemasan, secercah harapan menang (solusi sebagai climate action, meskipun tidak bisa langsung diterapkan), memulai percakapan, dan titik awal untuk mendalami lewat non-fiksi. Berbeda halnya dengan fiksi, Afu menambahkan hal-hal yang tak bisa dilakukan oleh non-fiksi dan kekurangannya dilihat dari sudut pandang secara eksternal, seperti bias seleksi, risiko misinformasi, dan menambah kecemasan.

Tonton rekamannya berikut ini.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top