Sesi ini mengajak kita mendengar cerita-cerita dari pekerja migran dan penulis. Kebijakan terkait penanganan Covid-19 ini memberikan banyak dampak pada pekerja migran, seperti dampak fisik, kelelahan emosi, ketidakmampuan mereka untuk pulang ke rumah, stigma, dan diskriminasi baik oleh tempat mereka bekerja maupun masyarakat, serta tidak diikutsertakannya suara mereka dalam kebijakan untuk penanganan pandemi. Pekerja migran domestik harus berjibaku dengan lockdown, misalnya berkurangnya waktu off-day atau hilangnya waktu istirahat, bertambahnya jam kerja. Rumah atau home yang diasosiasikan sebagai tempat yang aman selama lockdown menjadi tempat yang tidak aman untuk pekerja migran domestik.
Nurjannah
Nurjannah berasal dari Brebes dan sudah bekerja di Singapura selama 6 tahun. Selama itu, dia tidak mendapat hak-haknya sebagai pekerja domestik, seperti tidak mendapatkan libur kerja atau telepon genggam untuk bisa menghubungi keluarga di rumah.
Nurjannah memulai dengan membacakan puisinya yang berjudul “Tersenyum”. Ia terinspirasi dari teman-teman pekerja migran, salah satunya dari Eli Nur Fadilah. Buku karya 14 pekerja migran ini membuatnya melihat sisi lain dari pekerjaannya. Ia belajar memotivasi dirinya untuk menulis. Ia belajar mengenali cara mereka menulis dan memotivasi teman-teman lainnya. Tulisan pertamanya yang terbit adalah tulisan saat dia terlibat dalam penelitian yang dilakukan oleh Dyah Pitaloka.
Menulis adalah bagian dari perubahan hidupnya. Ketika memutuskan menulis, ia merasakan banyak hal. Menulis membantunya untuk mengurangi beban yang ia rasakan. Ia yakin bisa mewakili suara teman-teman melalui tulisan yang sudah dia buat. Ia menambahkan bahwa seringkali ia mengulang-ulang tulisannya hingga mendapatkan bahasa yang tepat dan sebelum dipublikasikan ia akan berdiskusi dengan mentornya.
Eli Nur Fadilah
Eli adalah seorang ibu tunggal yang berasal dari Cilacap. Ia sudah bekerja di Singapura sejak tahun 2011 sebagai pekerja migran domestik. Saat remaja, ia membaca buku Kahlil Gibran yang diberikan oleh temannya dan menuliskan cerita-cerita yang disampaikan oleh temannya. Setibanya di Singapura, ia merasa bisa melakukan sesuatu dengan baik, salah satunya dengan menulis. Ia juga terinspirasi oleh sebuah kalimat yaitu, “saya ada untuk menghidupkan orang lain”. Sebuah kutipan yang diambil dari majalah yang berjudul dari Kampung ke Kampung.
Ia tidak begitu mengingat tulisan pertamanya, tetapi ia menuliskan kembali sebuah tv series yang berjudul “Everything for Love”. Hal ini yang kemudian menginspirasinya bahwa apapun yang dia kerjakan, rasakan, dan alami adalah karena cinta. Ia mengalami hal yang berat saat ayahnya meninggal, sampai akhirnya dia memulai menulis lagi.
Bagi Eli, ketika ia membaca, ia mendapatkan kedamaian, tetapi ketika ia menulis, dia menemukan kekuatan. Ia percaya bahwa kata sangatlah kuat. Sampai saat ini satu hal yang selalu ia pegang, bahwa kita membaca, kita menulis, dan kita percaya. Eli berharap melalui menulis ia dan teman-teman pekerja migran yang lainnya dapat lebih inklusif. Tidak seperti yang lainnya, Eli mulai menulis dengan menggunakan Bahasa Inggris. Ia juga menambahkan bahwa seringkali ia meminta bantuan dari anak tempat ia bekerja atau teman lainnya untuk mengecek tulisan-tulisannya.
Puji Astutik
Puji Astutik atau akrab disapa Ucik berasal dari Blitar, Jawa Timur. Dia bekerja sebagai pekerja migran domestik di Hong Kong sejak tahun 2010. Sebelumnya, dia bekerja di Malaysia dan Singapura. Ucik membaca karyanya yang berjudul “Rindu”. Ucik yang mengidolakan Najwa Shihab dan bukunya yang berjudul “Catatan Najwa”, kemudian terinspirasi untuk menuliskan kisah-kisah yang dialami oleh teman-temannya sesama pekerja migran Indonesia. Dia menuliskan kisah-kisah itu melalui blog-nya.
Ucik menulis puisi tentang kebakaran yang mengisahkan kakaknya sebagai korban kebakaran pada tahun 2016 yang lalu. Setelah itu, dia menulis kembali setelah mengikuti penelitian Dyah Pitaloka. Menulis menjadi media baginya untuk bercerita. Media ini menjadi perpanjangan tangan antara apa yang dirasakan oleh Puji dan teman-temannya.
Melalui tulisan, ia harap keluarga yang ada di Indonesia lebih dapat memahami keluarganya yang bekerja di luar negeri. Mereka yang bekerja jauh dari keluarga hanya mencoba yang terbaik untuk keluarganya di tanah air. Kebahagiaan mereka sesungguhnya adalah ketika dapat berkumpul bersama keluarga di Indonesia. Ia dapat menyampaikan pikiran-pikirannya melalui tulisan. Ia menambahkan bahwa ia juga punya beberapa orang teman yang biasa membaca tulisannya sebelum dipublikasikan. Hasil diskusi ini kemudian yang dia jadikan masukan dalam menyunting tulisannya untuk dipublikasikan.
Erin Cipta
Erin Cipta berasal dari Cilacap, Jawa Tengah dan sebelumnya bekerja selama tiga tahun sejak tahun 2012 sebagai pekerja migran domestik di Taiwan. Semenjak kembali ke Indonesia, Erin giat menyampaikan literasi di Cilacap. Erin sudah menulis sebelum berangkat ke Taiwan. Ia terinspirasi untuk menulis cerpen setelah membaca serial cerpen Ipung karya Prie G. S. yang diterbitkan di koran Suara Merdeka saat ia masih remaja. Untuk gaya penulisan, ia terinspirasi oleh novel-novel milik Ahmad Tohari. Buku-buku ini yang ia dapatkan dari ayahnya.
Tahun 1988, saat Erin masih kanak-kanak, ia menulis puisi tentang anak yang jatuh dari pohon kemudian dinasehati oleh ibunya. Ia memenangkan lomba cerpen pertamanya saat masih duduk di SMA. Ia menambahkan bahwa ia intens menulis buku sejak berada di Taiwan dan bahkan menerbitkan sebuah buku.
Ia merasa hidup saat menulis. Ia merasa bahagia setelah menulis. Membaca juga memberinya kebebasan. Menulis adalah usahanya untuk membangkitkan rasa percaya diri saat pindah ke Taiwan untuk bekerja dan ia ingin membuat monumen bagi anak-anaknya. Menulis adalah alasan pribadi baginya. Tantangan terbesarnya adalah ketidakpercayaan diri dalam menulis, tetapi semua dapat ditepisnya dengan belajar.
Frenia Nababan
Frenia fokus pada isu pekerja migran saat terlibat dalam penelitian berkaitan dengan isu tersebut. Menurutnya, ada stigma-stigma yang khas yang muncul terhadap pekerja migran saat pandemi ini, misalnya pembawa virus. Itu belum termasuk dengan sosial status yang disematkan pada pekerja migran, khususnya bagi pekerja migran domestik. Orang-orang mengharapkan kesempurnaan pada peran pekerja migran ini, baik itu untuk keluarganya di Indonesia maupun di tempatnya bekerja. Penelitian ini mengakomodir tulisan-tulisan pekerja migran sebagai media untuk mengobrol dengan keluarganya. Kekayaan tulisannya dan negosiasi yang khas. Mereka menceritakan tentang kerinduan dan harapan. Dukungan yang paling besar didapatkan dari teman-teman sesama pekerja migran. Fre juga menambahkan bahwa partisipannya adalah perempuan semua.
Beberapa tulisan yang ia baca menunjukkan bahwa pekerja migran ini merasa seperti duduk di sudut kamar ataupun ikan di dalam botol selama pandemi. Mereka tidak memiliki ruang untuk dirinya, karena ruang-ruang itu diinvasi oleh pemilik rumah yang terpaksa harus bekerja dan belajar dari rumah selama pandemi. Definisi yang tidak jelas antara rumah dan tempat kerja bagi pekerja domestik saat ini. Selain itu, pekerja domestik ini adalah garda terdepan untuk ekonomi dan kesehatan. Mereka yang diminta kemana-mana untuk menyediakan kebutuhan tempat ia bekerja. Narasi-narasi bahwa mereka adalah kelompok marjinal perlu diangkat. Mereka butuh ruang untuk menyampaikan suara-suara mereka.
Gavin Seah
Gavin sangat mengapresiasi keberanian dari pekerja migran yang mampu mengungkapkan pikiran-pikiran mereka dan menjadikan tulisan mereka sebagai media untuk mengungkapkan segala kerinduan, kebahagiaan, dan harapan mereka. Gavin menambahkan kekagumannya dengan tulisan yang dibacakan sebelumnya, juga bagaimana kata dalam tulisan bukan sebagai satu-satunya jalan, tetapi bagaimana mengajak pembaca untuk melihat lebih jauh ke dalam cerita dalam buku tersebut. Ia menambahkan bahwa poin yang penting tidak hanya memperlihatkan pandanganmu, tetapi mengundang pembaca untuk masuk dan menelaah lebih jauh. Pekerja migran ini keluar dari cangkang yang mengitari mereka dan mengungkapkan suara mereka mewakili teman-teman pekerja migran lainnya.
Gavin berpendapat bahwa mengenalkan tools yang dapat mendukung mereka dalam penulisan bisa jadi langkah awal yang baik, tidak hanya dengan memberikan keberanian untuk mereka menyuarakan aspirasinya melalui cerpen atau puisi. Mengemas hal tersebut menjadi satu melalui program mentoring sebagai bentuk dukungan bagi mereka. Selain itu, keterlibatan penerbit-penerbit baik lokal maupun internasional dalam memberikan ruang aspirasi juga akan berpengaruh sangat penting.
Marina Mahatir
Sebagai seorang penulis, Ibu Marina sangat kagum dengan tulisan-tulisan ini. Pekerja migran ini mampu menulis dengan cinta dan kebenaran dari pengalamannya. Proses yang mereka lalui sebagai pekerja migran cukup mirip dengan proses yang ia lalui dalam proses penulisannya. Pekerja migran ini mampu melampaui stereotip yang tersematkan untuk mereka. Ia juga menambahkan bahwa ia kagum 14 orang ini mampu menghasilkan sebuah buku dan bahkan menuliskannya dalam Bahasa Inggris.
Ia menambahkan bahwa dukungan terbaik untuk penulis adalah kesempatan untuk mendapatkan sorotan. Memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan media untuk mengekspresikan aspirasinya dan menginspirasi orang-orang dengan pengalamannya. Mengenalkan mereka dengan penulis-penulis yang sudah berpengalaman dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan umpan balik dari penulis tersebut memberikan satu kesempatan baru bagi penulis-penulis pekerja migran ini.
Tonton rekamannya melalui tautan berikut.