Dangdut dan Budaya Pop dari Kacamata Mahfud Ikhwan

MAKASSAR — Diskusi buku Kepikiran Dangdut dan Hal-hal Pop Lainnya karya Mahfud Ikhwan jadi salah satu rangkaian kegiatan Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) 2024 di Gedung K3, Benteng Rotterdam, Kota Makassar, Sabtu (25/5/2024).

Dari penjelasan Maria Pangkratia selaku moderator diskusi, buku ini merupakan karya esai musik pertama yang ditulis Mahfud. Diskusi yang ditunggangi Koordinator Program di Yayasan Klub Buku Petra tersebut diikuti sebanyak 11 peserta.

Dalam kesempatan itu, Mahfud mengatakan jika buku Kepikiran Dangdut dan Hal-hal Pop Lainnya berisi tentang fenomena musik yang terjadi dari kacamatanya. Kata dia tulisan-tulisan dalam buku ini ialah kumpulan esai miliknya yang telah terbit di beberapa laman daring.

Esai-esai Mahfud tersebut kata dia dipantik dari pengalaman pribadinya serta ketertarikannya pada dunia musik yang acap kali ada sesuatu dibaliknya.

“Saya menengok dalam musik itu juga ada kelas-kelasnya, ini (lagu) untuk orang kalangan atas atau orang perkotaan dan ini (lagu) untuk orang kalangan bawah,” kata pria kelahiran 1980 tersebut.

Mahfud bercerita tentang bagaimana korelasi jenis musik dan latar belakang pendengarnya. Di masa kanak-kanak dan remaja Mahfud, musik bukanlah sesuatu yang dapat dipilah berdasarkan selera masing-masing.

“Musik kala itu tidak seperti kita memasuki restoran, lalu dengan bebas memilih menu apa yang kita sukai,” tuturnya.

Musik saat orde baru, kata Mahfud adalah sesuatu yang telah disiapkan sesuai dengan preferensi pemerintah saat itu. Selera musik saat itu, dikatakan Mahfud dibentuk oleh tangan-tangan tersembunyi dibaliknya, terikat dengan kepentingan pemodal maupun kepentingan tertentu.

Mahfud memberi contoh salah satu acara ragam unggulan TVRI tahun 1980-an yang bernama Aneka Ria Safari. Sebuah program yang digagas oleh Edy Soed.

“Artis-artis Safari saat ingin terlibat dalam program itu (Aneka Ria Safari) terlebih dahulu akan dimintai menyatakan dukungannya atas pemerintah,” kata dia.

Artis safari dikatakan Mahfud acapkali digunakan sebagai alat promosi partai tertentu, apabila artis tidak berpihak pada partai tersebut, maka sang artis akan disisihkan dari program Aneka Ria Safari.

Menurut, Mahfud akses seseorang pada musik lah berpengaruh pada selera mereka. Dimana orang kota yang punya akses terhadap musik lebih punya preferensi yang beragam soal musik. Berbeda dengan dirinya yang berasal dari keluarga menengah yang hanya dicekoki musik-musik yang telah dipilah pemerintah.

“Lagu-lagu barat yang eksis biasanya ditayangkan jam 9 malam ke atas, jadi kita yang cuman nonton lewat telivisi tetangga tidak sempat mengakses itu, sebab jam segitu kita (kalangan menengah) sudah harus pulang,” terangnya.

Hal-hal semacam ini kata Mahfud, juga terjadi pada hal-hal pop di luar musik. Dimana saat masa remaja Mahfud dulu, tontonan berbau India dicap sebagai tontonan orang kampung, identik dengan tontonan para keluarga pembantu.

“Jadi, daripada saya menjelaskan kenapa saya menyukai dangdut, lebih baik saya menulis buku ini agar dangdut menceritakan diri saya,” kata dia.

Pandangan serupa disampaikan oleh salah seorang peserta asal Ambon. Dirinya mengaku menyukai tulisan-tulisan Mahfud dalam buku-bukunya lantaran merasa relate dengan yang ia alami.

Lanjut, perempuan tersebut mengatakan, dari membaca karya Mahfud, dirinya seperti memiliki teman yang punya perasaan yang sama seperti dirinya.

“Perasaan punya teman itu membuat saya bahwa ya setidaknya kita punya kesukaan yang sama, memandang sesuatu yang sama pula,” pungkas Mahfud.

Penulis : Saldi Adrian

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top