“Pada akhirnya kita harus melepas” – Farid, suami Lily Yulianti Farid, mengawali hari yang penuh haru dan emosional dalam pementasan “Dapur – Monolog”.
MAKASSAR – Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 mempersembahkan diskusi buku dan pertunjukan “Dapur – Monolog” dari kumpulan cerpen “Ayahmu Bulan, Engkau Matahari” karya Lily Yulianti Farid, di Mama Toko Kue, Serui, Makassar.
Setahun lebih kepergian Lily, cerita ini dihidupkan kembali melalui adaptasi monolog oleh sutradara ternama, Riri Riza, dan diperankan oleh Luna Vidya, pada Minggu, 26/5/2024.
“Dapur”, bercerita tentang Ruth yang telah meninggalkan tanah kelahirannya, Ambon, dan menapaki kehidupan baru di Makassar, hingga bagaimana kuasa patriarki melalui tepung roti memengaruhi kehidupannya.
Toko Mama Kue yang biasanya ramai dengan aroma kue dan tawa, pagi itu berubah menjadi panggung yang haru. Dibalut dengan cerita-cerita dari kerabat Lily yang juga menambah suasana hangat pagi itu.
Suasana semakin syahdu ketika M. Aan Mansyur naik ke panggung untuk memberikan sambutan dan penghormatan mendalam atas kepergian Lily. Ia menyebut Mama Toko Kue adalah salah satu tempat Lily dan dirinya mendiskusikan serta menggagas MIWF.
“Lily adalah sosok yang selalu menginspirasi. Melalui “Dapur – Monolog”, kita diajak untuk merenungi makna dari pekerjaan domestik dan kekuatan perempuan di dalamnya. Monolog ini adalah cara kami merayakan kehidupan Lily,” kenang direktur baru MIWF itu.
Aan mengenang Lily tentang bagaimana festival ini pertama kali dimulai. “Seperti tema tahun ini (M/othering), Lily selalu menjadi ibu bagi banyak orang, termasuk bagi MIWF. Dia merawat festival ini dengan cinta dan dedikasi,” tuturnya.
Riri Riza turut mengapresiasi seluruh energi yang telah terlibat. “MIWF tidak akan pernah terpisah dari semua yang bisa kita rasakan. Tahun lalu adalah tahun yang berat, namun semua terlaksana,” pungkas Riri.
Dalam ‘Dapur’ Ruth
“Beta berlayar, jauh dari ambon e…,” adegan dibuka dengan lagu Beta Berlayar Jauh. Ruangan yang sederhana ini disulap menjadi sebuah dapur dengan meja besar, dan menjelma menjadi sebuah panggung sunyi.
Di sudut dapur, matanya menyipit fokus pada nyala api, bagai menghidupkan nyawa dalam setiap uap yang mengepul. Sarung yang membalut tubuhnya, seolah menguar aroma rempah yang bercampur dengan percikan minyak yang menempel disana-sini.
Dengan lembut, Ruth meraih segenggam terigu dan membiarkannya jatuh perlahan dari tangannya ditemani loyang-loyang kue yang berkilauan. Di dapur inilah Ruth menemukan keluarga baru, bersama majikannya, Ibu Andis dan Kalyla yang mengelola sebuah catering.
“Menurut beta (saya) toh, katong (kita) punya ingatan itu akan tersimpan dalam bau, dalam warna, dalam suara, dalam rasa,” ucapnya saat membuka monolog dengan dialek khas Ambon. “Beta pu ingatan toh, akan pukul beta, macam ombak, datang pukul beta.”
Setiap kali tangannya meremas adonan, ingatan tentang kampung halamannya menyeruak. Ketika kerusuhan Ambon pecah, Ruth tetap setia di dapur. Adonan yang keras dan liat itu sering menjadi pelampiasan emosi yang menggelayuti hatinya.
Luna Vidya berhasil menampilkan Ruth dengan begitu hidup dan nyata. Ia membawa penonton untuk menyentuh kenangan pahit manis yang tersembunyi di dapur itu. Di akhir pementasan, “Dapur – Monolog” tidak hanya menyisakan kekaguman terhadap sosok Ruth, namun menjadi pementasan perayaan kehidupan terhadap sebuah sastra untuk mengenang Lily.
Penulis: Nur Muthmainah