Depresi Karena Jauh dari Agama dan Tuhan Itu Salah

GOWA — Tepuk tangan bergemuruh. Setelah dua pembicara menyampaikan materinya.

Diskusi yang dipandu Theoresia Rumthe itu lalu membuka sesi tanya jawab.

Sontak, beberapa peserta yang sejak awal memenuhi Lecture Theatre Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar itu angkat tangan.

Pengarang asal Ambon itu menunjuk salah satu di antaranya. Perempuan yang duduk di barisan kedua bagian tengah.

Perempuan mengenakan cadar itu memperkenalkan dirinya sebagai Nur. Mahasiswa Studi Agama-agama UIN Alauddin Makassar.

Mulanya, Nur bercerita tentang kesehatan mentalnya. Ia mengaku punya masalah terkait itu.

Diskusi yang digelar Kamis, (8/6/2023) ini memang terkait itu. Bertajuk “Toleransi Sehat: Menjaga Kesehatan Mental dalam Keberagaman Melalui Literasi”. Rangkaian kegiatan Makassar International Writer Festival (MIWF) yang digelar Rumata’ Artspace.

Di tengah diskusi. Nur berterus terang, bahwa setiap kali kesehatan mentalnya terganggu, ia mencoba menulis. Namun itu tidak cukup membantu.

Anggapan yang berkembang di masyarakat, kata Nur, orang depresi karena jauh dari tuhan. Atau bahkan agama. Ia membantahnya.

 “Banyak yang bilang orang depresi karena jauh dari agama dan tuhan.

Itu salah,” tegas Nur.

Pernyataan Nur dibenarkan pembicara diskusi, Henry Manampiring. Penulis Buku Filosofi Teras itu juga percaya depresi dan kesehatan mintal sebaiknya tidak dikaitkan dengan keimanan.

“Itu (depresi) menimpa semua orang kok. Yang rajin salat, ateis. Saya rasa sama ajalah. Jangan dikaitkan dengan keimanan,” tegasnya.

Henry mengutip seorang tokoh psikolog. Menurutya, orang stres karena tiga harusinasi. Pertama karena selalu berpikir harus jadi orang sukses. Kedua selalu merasa harus diperlakukan secara adil, dan terakhir selalu menggap hidup harus indah.

Senada sengan Henry, pembicara kedua, Syamsul Arif Galib mengamini pernyataan Nur dan Henry. Pengajar Studi Agama-agama itu bahkan menyinggung dikotomi kendali.

Sebuah konsep berpikir yang disebutkan Henry dalam bukunya Filosofi Teras. Dengan dikotomi kendali, kemungkinan stres dan kesehatan mental bisa lebih diminimalisir.

“Kita hanya bisa mengendalikan yang dipikiran kita. Tapi apa yang dilakukan orang lain, pikiran orang lain. Biarkan saja,” tandasnya.

Penulis: Arya Nur Prianugraha

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top