Stolen Children, atau Labarik Lakon merupakan kasus penculikan anak-anak timor leste saat konflik Indonesia-Timor Leste terjadi. Kasus ini diduga didalangi oleh militer Indonesia yang menggunakan anak-anak untuk Tenaga Bantuan Operasional (TBO). Pada akhirnya, anak-anak tersebut hilang dan dibawa ke Indonesia yang notabenya diduga meninggal oleh keluarga.
Saksi hidup penyintas TBO, Jose Ximenes mengungkapkan bahwa dirinya mengingat tugas-tugas yang diberikan militer Indonesia. Mulai dari kebutuhan harian, hingga kebutuhan perang semua harus dilakukan walaupun berat. Tidak ada pilihan menghidar saat itu, ABRI memiliki kekuatan militer di Timor Leste.
“Sebagai korban, dibawa tentara, tahun 75-79. Kemudian ke Sulawesi. TBO itu sangat berat, siapkan air, masak, senjata yang disiapkan untuk perang, pokoknya apapun yang diperintahkan dilakukan. Kami tidak bisa apa-apa, TBO sangat bersiko, terutama dalam kondisi perang. Harus ikut sama tentara,” ungkap Jose di Benteng Rotterdam, Sabtu 25 Mei 2024.
Di Sulawesi, Jose pertama kali menginjakkan kaki di kota Pare-Pare. Ia kemudian menerap di Palopo selama 4 dekade. Sejak dibawa ke Sulawesi, keluarganya menganggap ia telah meninggal karena sebagian besar keluarga TBO menganggap saat anak-anak dibawa ABRI, sudah tak ada kabar sama sekali bahkan pasrah anak-anak tersebut telah meninggal dunia.
“Tahun 79 saya di bawa ke sulawesi, ke Pare-Pare, menetap di Palopo. Saya 40 tahun lebih saya tidak bersama keluarga, keluarga mengira saya sudah meninggal karena dikabarkan demikian TBO sudah meninggal,” cerita Jose.
Dibantu oleh Asian Justice and Rights dan KontraS, Jose akhirnya bisa kembali pulang menemui keluarga pada tahun 2018. Diakui Jose, Pemerintah Indonesia tidak sama sekali memberi perhatian pada isu TBO. Sebelum diindentifikasi AJAR dan KontraS, Jose bertahan hidup sendirian. Ia bahkan mencari teman-temannya yang hilang yang ia perkirakan sampai ribuan orang.
“Tahun 2018 saya pulang bersama AJAR. Dalam pencarian saya bantu teman² KontraS, AJAR. Sampai saat ini kami belum ada perhatian dari Pemerintah. Saya tinggal di Luwu Utara sendiri. Saat ditemukan tim pencari lakon, barulah saya bisa pulang ke kampung halaman. Saya masih mencari teman-teman yang hilang, ribuan, TBO tidak pernah diakui,” keluh Jose.
Jose juga meminta banyak pihak agar bisa membantu menemukan teman-teman TBO yang senasib dengan dirinya. Sependek ingatannya, Jose mengungkap bahwa dirinya saat dibawa ke Sulawesi Selatan dimuat sebanyak 25 orang, dan seluruh anak tersebar ke seluruh daerah Sulsel.
“Tolong kami bantu kami teman-teman yang mungkin masih ada, kami akan cari sampai pelosok, banyak ribuan teman-teman kami yang mungkin meninggal tapi tidak kita tahu. Kami datang 1 kompi, 25 orang saat masih anak-anak. Tersebar ke seluruh Sulsel. Jadi sudah tidak ada yang tahu kampungnya,” tandas Jose.
Sementara itu, Asyari Mukrim perwakilan kontraS Sulsel mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya masih terus bekerja untuk mencari data dan informasi mengenai TBO ini. Data awal dalam penyelidikan ini berdasarkan data Timor Lester-Truth Commusion yang merilis ribuan anak hilang saat masa konflik Indonesia-Timor Leste.
“Kami di kontraS Sulawesi bekerja di isu stolen atau Labarik Lakon ini terus menggali informasi ini sangat minim. Kami hanya berpijak pada laporan CAVR pada tahun 99 itu menyebutkan ada 4000 lebih anak hilang saat masa konflik tahun 75,” ungkap Ari.
Menurutnya, pola pengambilan ini merupakan bagian ambisi Pemerintah Indonesia menganeksasi Timor Leste sebagai bagian dari wilayah Indonesia setelah lepas dari jajahan Portugis. Dengan ambisi tersebut, berbagai cara dilakuakn bahkan dengan mempekerjakan anak-anak Timor Lester untuk perbantuan perang.
“Ada beberapa pola pengambilan : tahun 75, sata proses aneksasi, saat itu terjadi dekolonalisasi, pasca portugis melepaskan diri, itu yang menjadi proses aneksasi, puncaknya 7 Desember 95 aneksasi pertama menyebar di beberapa tempat, mengenal istilah Timor Leste kab. Termuda di Indonesia, padahal tidak bisa diakui seperti itu karena kondisi konflik. Jadi bamyak anak yang diambil sebagai TBO,” jelas Ari.
Pada proses mengindentifikasi TBO yang dibawa ke Sulsel sendiri, Ari mengungkap bahwa kontraS melakukan berbagai proses identifikasi, salah satunya mencari pola kedatangan dan keberangkatan pasukan militer saat itu. Selebihnya, ia secara sporadis melacak informasi dari berbagai sumber.
“Banyak yang dibawa secara sepihak. Informasi itu yang mulai muncul, yang bisa diidentifikasi yaitu pola kedataangan dan kepulangan yang dikirim ke Indonesia. wal-awal tahun 75 sampai tahun 80an banyak pasukan yang dikirim dan pulang dari Sulawesi. Basis informasi juga ada orang yang hidup sendiri, atau anak yang hidup bersama bapaknya. Informasi dari orang-orang,” urainya.
Saat ini, kontraS baru bisa mengindetifikasi 179 orang dan khususnya Sulsel baru sebanyak 80 orang. Saat referendum terjadi tahun 1999, Ari mengatakan salah satu penampungan para TBO yang dibawa ke Sulsel yakni berada di Benteng Fort Rotterdam. Migran-migran saat itu diannggap dapat membantu mengidentifikasi para TBO lainnya.
“Dari 4000 kami baru bisa 179. Di Sulsel baru 80an. Itupun baru daerah-daerah aksesnya tidak mudah. Situasi traumatis. Tahun 99 referendum berlangsung, proses migrasi dari Timor Leste, salah satu penampungan benteng rotterdam. Yang migrasi ini juga membantu kita juga mengingat mungkin koneksi dengan para TBO,” tutur Ari.
Kisah-kisah para TBO kemudian didokumentasi dan diabadikan dalam sebuah karya buku dokumentasi berjudul “distance longing: Distance Longing : Diskusi A Constant Longing: Social Justice, Human Rights, and the Arts. Buku ini merupakan kolaborasi antara kontraS, AJAR dan para seniman dan penerbit. Prastya Yudha, Seniman dan Penerbit di Jogja mengatakan bahwa dirinya mendapatkan dokumentasi terkait TBO dan tertarik membuat karya bersama berupa cerita tentang anak-anak TBO sebagai buku foto, memuat 10 cerita TBO saat reuni dengan keluarganya.
“AJAR memberikan dokumentasi investigasi dari tahun 2013-2022. Saya tidak hanya melihat dokumentasi itu saja, saya akhirnya ikut mempelajari kasus labarik lakon. Proses dokumentasinya, saya ke tim AJAR kemudian memberikan saran,” ucap Prastya.
Tidak hanya Prastya, projek tersebut juga melibatkan Rais, Seniman Bombo juga membuat karya audio-visual mengenai TBO agar informasi mengenai TBO dapat digambarkan secara nyata. Proyek tersebut diharapkan menjadi instrumen agar TBO dapat diketahui lebih luas.
“Tahun 2019 kita kebagian, akhirnya kita kerjsama dengan KonTras. Tahun 2020 ada covid. Jadi banyak proses yang kita ubah. Yang tadinya pameran. Jadinya online, kita mencoba merekonstruksi dengan seni-media. Di saat kita memproduksi itu, respond masyarakat ada yang penasaran, ada yang bertanya, sehingga kita bisa juga memperkenalkan itu,” tutur Rais.
Di sisi lain, Raisa Widiastari, perwakilan AJAR mengungkapkan selain berusaha mencari, menginformasikan dan mengindentifikasi para penyintas TBO, ia juga menuntut Pemerintah dapar meratigikasi Konvensi orang hilang paksa. Menurutnya, seharusnya Pemerintah tidak mengutamakan ego demi menjaga nama baik. Sebab ungkap Raisa, Timor Leste sendiri juga sangat mendorong ratifikasi konvensi tersebut.
“Yang salah satu kita kerjakan adalah Pencarian Anak Hilang Paksa. Salah satu konvensi yang belum diratifikasi tentang komisi orang hilang paksa. Mungkin salah satu alasan kenapa tidak diratifikasi dengan banyaknya pejabat yanh mu ngkin terlibat. Kami memperjuangkan ratifikasi orang hilang paksa dimana Timor Leste juga ingin memperjuangkan,” tutur Raisa.
Penulis: Fitria Nugrah Madani