MAKASSAR – Pada Kamis 23 Mei 2024, tiga perempuan duduk di dalam gedung Chapel, Benteng Fort Rotterdam, Makassar. Dominggas Nari, Lian Gogali dan Michelin Sallata berandai-andai, apa yang terjadi pada perempuan jika hutan terus mengalami deforestasi.
Sepintas mungkin terdengar tidak ada kaitannya, tetapi dengan lugas, ketiga panelis itu merincikan bagaimana kaitan hutan dan perempuan dalam diskusi yang ditunggangi Yuliasri Perdani.
Diskusi yang bertajuk Sisters of the Forest kian menarik sebab digelar di dalam bangunan saksi bisu kolonialisme Belanda di Indonesia, yang datang untuk mengeksploitasi hasil bumi Nusantara selama beratus tahun. Eksploitasi adalah kata kunci dalam program yang berlangsung di pagi hari itu.
“Perempuan dulu melihat hutan bagian dari rahimnya, bagian dari manusia,” tutur Lian Gogali.
Pendiri Sekolah Perempuan dan Institut Mosintuwu untuk perempuan lintas agama di Poso tersebut bilang, orang Poso menyebut hutan dengan sebutan “beliau”.
Pemilihan diksi “beliau” dikatakan Lian menempatkan hutan tidak hanya sebagai sekumpulan pohon, tapi lebih dari itu, orang Poso memaknai hutan sebagai makhluk hidup yang paripurna.
“Dulu orang kalau mau melakukan sesuatu terhadap hutan itu pasti pamit, misalnya mau buat keperluan rumah, pasti lebih dulu berdoa,” terangnya.
Secara historis, Lian merincikan bagaimana alam dan masyarakat Poso memiliki kemesraan di masa lampau. Terutama kedekatan alam terhadap perempuan.
Duhulu kala, sebelum kepercayaan masyarakat Poso terkikis oleh kolonialisme Belanda, alam dikatakan Lian lekat terhadap sesuatu yang berbau spritiual.
Hal tersebut dianut oleh masyarakat Poso sebagai suatu kepercayaan.
Menariknya, dalam kepercayaan itu Lian bilang perempuan punya 3 peranan penting terhadap alam.
“Pada masa itu, perempuan berperan sebagai penghubung manusia dengan alam, perempuan adalah tabib yang menempatkan dirinya mengenal segala tanaman dan tumbuhan yang ada di alam, perempuan juga adalah negosiator,” kata dia.
Dengan peranan itu, Lian menilai perempuan memaknai alam tidak dengan kecamata bahwa alam adalah sumber daya yang dapat dikomersialisasi, melainkan sebagai bagian dari rahimnya sendiri.
Dominggas Nari juga punya cerita menarik tentang keterkaitan perempuan dan alam.
Di Papua, kata perempuan asal Jayapura tersebut, solidaritas perempuan bermula dari hutan.
“Perempuan Papua itu biasanya punya tempat di hutan mangrove,” tutur perempuan yang kerap disapa Dona itu.
Dikatakan Dona jika di hutan lah perempuan dengan perempuan lainnya, ibu dan anaknya, dapat bertukar bahasa, bertukar cerita dan saling memberi pengertian. Dari sana lah solidaritas mereka teramu.
Sebab, di rumah, kata Dona, perempuan punya peranan yang dibatasi oleh lelaki.
Sehingga, apabila hutan terus dibabat habis, Dona melempar tanya “kemana perempuan dan ruang-ruangnya akan pergi?”.
*Pembabatan Hutan Semakin Marak, Perempuan Harus Bagaimana?
Kecemasan-kecemasan dari 3 panelis menyeret Moderator pada satu pertanyaan, apa yang harus dilakukan perempuan?
Aktivis perempuan asal Tana Toraja, Miceline memberi pandangannya.
Michelin menekankan pada aksi nyata perempuan dalam mengawal isu-isu yang berkaitan.
Untuk Michelin sendiri, gerakan-gerakannya tidak terbatas pada tataran mengedukasi masyarakat dilingkungannya. Micheline berupaya menuangkan keresahan dan idenya ke dalam tulisan.
“Saya baru belajar menulis beberapa waktu belakangan ini, tapi diluar itu, saya juga tertarik membuat konten-konten di media sosial,” katanya.
Penyadaran pada masyarakat, kata Michelin mesti terus mengudara, caranya adalah dengan terus bersuara melalui apapun dan dengan cara apapun.
Michelin sendiri sebetulnya sudah melakukan beberapa kegiatan sebagai langkah taktis persoalan ini, salah satunya melalui perhelatan konferensi air dan hutan beberapa waktu lalu.
Konferensi tersebut dikatakan Michelin sebagai salah satu cara dia dan komunitasnya untuk mengingat.
Seusai beberapa peserta diskusi berbicara, atensi diskusi kemudian terpusat pada Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin, Siti Nuna Raisyah.
Pandangan Nuna ia buka dengan menjelaskan lebih dulu tentang ekofeminisme, sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Françoise d’Eaubonne.
Paradigma tersebut dijelaskan Nuna sebagai ilmu yang melihat perempuan dan alam di tataran yang sama. Sama-sama merupakan entitas yang acap kali dieksploitasi.
Bagi Nuna, perempuan khususnya di kalangan mahasiswa mesti memanfaatkan priviladge-nya sebagai mahasiswa untuk meningkatkan pendidikan kritis mereka.
“Agar orang-orang utamanya wanita tidak terhegemoni terhadap kapitalis. Dengan adanya pendidikan kritis, perempuan bisa berperan dalam menyuarakan isu-idu lingkungan,” lugasnya.
Mikrofon berpindah, kini jatuh ke tangan Indah Darmastuti, seorang perempuan asal Solo.
Indah justru menilai salah satu cara agar hutan tetap utuh ialah dengan menceritakan mitos-mitos pada generasi baru.
Indah melihat peran Ibu saat mendoktrin melalui mitos justu punya dampak yang apik pada perkembangan pengetahuan anak.
“Mitos-mitos yang dibangun sedari kecil justru bikin kita berpikir ulang untuk melakukan sesuatu, kalau orang tua bilang tempat ini ada naganya, pasti kita takut,” pungkasnya.
Penulis : Saldi Andrian