MAKASSAR – Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 menghadirkan penulis, analis, dan penyair dalam diskusi bertajuk “Artistry and Authenticity: Shaping Literary Landscapes“ di Museum I Lagaligo, Kamis (23/05/2024).
Secara umum diskusi ini membahas bagaimana merawat keberagaman sastra dari berbagai latar belakang. Adapun panelis dari diskusi ini yakni penulis buku Kelab dalam Swalayan yakni Abi Ardianda, penyair sekaligus Co-Founder dari Unspoken – Bali Poetry Slam yaitu Virginia Helzainka, serta Ais selaku arsiparis dari Queer Indonesia Archive (QIA). Diskusi ini dipandu oleh Gladhys Elliona, seorang penulis, peneliti, dan penerjemah bahasa Portugis.
Abi dan Virginia menceritakan pengalaman mereka membangun sebuah karya sastra. Menurut mereka, menerbitkan sebuah karya sastra entah itu novel, buku, ataupun kumpulan cerpen dan puisi sangat-sangat menantang. Mulai dari pemilihan topik, alur cerita, dan memilah penerbit.
Meski demikian, kata Abi peluang karier di penulisan sangat cerah. Buku debutannya saja berjudul Kelab dalam Swalayan dinobatkan sebagai satu dari lima bacaan terbaik karya penulis Indonesia versi Jakarta Post tahun 2021. Selain itu novel debut tersebut juga memenangkan penghargaan Best First Novel sekaligus Best Psychological Thriller tahun 2022 oleh Scarlet Pen Awards.
Di buku keduanya berjudul Laila Tak Pulang juga mendapatkan kategori Novel Terbaik dari Scarlet Pen Awards 2024.“Jadi saya melihat ada peluang kita untuk bisa berkarier di masa depan,” jelas Abi.
Lebih jauh, untuk menulis topik-topik sensitif seperti isu gender, Abi mengatakan perlu riset yang melibatkan kawan-kawan yang bergerak di bidang tersebut. Selain itu, Abi meminta untuk setiap penulis sudah matang dalam diri untuk menerima segala respons ketika buku itu diterbitkan.
Sementara itu, Virginia menyambut baik diskusi yang dihelat oleh MIWF. Menurutnya, di awal perilisan karya yang dibuat dari cerita-cerita tentang gender memang tak semua bisa diterima di masyarakat.
“Tapi kita, tetap harus lebih percaya diri dan tentu nyaman. Teman-teman juga bisa mencoba penerbit independen. Dari sinilah kita gak perlu lagi kita takut dengan opini umum. Yang terpenting menulislah senyata mungkin tanpa harus difilter,” jelas Virginia.
Menurut Virginia, sastra adalah alat untuk mengekspresikan diri. “Gak cuman cerpen dan novel. Sastra tempat kita untuk melepaskan emosi, melepaskan ingatan, dan sastra membebaskan tanpa ada limitasi,” ungkapnya.
Arsiparis QIA, Ais menambahkan semoga dengan diskusi ini kita bisa mendapatkan sudut pandang baru. “Dan semoga teman-teman rajin mengarsipkan. Arsip itu supaya bisa mengimajinasikan masa depan,” jelasnya.
Penulis : Faisal Mustafa