Immobility and Displacement: The Life of Refugees in the Time of Pandemic

Intan Paramadhita sebagai moderator dalam panel yang berjudul “Immobility and Displacement: The Life of Refugees in the Time of Pandemic”.

Di era pandemi seperti sekarang, imobilitas jadi sebuah keadaan yang mau tidak mau harus dihadapi, khususnya bagi teman-teman pengungsi dan pencari suaka. Bagaimana mereka menghadapi situasi seperti ini? Bagaimana mereka bisa mengembangkan ‘ketahanan’ (resiliency) dalam situasi seperti ini?

Ada 14,000 pengungsi yang tinggal di Indonesia semenjak Australia menutup perbatasan di pertengahan tahun 2013.

Behrouz Boochani

Menulis adalah sebuah tindakan dari resistensi dari kondisi yang terjadi di Pulau Manus, pengungsi, dan kebijakan terhadap pengungsi di Australia.

Menulis adalah sebuah senjata untuk menunjukkan resistensi, mengenalkan pengungsi sebagai manusia dengan menciptakan harapan dan kebebasan, juga menantang sistem yang sudah ada saat ini.

Jurnalistik bukanlah sebuah medium yang kuat untuk mengubah sistem, tetapi sastralah yang memiliki kekuatan yang besar untuk mengubahnya. Sastra adalah kepingan seni untuk memberitahu situasi yang dihadapi oleh pengungsi.

Jurnalistik memang membuat orang-orang sadar tentang apa yang terjadi, tetapi tidak membuat orang untuk melakukan tindakan. Bentuk bahasa dalam jurnalistik belum cukup kuat dalam kapasitasnya memberi gambaran tentang kondisi pengungsi.

Pengungsi terlihat seperti tidak memiliki aspirasi, tetapi mereka memiliki aspirasi yang ingin disampaikan. Pengungsi selalu digambarkan sebagai orang yang lemah, padahal mereka memiliki pemahamannya sendiri tentang dirinya dan pengalamannya.

Pengungsi tidak harus dimarjinalkan, mereka memiliki aspirasinya sendiri.

Omid Tofighian

Dalam proses pembuatan buku ini, penerjemah sebelumnya mengutip pesan-pesan yang dikirim oleh Behrouz menggunakan gawai milik salah seorang smuggler ke dalam satu file PDF, kemudian menyusunnya dalam bab per bab. Dalam perjalanan menerjemahkan buku ini, masih ada pengaruh jurnalistik di dalamnya, sehingga diputuskanlah untuk mengubahnya menjadi terjemahan sastra.

Omid memiliki latar belakang displacement dan pengalamannya di Australia punya andil yang cukup besar selama pembuatan buku ini.

Omid ditantang untuk melakukan sesuatu di luar hal yang biasanya dia lakukan, dia bahkan mempertimbangkan bagaimana pola pikir atau menempatkan dirinya terhadap situasi dari setiap bagian dalam buku Behrouz.

Proses penerjemahan adalah intervensi dekolonial. Sebagai penerjemah, buku ini menggabungkan banyak hal dalam sekali waktu dan melihat dari kacamata yang ingin disampaikan Behrouz akan selalu ada dalam proses penerjemahan buku ini.

Penting untuk paham apa yang ingin disampaikan oleh Behrouz dalam tulisan-tulisannya. Yang dialami Behrouz adalah berdamai dengan sistem yang cukup rumit, seperti adanya ideologi, ekonomi politik, dan banyak lainnya. Sistem inilah di dalamnya terdapat perbedaan yang cukup besar, orang-orang yang mendukung pengungsi ataupun orang-orang yang anti-pengungsi, sesuatu yang berada di antaranya.

Dalam dunia pengungsi, yang mendapat manfaatnya bukanlah pengungsi langsung. Mereka tidak serta merta diberdayakan, memperoleh kebebasan, ataupun menciptakan peluang untuk mereka. Yang berbahaya dari dunia pengungsi ini adalah adanya stereotip tertentu terhadap pengungsi, salah satunya pemikiran yang diasosiasikan dengan humanisme liberal.

Yang bisa dilakukan oleh penulis dan seniman pengungsi adalah menantang cerita yang beredar, buatlah satu cerita yang utuh. Semua data dan pendekatan rasional yang dikumpulkan itu dapat dimanipulasi dan eksploitasi dalam cara-cara yang berbeda. Seni atau kreativitas menciptakan sebuah cara pandang baru untuk melihat satu cerita yang utuh, inilah yang dilakukan oleh buku No Friend But the Mountain.

Warsan Weedhsan

Archipelago adalah sebuah kelompok penulis yang terdiri atas pengungsi dan imigran, kelompok ini berlokasi di Jakarta.

Mereka memulainya dengan lokakarya kepenulisan yang menyatukan berbagai latar belakang asal daerah dan budaya.

kelompok ini dilatarbelakangi oleh keresahan mereka terhadap hal-hal yang tidak disuarakan oleh media. Mereka mengambil inisiatif untuk bersuara melalui kepenulisan, tetapi juga memiliki keinginan untuk menjadi penulis suatu saat nanti.

Menulis adalah cara untuk memperoleh kebebasan berpikir dan suara dari yang tak mampu menyuarakan aspirasinya. Dia berkawan dengan pena dan buku catatan. Saat dia bersama kedua benda tersebut, dia merasa bebas tanpa sentuhan siapapun. Menulis juga satu cara untuk sembuh. Orang-orang menggunakan obat untuk mengurangi rasa sakit, tetapi Warsan menulis untuk mengurangi rasa sakit itu. Ini satu cara bagi Warsan juga untuk menunjukkan seperti apa kondisi perempuan sebagai pengungsi kepada dunia. Apa yang dirasakan, kendala yang dihadapi, dan diinginkan sebagai seorang perempuan pengungsi.

JN Joniad

Penting untuk pengungsi memiliki wadah untuk menyuarakan aspirasinya secara bebas kepada dunia, dan Archipelago memberikan wadah tersebut.

Joniad mulai menulis saat masih tinggal di detensi. Latar belakangnya yang bukan jurnalis tidak membuatnya berhenti. Bahkan tidak adanya jejaring dalam dunia ini tidak jadi kendala. Publikasi tulisannya yang pertama diterbitkan di Tempo.

Archipelago jadi wadah bagi pengungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial sebagai seorang individu yang tidak bisa bekerja dan mendapatkan gaji. Platform ini menjadi wadah bagi mereka menemukan kegiatan yang terus memotivasi mereka yang hidup dalam ketidakpastian.

Kurangnya edukasi dari pemerintah maupun cerita-cerita kurang tepat yang beredar di dalam masyarakat membuat kelompok ini berinisiatif untuk mengedukasi masyarakat tentang situasi pengungsi di Indonesia. Melalui edukasi ini, Archipelago berharap dapat menciptakan integrasi antara kedua kelompok masyarakat.

Menulis adalah caranya untuk menunjukkan perasaannya, seperti kemarahannya dan keresahannya terhadap hal yang terjadi pada pengungsi kepada dunia.

Erfan Dana

Kami membuat tulisan secara gamblang dan mempublikasikannya melalui website yang dapat diakses oleh setiap orang. Hal ini untuk mengurai ketidaktahuan tentang kondisi yang sebenarnya.

Bagi Erfan, dia tidak dapat menurunkan penanya. Jika dia berhenti menulis, dia menggantungkan hidupnya pada mereka yang membuat sistem, dia tidak bisa melindungi perhatian media terhadap pengungsi. Saat menulis, dia bercerita dari pandangan seseorang yang hidup dalam ketidakpastian. Satu cara untuk mengubah sistem yang dihadapi pengungsi dan menulis adalah solusi yang bisa dia ambil. Menulis membuatnya bertemu banyak orang dan bahkan berjejaring.

Pengungsi hidup dalam ketidakpastian. Mereka bergantung pada bantuan organisasi-organisasi yang mengulurkan tangannya. Namun, tidak semua daerah di Indonesia yang menampung pengungsi dibantu oleh organisasi-organisasi tersebut, salah satunya di Jakarta. Mereka harus mampu mandiri secara finansial dalam keterbatasan yang ada dan sistem yang diterapkan. Menulis adalah senjata bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi, menceritakan hal-hal yang belum pernah tersampaikan, mengurai benang kusut yang muncul dalam isu pengungsi. Bagi pembicara hari ini, menulis jadi media untuk membebaskan mereka dari sebuah label bernama pengungsi. Menyuarakan hal yang tidak pernah mereka suarakan sebelumnya.

Tonton rekamannya melalui tautan berikut ini

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top