Panel ini dimulai dengan moment of silent untuk mengenang salah satu penulis Indonesia yang meninggal baru-baru ini, Toeti Heraty. Intan Paramaditha menjadi host dalam sesi kali ini.
Selama satu dekade ini, kita telah melihat perkembangan buku-buku dari penulis Indonesia yang telah diterjemahkan, seperti buku-buku dari Eka Kurniawan, Norman Erikson Pasaribu, Leila Chudori, Laksmi Pamuntjak, dan Dee Lestari. Tiffany Tsao telah menerjemahkan buku-buku dari tiga penulis tersebut. Yang terbaru adalah buku dari Budi Darma yang berjudul Orang-Orang Bloomington yang akan rilis pada tahun 2022 nanti. Saat ini sudah banyak karya-karya yang juga diterjemahkan selain yang disebutkan sebelumnya.
Tiffany Tsao
Tiffany telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul The Majesties. Selain sebagai penulis, ia juga aktif sebagai penerjemah. Dia mengatur kesehariannya berdasarkan tenggat waktu dari pekerjaannya sebagai penerjemah. Setelah selesai dengan tugasnya sebagai penerjemah, dia akan fokus untuk melanjutkan tulisannya. Sebagai penerjemah, dia mencoba untuk menghargai karya dari penulis. Dia bekerja dengan perlahan agar bisa memahami sedikit demi sedikit karya yang dia terjemahkan. Selain itu, dia mencoba merasakan apa yang penulis rasakan dalam kejadian-kejadian yang tergambar di dalam karya tersebut.
Sebagai seorang penulis, pekerjaannya sebagai penerjemah banyak mempengaruhi penulisannya. Melihat karya orang lain, lalu melihat karyanya, dan menentukan apa yang dia inginkan untuk tulisannya. Dia mendapat banyak perspektif penulis dari karya yang dia terjemahkan. Tiffany juga menambahkan bahwa dalam menerjemahkan sebuah tulisan, dia perlu menyertakan rasa dan suara yang tergambar dalam tulisan tersebut. Tidak sebatas menerjemahkan kata per kata.
Tiffany bercerita tentang pengalamannya saat mempelajari literatur Indonesia dan bahkan literatur lokal, sastra Kaltim. Dia menambahkan tentang ketertarikannya dengan esai kritis yang dibuat oleh Budi Darma tentang warna lokal dari literatur Amerika. Setelah itu, dia mulai mengeksplorasi karya yang ditulis oleh Budi Darma. Tahun 2013, saat Tiffany mengunjungi ayahnya di Jakarta, dia melihat buku Orang-Orang Bloomington diterbitkan kembali. Baginya, buku ini cukup memukau, terlepas dari gaya berceritanya yang jenaka tetapi dark. Setelah mendapat kesempatan untuk menghubungi Budi Darma, Tiffany kemudian bertemu dengan beliau. Dia meminta izin si penulis untuk menerjemahkan bukunya.
Tiffany memulai prosesnya dengan mengirimkan draft kepada Budi serta banyak pertanyaan selama proses menerjemahkan buku tersebut. Dia mencoba memahami karya tersebut melalui percakapan-percakapan yang terbangun antara dirinya dengan Budi Darma. Dari situlah Tiffany mampu memahami bagaimana orang-orang Bloomington dalam buku ini. Dia juga menambahkan bahwa perbedaan terbesar sebagai seorang perempuan Asia adalah sulitnya untuk mendapat perhatian dan dukungan sebagai seorang agen, editor, dan orang yang mendukung industri ini.
Bagi Tiffany, proses menerjemahkan buku karya Budi Darma ini sangat menarik. Dia menambahkan bahwa perkiraannya terjemahan ini akan selesai tahun ini, tetapi sayangnya harus mundur hingga April tahun depan. Tiffany menutup diskusi dengan membacakan potongan cerita yang berjudul “Laki-laki Tua Tanpa Nama” atau “The Old Man With No Name”.
Rara Rizal dan Syarafina Vidyadhana
Karir Rara sebagai penerjemah dimulai dari pekerjaannya sebagai penerjemah dan juru bahasa di lembaga milik pemerintah maupun lembaga internasional. Dia hanya menerjemahkan kontrak hukum, dokumen kebijakan, dan juga penerjemah dalam konferensi ataupun lokakarya. Dia tidak pernah benar-benar menerjemahkan karya sastra sebelumnya.
Hal ini tidak jadi kendala, karena dia menyukai sastra dan juga secara reguler menghadiri acara buku dan pembacaan puisi. Dari situlah dia bertemu dengan orang-orang dari Post Santa. Rara ditawari untuk menerjemahkan sebuah novel berjudul Semasa.
Rara menikmati perjalanan dari dua hal yang sangat berbeda ini. Jika ditanya kenapa dia mau menjadi penerjemah, dia mengibaratkan kondisinya yang kelaparan dan butuh uang. Pekerjaan inilah yang disukai dan dapat menghasilkan. Perlahan dia mulai menikmati pekerjaannya sebagai penerjemah karya sastra. Ada kepuasan tersendiri yang dirasakan ketika mampu menemukan kata yang tepat dalam menggambarkan bahasa tertentu atau nada dalam tulisan tersebut. Bahkan mampu membagikan tulisan tersebut kepada khalayak yang lebih luas. Aspek-aspek itulah yang menemaninya menikmati karir ini.
Syarafina atau yang akrab disapa Avi berlatar belakang Sastra Inggris. Dia menyukai buku-buku yang dibacanya dan ide-ide brilian yang disampaikan penulis dalam bukunya. Seperti halnya Rara, Avi juga menyebutkan bahwa perjalanannya dimulai sebagai penerjemah untuk Vice Indonesia selama beberapa tahun. Afi mulai merasa nyaman dan menikmati proses yang dilakukannya. Setelah dilihat lebih dalam, ini adalah satu cara bagi Afi untuk menghindar dari menulis, tekanan saat dia menulis, meskipun setelahnya dia akan sangat bangga dengan tulisannya.
Dia juga mengungkapkan bahwa menerjemahkan sebuah karya seperti bermain di taman bermain. Afi bisa menjadi sangat terobsesi dengan hal yang dilakukannya ini, seperti menemukan kemungkinan-kemungkinan tidaklah pernah berakhir. Satu orang penerjemah akan menghasilkan satu karya yang berbeda dengan penerjemah lainnya, meskipun buku yang diangkat itu sama. Jika ditanya kenapa tidak mencoba pilihan lain, Afi mengaku bahwa ini hal yang dicintainya saat ini.
Afi bercerita tentang buku karya Ernest Hemingway yang diterjemahkan oleh Bapak Sapardi yang berjudul The Old Man and The Sea (Lelaki Tua dan Laut). Menurutnya, buku yang diterjemahkan oleh Bapak Sapardi ini jauh lebih bagus daripada naskah aslinya. Hal ini sangat mengasyikkan untuk Afi dan dia tidak sabar untuk mengeksplorasi lebih banyak di masa depan.
Membaca buku orang lain terkadang memberinya inspirasi untuk hal tertentu yang ingin ditambahkan ke dalam tulisannya. Terlebih dengan keinginan untuk menciptakan tulisannya sendiri. Afi juga mendapat pencerahan dari novel-novel terjemahan yang dibacanya ketika berhenti sejenak sebelum memulai kembali.
Bekerja bersama penerjemah lainnya membawa warna tersendiri untuk Rara. Seperti yang sudah disebutkan olehnya bahwa penerjemah selalu diasosiasikan dengan kesendirian, bekerja sendirian dan hanya berinteraksi dengan teks. Padahal sebenarnya, ada orang lain seperti editor, penulis, dan penerbit. Bekerja secara kolektif ini sebagai sebuah inisiasi atas isu yang dihadapi oleh penerjemah lepas. Penerjemah sendiri adalah orang-orang yang selalu sadar terhadap kegentingan dari pekerjaannya. Selain itu juga, penerjemah menghadapi eksploitasi atas tulisan yang dikerjakannya. Maka dari itu, melalui hal inilah, Rara menekankan pentingnya inisiasi ini sebagai sebuah sistem yang saling mendukung satu sama lain untuk menavigasi isu-isu yang dihadapi oleh penerjemah lepas.
Kedekatan antar sesama penerjemah kemudian memunculkan sebuah ide untuk melakukan terjemahan bersama (co-translation). Mendiskusikan teks bersama dan mengurai pendapat bersama, termasuk saling menyunting pekerjaan. Hal inilah yang membuat pekerjaan mereka tidak hanya dikerjakan oleh satu orang, tetapi oleh banyak orang, seperti dua, tiga bahkan lima orang. Terkadang orang bertanya bagaimana menyebutkan hasil pekerjaan mereka, bagi Rara, sebut saja kami teamwork karena kami bekerja secara kolektif.
Bagi Afi pribadi, tidak perlu semua penerjemah bekerja secara kolektif tentu saja, tetapi bekerja dalam sebuah tim membantunya untuk lebih waras. Kerap kali muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak berkesudahan muncul di dalam pikirannya, sehingga berdiskusi dengan sesama penerjemah atau bahkan teman yang dapat dipercaya membuatnya mampu mengurai benang kusut dalam kepalanya. Afi juga menambahkan bahwa bekerja secara kolektif banyak berkontribusi dalam pekerjaannya saat ini.
Butuh dua tahun bagi Rara dan Afi untuk mengiyakan tawaran menerjemahkan buku puisi karya Ibu Toeti Heraty. Ada kekhawatiran mendalam tentang apa yang dipikirkan oleh pembaca Ibu Toeti. Khawatir akan dianggap anak kecil yang berani menerjemahkan buku-buku karya Ibu Toeti. Mereka berdua ditawari oleh editornya, Daniel Owen. Tentu saja banyak pertimbangan silih berganti menghampiri mereka–terkadang mereka setuju, terkadang mereka ragu. Mereka berdua akhirnya mendapat persetujuan dari Ibu Toeti. Bagi mereka, jika Ibu Toeti bisa menerimanya, maka pembaca lain pun akan demikian.
Panel ini ditutup dengan pembacaan puisi yang berjudul New York I love you oleh Syarafina Vidyadhana dan Rara Rizal membawakan pembacaan yang berjudul Selesai.
Tonton rekaman diskusinya melalui tautan berikut.