Motoyuki Shibata
Tema kesepian banyak diminati oleh orang Indonesia dari sastra Jepang membuat Motoyuki tertarik. Tema loneliness atau kesepian ini tidak banyak diangkat dalam sastra modern di Jepang saat ini. Bukan karena penulis tidak ingin menulis tentang kesepian, tetapi normalnya mereka hidup dalam kesepian itu. Oleh karenanya, mereka tidak merasa ada keistimewaan dalam isu ini.
Motoyuki menambahkan tentang film Parasite yang berpura-pura menjadi orang lain, padahal mereka adalah satu keluarga. Meskipun begitu, mereka bersatu dalam sebuah keluarga yang membuat mereka tidak merasakan kesepian. Berbeda halnya dengan film Shoplifter, mereka adalah orang-orang asing yang berkumpul menjadi keluarga. Mereka mulanya merasa kesepian meskipun bersama, kemudian mereka baru menghilangkannya setelah saling berinteraksi. Kurang lebih seperti inilah perbedaan dua budaya dari dua negara ini.
Motoyuki menambahkan bahwa mungkin lebih banyak orang di kota lebih merasa transparan. saat tinggal di pinggiran kota, sulit menjadi anonim, karena semua orang saling mengenal.
Motoyuki juga berpendapat bahwa orang-orang di Jepang mungkin berevolusi dengan kondisi, sehingga mereka terbiasa dengan kerenggangan antar individu. Oleh sebab itu, ketika mereka dekat dengan orang lain, muncul ketakutan tersendiri.
Ada satu kata baru yang muncul di Jepang semenjak pandemi, kata ini merujuk pada sebuah penggambaran dimana mereka harus bersama dengan orang lain. Sulit jika harus sendiri. Di Jepang ada satu tren dimana ketika ada satu hal besar terjadi, semua orang harus bersatu untuk saling memberi dukungan. Tak bisa dipungkiri, akan ada orang yang merasa tak nyaman dengan tren ini.
Bagi Motoyuki, mungkin tidak akan ada tema pandemi yang menjadi tema baru dalam sastra Jepang, karena semua orang merasakannya. Novel ataupun literatur adalah sebuah laporan, dan semua orang sudah membaca laporan ini tanpa harus diterjemahkan ke dalam sebuah novel.
Sayaka Murata
Sayaka berpendapat bahwa loneliness atau kesepian ini sudah digambarkan dari banyak karya sastra, tidak terlepas dari negara atau budaya tertentu saja. Sayaka juga menambahkan bahwa mungkin saja setiap orang memiliki bentuk kesepiannya sendiri-sendiri. Kesepian orang jepang itu memiliki bentuknya yang lebih mulus dan licin.
Tema besar dalam karya Sayaka adalah kesepian dalam keluarga. Menurut Sayaka, Jepang berada dalam atmosfer kesepian dan orang Jepang tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang buruk. Anonimitas sangat dihargai di jepang.
Kesepian dan kesendirian itu ada dua. Saat ada orang lain dan kesepian saat tidak ada orang lain. Tema yang sering diambilnya adalah tema kesepian saat tidak ada orang lain. Saat ingin memberontak dari kesepian ketika bersama orang lain itu lebih menyakitkan sehingga tema ini yang dia beri perhatian lebih.
Saat ditanya kenapa Sayaka membuat tokoh-tokoh perempuan dalam bukunya sebagai aseksual, Sayaka mengungkapkan bahwa ia merasa ketakutan ketika melihat foto-foto pernikahan. Ketika semua orang tersenyum dan tampak tidak memiliki keresahan, kesepian, dan ketakutan. Bukankah lebih manusiawi jika ada satu orang dalam foto itu yang merasa sedih? Ketakutan inilah yang mempengaruhi penokohan dalam bukunya.
Sayaka merasa semenjak pandemi, lebih ada waktu untuk lebih pelan terhadap rutinitas. Shinjuku dapat merasakan malam yang biasa terlewatkan karena 24 jam rasanya tidak pernah cukup.
Sayaka menambahkan bahwa ia tidak bisa membuat cerita tentang pandemi yang terjadi saat ini, yang menarik perhatiannya adalah bagaimana pandemi berpengaruh sangat besar terhadap masalah kejiwaan seseorang.
Tonton ulang rekamannya melalui tautan berikut.