MAKASSAR – Penerbitan Buku Merah Alizarin oleh Irma Agryanti telah berlangsung di Rumah Leluhur, Kawasan Percinaan pada Sabtu, 10 Juni 2023 sebagai salah satu program dari MIWF 2023.
Tak hanya Irma Agryanti, Faisal Oddang seorang penulis juga turut hadir sebagai pembicara kedua dan menceritakan pengalaman dan pandangannya setelah membaca buku Merah Alizarin.
Ashari Ramadana selaku pemandu acara, mengawali dengan pembacaan profil dari kedua narasumber.
Irma Agryanti lahir 28 Agustus 1986 merupakan sastrawati berkebangsaan Indonesia. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan beberapa kali memperoleh penghargaan. Bersama penyair lain, puisi Irma masuk dalam Tulisan Pilihan Makassar International Writers Festival; Dari Timur Vol. 1 (Gramedia Pustaka Utama, 2017). Tahun 2019, Irma menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa di Kategori Puisi melalui bukunya, Anjing Gunung.
Faisal Oddang merupakan seorang penulis puisi, cerpen dan novel asal Sulawesi Selatan. Pria kelahiran 18 September 1994 ini telah melahirkan banyak karya yang sebagian besar karya yang ditulisnya bertema tentang tradisi dan adat istiadat di Sulawesi. Faisal juga telah banyak memperolah penghargaan sejak ia berkecimpung di dunia kepenulisan.
Moderator sebagai pembaca buku Merah Alizarin yang berisi kumpulan puisi, membayangkan tentang seseorang yang berada di kegelapan dan menyaksikan sekitar dengan kepekaan-kepekaan. Begitupun dengan Faisal Oddang yang telah menamatkan buku Merah Alizarin bahwa buku ini bercerita tentang seseorang yang tengah mencari jati diri.
Kapan mulai suka dengan menulis?
Irma mulai suka membaca sejak kecil, suka membaca cerpen dari majalah-majalah dan perpustakaan daerah yang dekat dari rumah. Hal ini memicu keinginan perempuan berdarah Lombok ini untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi penulis dan bisa menghasilkan karya yang terstruktur.
Tak jauh beda dengan Faisal yang juga menyukai dunia tulis menulis sedari kecil. Ia kemudian mencoba cari tahu tentang gagasan-gagasan yang ingin disuarakan dan dikeluarkan di media. sampai akhirnya ia memilih menulis cerpen, novel dan puisi.
Tanggapan Faisal setelah membaca Merah Alizarin
Faisal mengaku membaca buku Merah Alizarin dalam satu hari setelah bukunya diberikan. Ketika penulis Rain & Tears ini membaca buku tersebut, ia kemudian melihatnya dari 3 unsur, yakni secara visual yang berhubungan dengan tipografi, pemenggalan dan pemilihan visual itu sendiri. Kedua adalah irama, bagaimana penulis memilih diksi-diksi tertentu untuk menciptakan bunyi tertentu pula dalam membangun makna dalam puis. Yang ketiga, kebahasaan.
Lebih lanjut, Faisal menjabatkan tentang struktur puisi. Merah Alizarin adalah kumpulan 45 judul puisi. Sangat banyak berbahasa tentang “aku” lirik.
“Si aku yang berusaha memiliki kesadaran eksistensi dalam menemukan diri, yang berusaha menjadi ada, berusaha mengenali diri sendiri,” jelasnya.
Dari sudut pandang visual, Faisal menyebut bahwa Irma menggunakan tipografi puisi khas naratif dan khas liris yang tidak konsisten dalam buku Merah Alizarin. Namun, bukan tanpa alasan, hal ini justru menggambarkan sosok aku yang sedang berusaha mencari jati diri dalam buku puisi tersebut.
Menurut Faisal, diksi yang dipilih dalam buku ini tidak ada tendensi rima yang menggambarkan suasana pencarian. Hal ini diakuinya, sebab banyak bunyi dan irama yang tidak selaras, yang meginterpretasikan puisi yang hening nan sepi.
Lalu dari sudut pandang kebahasaan, Faisal menyebut adanya kecenderungan meragukan hingga kehilangan sosok diri sendiri dan hal ini akan banyak ditemukan dalam buku ini Merah Alizarin ini.
Dari ketiga unsur tersebut, Faisal kemudian menemukan gagasan utama dalam Merah Alizarin bahwa puisi-puisi ini adalah upaya Irma sebagai penulis untuk menunjukkan si aku lirik yang sedang berayun antara aku ada dan tidak ada.
Tanggapan Irma sebagai penulis
Bagi Irma, Puisi adalah sesuatu yang pragmatis. Aku liris menjadi hal yg lumrah di era ini.
“Kita bisa menangkap apa-apa yang perlu direnungi tentang diri si aku dalam puisi-puisi ini,” terang Irma.
Kalau ditanya kenapa Irma memakai judul Merah Alizarin, Ia menjelaskan bahwa hal ini bukan berkaitan dengan objek atau subjek, melainkan bermaksud nuansa yang menggambarkan si aku liris. Irma mengakui bahwa upaya tersebut merupakan salah satu keterampilan berbahasa dalam menulis untuk tak membuat judul-judul yang berkesan klise. Hal ini sekaligus menjadi tips buat penulis-penulis agar terampil dalam membuat judul tulisan.
Nur Septiani A.