Soft Launch Rumata’ 12 Tahun Membangun Kebudayaan, Sejarah Awal Mula Lahirnya MIWF

MAKASSAR – 12 tahun semenjak didirikan Rumata Artspace sebagai ruang aman bagi para pegiat kesenian di kota Makassar. Di Chapel, Fort Rotterdam, Minggu (11/06/2023) dalam program Soft Launch: Rumata’ 12 Tahun Membangun Kebudayaan yang dikerjakan oleh Batara Al Isra bersama kawan-kawan, turut hadir pula Riri Riza selaku Co-director Rumata Artspace, Harnita Rahman, Nurhady Sirimorok serta Rachmat Mustamin.

Tujuan panel ini seperti yang dijelaskan oleh Rachmat, yaitu mengulas komunitas dan perkumpulan yang tumbuh di era masa reformasi dan setelahnya. Banyaknya perhimpunan secara kolektif dan komunitas setelah reformasi ditandai dengan adanya inisiatif warga untuk berfokus kepada lingkungan kebudayaan dan seni.


Buku 12 Tahun Rumata Membangun Kebudayaan telah diteliti sejak tahun 2021 awal oleh Batara Al Isra beserta timnya. Buku ini diharapkan dapat menjadi rumah bagi seniman manapun dan pintu bagi siapa saja yang ingin mengenal Rumata Artspace.


Rachmat mengalihkan diskusi panel kepada Nurhady Sirimorok, akrab disapa Dandy mengenai apa saja inisiatif yang terjadi di Makassar sebelum Rumata dibangun dan setelah masa reformasi.

“Sebelum reformasi, acara seperti Makassar International Writers’ Festival hampir tidak mungkin terjadi, terkhususnya di Makassar,” tutur Dandy. “Menjelang reformasi, diskusi kritis hanya berlangsung secara intensif di lingkungan universitas. Karena pada saat itu, kampus adalah ruang aman agar mahasiswa bebas bereksperimen dan berpendapat,”

Diskusi yang terjadi di lingkup kampus tersebut kemudian mulai disambut oleh masyarakat ke berbagai lingkungan setelah reformasi. Dandy menyebut, generasi pasca reformasi itulah yang berusaha membalikkan kebiasaan generasi sebelum mereka dan mulai membangun secara inklusif. Ketika ada satu gagasan, gagasan tersebut kemudian dieksekusi secara kolektif. Masyarakat saling mengajak untuk mewujudkan suatu gagasan.

Pendapat itu dibenarkan pula oleh Harnita Rahman. Ia bercerita tentang bagaimana Kedai Buku Jenny dan Rumata adalah dua bayi yang terlahir dengan tujuan yang sama. Tahun-tahun awal saat keduanya dibentuk, ditemukan banyak orang yang sama-sama memiliki ketertarikan dalam giat kesenian dan kebudayaan. Maka dari situ terbentuknya simpul kolaborasi antar komunitas.

Pola tersebut kemudian terjadi secara alamiah seiring waktu. Dengan sumber daya yang ada, komunitas saling bantu dalam pengerjaan proyek yang dilaksanakan masing-masing.

Lalu tantangan apa yang dihadapi oleh Riri Riza dan almarhumah Lily Yulianti Farid dalam membangun Rumata?

Riri Riza menyebutkan bahwa dirinya dan almarhumah Lily Yulianti Farid berdiskusi pada suatu acara penggerak seni pada tahun 2008, muncullah ide untuk membangun suatu ruang bagi para penggiat seni yang berpusat di kota Makassar. Riri melihat begitu banyak potensi di Kota Makassar untuk memajukan kegiatan kebudayaan dan kesenian. Dan pada saat yang sama, Lily juga perlahan telah merintis MIWF.

Dengan aset keluarga yang ditinggalkan keluarga Riri di Makassar, digagaslah kemudian dasar-dasar dari Rumata Artspace, khusus ditujukan untuk segala kegiatan kebudayaan dan para pegiat seni di Makassar.

Tantangan terbesar muncul saat mereka bertanya-tanya bagaimanakah cara agar Rumata dapat dikenal banyak orang meskipun kesibukan Riri dan Lily yang memiliki pekerjaan masing-masing di luar Makassar. Dalam proses membangun Rumata, Riri dan Lily menggunakan seluruh relasi yang mereka miliki untuk bersama-sama mewujudkan Rumata. Salah satunya ialah Abdi Karya bersama sang istri, yang setia menjalankan tugas sebagai penggerak seluruh program di Rumata Artspace pada saat itu.

Dengan hampir rampungnya buku yang disusunnya bersama tim dalam rangka 12 tahun Rumata dan mengenang almarhumah Lily Yulianti Farid, Batara menemukan suatu fakta bahwa Rumata bukan sekedar project yang berhenti setelah beberapa tahun. Rumata merupakan kerja lintas generasi dantidak akan berhenti sepanjang kapanpun. Talinya akan terus disimpulkan ke atas dan bawah bersama generasi penerus.

“Membicarakan Kak Lily, rasanya seperti menjadikan semangat yang berkobar untuk berkontribusi meneruskan kerja-kerja kebudayaan dan kesenian,” ucap Batara.

Terakhir, Rachmat meminta para pembicara untuk mengungkap harapan yang mereka miliki kedepannya untuk Rumata dan MIWF. Harnita menyebut, membaca draf dari buku Batara menyadari bahwa selalu ada ide dan tema yang berbeda dari pelaksanaan MIWF. Dan berharap bahwa akan terus ada tanpa henti.

Riri ikut menambahkan, bahwa penting datangnya inisiasi dari generasi bawah. Dengan kesadaran bahwa gagasan tersebut akan dilakukan dengan sesimpel mungkin. MIWF juga dapat berada di titik pencapaian ini sebab volunteer yang terus berdatangan setiap tahunnya. Menjadi bagian untuk mendirikan MIWF merupakan sesuatu yang luar biasa.

Terakhir, Rachmat menutup diskusi panel dengan kesimpulan: “Setiap inisiatif yang dikerjakan bersama kawan adalah sebuah gagasan. Setiap gagasan pasti akan selalu mencari kaki untuk bergerak dan berlari.”

Maylafathma Azizah Wicaksono

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top