MAKASSAR – Membicarakan MIWF tentu saja sangat erat kaitannya dan tidak bisa lepas dari peran mendiang Lily Yulianti Farid. Minggu (11/06/2023), teman-teman MIWF datang ke Museum I Lagaligo untuk mengenang karya-karya Lily dalam program “Literary Lily”.
Sahabat-sahabat terdekat Lily pun turut hadir dalam Literary Lily dan membacakan beberapa karya milik Lily yang mereka cintai, dalam hal ini Maria Pankratia dan Mariati Atkah yang hadir melalui zoom live, Shinta Febriany, Intan Paramaditha, Aan Mansyur, Riri Riza serta Dewi “Dee” Lestari yang telah membawa karya-karya favorit Lily untuk mereka bacakan.
Intan Paramadhita, yang juga menggagas PERIOD bersama Lily, kali ini bertindak sebagai moderator.
“Awal tahun ini saya dan Kak Lily sempat berinisiatif untuk membuat workshop menulis. Sayangnya, tidak sempat kami wujudkan dan saya mengusulkan agar dialihkan menjadi program pembacaan karya Kak Lily untuk mengenangnya,” jelas Intan.
Pembacaan pertama dimulai dengan cerpen Lily yang berjudul “Makkunrai” oleh Shinta Febriany. Sebelum membacakan, ia mengaku hampir tak kuasa untuk turut berpartisipasi dalam program ini, tidak yakin bahwa ia cukup kuat untuk membahas karya Lily.
Shinta membacakan Makkunrai, bercerita tentang seorang perempuan yang selama hidup dikuasai dan dibawah bayang-bayang sang kakek. Suatu hari, ia diusulkan untuk pergi oleh ayahnya agar tidak dikawinkan seperti kelima kakaknya, mengingat Makkunrai sangat ambisius mengenai pendidikannya.
Shinta mengungkapkan, Lily selalu menyelipkan kritikan terhadap realitas yang tak sepatutnya terjadi dalam berbagai karyanya. Ia mengkombinasikan pengalamannya sebagai wanita Bugis juga wanita yang berpikiran kosmopolitan.
“Kritiknya sungguh ringan, disertai kejenakaan, namun ada sesuatu yang menusuk seolah-olah bukan protes melainkan perlawanan,” jelas Shinta, saat membahas Makkunrai.
“Pembenci Jakarta” karya Lily pun turut dibacakan oleh Aan Mansyur dan Riri Riza. Aan Mansyur membenarkan pernyataan Shinta mengenai karya Lily, yang sungguh bisa dirasakan oleh masyarakat yang hidup dalam tradisi suku Bugis. Pembenci Jakarta merupakan cerita tentang seorang perempuan sarjana pertanian yang merantau ke Jakarta, yang pulang ke kampung halaman untuk menggarap tanah warisan ayahnya. Karya ini merupakan kritikan untuk orang yang pergi merantau ke Jakarta dan pulang bukan sebagai dirinya lagi, yang “menjelma” menjadi warga Jakarta.
Riri juga mengaitkan pengalaman pribadinya yang hampir mirip dengan “Pembenci Jakarta”. Riri menyebut, ia takjub dengan cara Lily menyampaikan gagasan melalui narasinya.
“Lily Yulianti Farid, sangat pantas untuk dikenang dalam berbagai levelnya sebagai organisatoris, aktivis dan sastrawan,” tutur Riri.
Lalu, Maria Pankratia dengan cerpen “Dapur”. Menceritakan tentang perempuan yang tumbuh besar membantu Ibunya dalam kegiatan di dapur dan kecintaannya terhadap Pulau Jawa.
“Kak Lily selalu mempunyai cara untuk menyampaikan kegelisahannya tentang isu-isu apa yang ada di sekitarnya,”
Maria mengambil beberapa hal dari cerpen Dapur yang dibaginya dengan teman MIWF. Salah satunya judul yang terasa personal baginya, Lily menulis mau tidak mau sebagai seorang anak perempuan, harus terlibat aktif di kegiatan dapur. Maria mengungkapkan bahwa ada ketulusan dan detail yang ditulis Lily, pembaca turut merasakan hal tersebut
Dalam karya-karyanya, Lily selalu berusaha menampilkan perspektif perempuan, seperti kata Mariati Atkah dalam “Ayah Rembulan, Engkau Matahari,” yang menampilkan narasi dengan tiga generasi perempuan yang hidup di zaman pemberontakan.
Dewi “Dee” Lestari membacakan karya Lily tentang kekaguman seorang lelaki kepada perempuan yang dijuluki “A”, yang ingin bereinkarnasi sebagai kucing seperti lelaki yang dikaguminya. Lelaki itu hidup dengan menyimpan rahasia yang dipercayakan kepadanya oleh A. Karya Lily ini sungguh membuat Dee sebagai penulis fiksi merasa terhubung melalui sisi romantis karya ini.
Dee mengilas balik awal interaksinya dengan Lily pada tahun 2012, saat Lily mengundangnya untuk berpartisipasi di MIWF. Dee yang kemudian tersadar bahwa, saat itu Lily tinggal di Melbourne dan setia mengabdi untuk mengurus MIWF dari jarak jauh.
Dee berkata dari sekian banyaknya interaksi, Dee merasa Lily punya energi feminin yang kuat dan simpati terhadap orang lain. Sosok Lily juga selalu hadir untuknya setelah suami Dee berpulang.
Impresinya terhadap Lily adalah manusia dengan pemikiran global dengan semangat yang sangat lokal, yang tidak melupakan identitas nasionalnya. Hal tersebut terbukti dengan MIWF yang dikontrolnya dengan jauh.
“Dewi, saya akan ke rumah sakit. Setelah saya keluar, kita zoom. Misiku adalah memelukmu,” tutur kata hangat Lily disampaikan oleh Dee saat pertama kali mendengar bahwa beliau sedang sakit.
Dee pun mengajak seluruh teman-teman MIWF untuk mewujudkan misi Lily untuk memeluknya. Dengan tangis haru, Dee Lestari menyatakan ia akan memeluk Lily dengan hangat, bersama teman-teman MIWF yang telah hadir untuk mengenang sosok Lily Yulianti Farid.
Literary Lily ditutup dengan haru usai saudara ipar Lily, Hasymi Ibrahim yang turut mengenang Lily melalui momen yang dilewatinya bersama keluarga.
Ruangan ini kami tinggalkan dengan membawa semangat Lily Yulianti Farid keluar, memperjuangkan warisan Lily untuk terus berkarya dan bergiat menghidupkan budaya sastra dan seni hingga perspektif feminisme untuk dunia melalui Makassar International Writers’ Festival.
A tribute to Lily Yulianti Farid. Rest in peace, Kak Lily. We will always love and miss you.
Penulis: Maylafathma Azizah Wicaksono