Luka Reformasi : Perkara yang Belum Tuntas

MAKASSAR – Saat tirani tumbang, seharusnya babak baru bagi negeri ini dimulai. Tapi, reformasi yang seharusnya menjadi simbol perubahan dan kebebasan kini semakin sulit dirayakan. Sejarah tak banyak mencatat, ada Reformasi dan Perkara Lain yang Belum Tuntas.

Reformasi bukan hanya sebuah momen politik, tetapi juga puncak perjanan panjang rakyat yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Banyak yang hilang tanpa jejak, menjadi martir demi kebebasan, dan kisah mereka menjadi bayangan kelam sejarah bangsa.

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 menghadirkan wajah yang siap menceritakan langsung perspektif yang selama ini hanya menjadi cuap-cuap yang tak pernah berani dituliskan.

Aktivis-akademisi Esther Haluk, penulis Martha Hebi, peneliti Ita E. Nadia, dan jurnalis Evi Mariani mencoba menyingkap luka reformasi yang masih menganga dalam sebuah program bertajuk sama yang berlangsung di Gedung Chapel, Benteng Rotterdam, Makassar, Kamis (23/5/2024).

“Pemerkosaan itu bukan bohong, itu hutang kemanusiaan. Kita berhutang pada reformasi!” ucap salah satu peneliti dan penulis sejarah gerakan perempuan, Ita E. Nadia, mengawali panel petang itu.

Salah satu pendiri dan komisioner pertama Komnas Perempuan 1998–2000 itu mencoba menelenjangi sejarah kelam reformasi tentang tubuh perempuan sebagai teror. Kata-katanya menggema seperti jeritan dan tangisan perempuan di balik dinding gedung tua.

“Katanya mereka (pelaku) berbadan tegap dan berambut cepak. Pemerkosaan ini tidak menggunakan alat kelamin, tetapi menggunakan ‘alat.’ Mereka menusukkan botol dan gagang sapu pada vagina perempuan-perempuan etnis Tionghoa,” tuturnya dengan nada lugas yang penuh luka.

Ia menyebut peristiwa 1998 bukan hanya tentang penjarahan, perusakan rumah, pemerkosaan, dan kekerasan seksual, tetapi juga pembunuhan, penganiayaan, dan pembakaran hingga penghilangan paksa kaum miskin kota yang tinggal di ibu kota.

Ita memperlihatkan gambar-gambar mayat yang dibungkus kantong plastik saat tragedi kebakaran di Mal Klender 1998.

“Lihatlah ini!” katanya dengan suara bergetar, menunjuk foto mengerikan itu, seolah menjadi saksi bisu kekejaman yang terjadi.

Ketua Ruang Arsip dan Sejarah (Ruas) itu turut memaparkan dari 1.190 jiwa yang meninggal, tak ada satu pun yang tercatat dalam sejarah reformasi.

Reformasi belum selesai. Luka-luka ini masih belum diakui dan disembuhkan.

Ingatan Traumatis yang Disembunyikan.

Tidak hanya di Jawa, tetapi di Papua.

“Apakah reformasi sudah selesai?” tanya seorang aktivis perempuan Papua, Esther Haluk, ditengah panelis.

Sejak reformasi bergulir di Indonesia pada 1998, harapan yang sempat menyala bagi orang Papua kerap kali redup, seperti lilin yang tertiup angin kencang.

Esther mulai menceritakan memori yang sudah lama tersimpan rapi di benaknya. Peristiwa Wamena Berdarah, sebuah cerita tentang pembantaian yang terjadi di Wamena, saat pasukan militer menyerbu dan mengubah kampung-kampung menjadi medan perang.

“Pendekatan terhadap Papua,” ujarnya, “sering kali dibalut dengan perspektif rasis dan militeristik.”

Ia mengungkapkan, operasi militer yang masif di Papua selama pemerintahan Soeharto meninggalkan jejak trauma mendalam bagi masyarakat Papua. Ia menyebut 67.000 orang Papua masih hidup sebagai pengungsi akibat operasi-operasi militer yang terus berlanjut.

Sekretaris Penjaminan Mutu Sekolah Tinggi Teologia Walter Post Sentani ini menyebut sejak Indonesia menganggap Papua sebagai bagian sah wilayahnya, cerita kelam tentang tanah ini hanya menjadi bisik-bisik para orang tua.

Bagi banyak orang Papua, hal ini adalah awal dari sebuah aneksasi.

“Reformasi bukan hanya belum tuntas, di Papua bahkan belum dimulai,” imbuh Direktur Eksekutif Project Multatuli, Evi Mariani.

Papua masih berjuang. Dalam setiap bisik-bisik itu, ada kisah yang menunggu untuk diceritakan.

Seorang wanita kelahiran Waingapu, Sumba Timur, Martha Hebi turut melengkapi panel dengan sebuah pernyataan “Kekerasan yang terjadi pada satu perempuan pun adalah bentuk kekerasan juga. Kita perlu meninggalkan pemikiran yang apatis terhadap kekerasan yang berada jauh di luar jangkauan kita,” jelas Martha.

Ia menjelaskan di Pulau Sumba masih ada sebuah tradisi di mana sekelompok laki-laki menangkap seorang perempuan di ruang publik untuk dijadikan istri. Bagi banyak orang, hal adalah bagian dari budaya yang harus dilestarikan. Namun, bagi perempuan, ini adalah awal dari penderitaan dan trauma.

Dalam Kawin Tangkap, Martha bercerita tentang perempuan-perempuan yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman tradisi ini dan memulai hidup baru. Ia menyebut mereka adalah bukti bahwa kita bisa melawan.

“Kita tidak harus terjebak dalam lingkaran kekerasan yang sama,” pungkasnya. Ia mengubah narasi perubahan dengan menjadikan tubuh perempuan bukan sebagai objek penaklukan, tetapi sebagai simbol kekuatan.

Di penghujung diskusi panel, Esther menutup pertemuan dengan sebuah puisi dari salah satu karyanya yang berjudul Nyanyian Sunyi.

“…Nyanyian-nyanyian sunyi tetap ramas dalam Obituari. Namun tetap terekam dalam ingatanku, selamanya.”

Penulis : Nur Muthmainah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top