MAKASSAR — Sejarah dan fiksi sejarah adalah dua hal berbeda. Itu ditegaskan Iksaka Banu. Penulis yang banyak menulis karya sastra bernuansa sejarah.
Fiksi sejarah, kata dia, jelas hanya cerita fiktif. Tapi meminjam peristiwa sejarah sebagai latar, jagat, universe, atau tempat hidup tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita.
“Apakah zaman dinosaurus adalah fiksi sejarah? Tidak!” tegas Iksaka Banu. Dalam sebuah diskusi bertajuk “In Conversation with Iksaka Banu: Rasina”. Dipandu oleh Silviana Dharma, Pengelola Media Sosial Penerbit KPG.
Kegiatan itu diadakan di Museum La Galigo, Benteng Roterdam, Makassar pada Sabtu (10/6/2023). Bagian dari rangkaian kegiatan Makassar International Writer Festival (MIWF) 2023.
Iksaka Banu menjelaskan, fiksi sejarah biasanya memang mengambil sepotong waktu dari 20 hingga 2000 tahun lalu.
Zaman dinosaurus mungkin masuk dalam rentang waktu itu, tapi tidak memiliki catatan sejarah. Makanya tidak layak dikatakan fiksi sejarah.
Penulis Rasina itu mengategorikan tiga fiksi sejarah. Dramatisasi biografi, sejarah alternatif dan ilustrasi tokoh fiktif ke dalam panggung sejarah.
Buku Rasinah masuk dalam kategori ketiga. Fiksi sejarah dengan cerita yang memiliki tokoh, tempat, dan peristsiwa yang sama sesuai fakta sejarah. Tapi memasukkan tokoh fiktif ke dalam cerita.
“Fokusnya, tokoh fiktif itu yang membuat drama dengan tokoh sejarah itu. Bahkan berkelahi. Tapi jika tokoh sejarahnya misalnya dia mati, dia akan mati. Tapi jika dia tidak mati, maka tidak mati (dalam cerita),” jelasnya.
Sementara itu, sejarah diterangkannya sebagai kumpulan data dari masa lalu. Baik yang berserak, hilang, atau sengaja dihilangkan.
Lalu sebisa mungkin mengembalikan konteks dari setiap data. Sehingga pembaca bisa membaca kembali urutan atau kronologi peristiwa di masa lalu.
Soal sejarah, ia menggugat buku-buku sejarah yang ada. Terutama yang ada di sekolah. Menurutnya, buku tersebut hanya merekam orang-orang besar. Tidak ada budak, atau pun orang-orang kecil lainnya.
Apalagi sejarah di masa kolonial, ia menilai pembaca terkungkung dengan narasi di buku sejarah. Melihat penjajahan Belanda dengan hitam dan putih.
“Belanda datang ke negeri kita pada abad 17 sampai 1945. Sekian lamanya tapi zaman itu tidak populer bagi kita. Seolah sangat sempit. Hitam putih. Belanda karena penjajah jahat, dan Indonesia baik. Kita melihatnya hanya dua kutub. Baik dan buruk. Titik,” kata Iksaka Banu.
Itulah yang coba ingin disampaikan Iksaka Banu dalam bukunya, Rasina. Penerima Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa itu menulis Rasina dengan latar belakang sejarah kolonial.
Rasina seorang budak bisu yang leluhurnya menjadi korban pembantaian massal saat masa kolonialisme Belanda.
Sebagai pelayan rumah tangga sekaligus budak nafsu tuannya, Rasina menjadi saksi hidup banyak hal tak terduga yang membuat jiwanya terancam.
Penulis: Arya Nur Prianugraha