MAKASSAR – Ketika mendengarkan kata kritik, kita kerap kali merasa bahwa ada yang salah atau tidak seimbang dalam suatu hal, sehingga kritik itu dapat membantu seseorang untuk mengidentifikasi kelemahan serta kekurangannya untuk kemudian dapat diperbaiki.
Selain untuk menafsirkan kesalahan serta kebijakan yang dinilai salah atau tidak imbang, kritik juga merupakan alat untuk menggali makna dalam karya seni dan sastra. Kritik juga mampu mempopulerkan dan mengkritisi karya yang dapat berdampak besar dalam budaya dan masyarakat.
Begitu pun dengan kritik sastra yang bertujuan untuk menemukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan lewat pemahaman hingga penafsiran yang bersifat sistemik.
Sejumlah pengarang ternama seperti Dewi Anggraeni, Dewi Kharisma Michelia, Adrian J Pasaribu hingga Aulia Adam membahas tentang pentingnya untuk menjaga dan merawat kritik sastra itu dalam MIWF 2024 di Fort Rotterdam, Minggu (26/5/2024).
Dewi Anggraeni mengungkapkan, bahwa fungsi kritik di sastra agak mirip seperti jurnalistik yang dimana mengatur dapat demokrasi terhadap sehatnya suatu eksistem.
“Kritik sastra merupakan parameter dari sehatnya suatu ekosistem,” pungkas Dewi Anggraeni.
Selain berdampak pada suatu sistem, kritik sastra juga diperlukan untuk membangun suatu karya. Ia menambahkan, bahwa kritik sastra juga berefek samping pada promosi terhadap suatu karya.
“Kritik sastra diperlukan untuk membangun suatu karya,” terangnya.
Meski begitu, dalam kritik sastra sendiri, kata Dewi Anggraeni, terdapat persoalan regenerasi yang dimana masih sangat sulit menemukan penulis-penulis dalam klinik sastra tersebut.
“Sangat sulit untuk mencari penulis-penulis (kritik sastra) baru,” pungkasnya.
Menurut Reni, sapaan akrabnya, hal tersebut bisa dibangun melalui jejaring komunitas-komunitas sastra hingga tingkat Perguruan Tinggi, khususnya di Fakultas Sastra.
“Menurutku bisa dilakukan komunitas sastra dan fakultas sastra sendiri,” terangnya.
Sementara itu, Dewi Kharisma, mengatakan bahwa saat ini masih sangat banyak pelaku kritik merupakan pelaku sastra itu sendiri, khususnya dari akademisi.
Sehingga, menurutnya penting kemudian sastrawan kritis dihadirkan oleh ajaran para akademisi, yang tidak lain untuk meningkatkan kualitas dari sastra itu sendiri.
“Cara menghadirkan sastrawan kritis tergantung dari akademis dari fakultas sastra tentang cara mengajarnya dan meningkatkan kritik sastra itu sendiri. Kemauan akademisi menjadi bagian dari kritik sastra itu sendiri,” tuturnya.
Dewi Anggraeni, juga membahas mengenai bagimana anak-anak kecil mengapresiasi sebuah karya sastra, dari hasil bacaan kemudian ikut komunitas baca sendiri hingga membuat tulisan satu hingga dua bab sendiri.
Ia menambahkan, jika kesadaran kritik sastra perlu dibangun secara akar rumput atau organik, bahkan langsung melalui orang tua itu sendiri.
“Perlunya dibangun kritik sastra secara organik, hingga bahkan dari orang tua” jelasnya.
Di sisi lain, Aulia Adam, menegaskan jika saat sekarang masih sedikit yang memahami akan kritik sastra ini, sehingga perlunya kemudian untuk memperbanyak diskusi-diskusi tentang merawat ruang kritik.
“Perlu memperbanyak diskusi merawat ruang kritik,” tegasnya.
Sementara dalam dunia industri, Adrian J Pasaribu mengatakan bahwa kritikus belum ada pada sekrup industri saat ini, karena dinilai masih dipinggirkan dan belum masuk ekosistem industri.
“Ada hal-hal yang mesti disadari terhadap industri ini, sehingga kritik-kritik akan terus berjalan,” kata Adrian.
PENULIS: ANDI FATUR REZKY AAR, HERVIN AL JUMARI