Terjemahan dan Polemik Penerjemah

Sebetulnya tanpa berkhianat sama sekali tidak mungkin, karena buku yang bagus bukan hanya bisa diterjmahkan kata per kata; jadi kita tidak cukup dengan hanya menguasai bahasa sendiri, tapi bahasa asing dan budayanya juga mesti kita kuasai. Jadi pekerjaan penerjemahan itu pekerjaan berat.

Di tengah padat polusi kota Makassar, di Benteng Rotterdam tengah berlangsung Makassar International Writer Festival hari ketiga. Pengunjung tak ayal banyaknya, tenant-tenant berdiri cantik, menyusul workshop dan diskusi yang diselenggarakan berjadwal. Salah satu diskusi yang tidak baik jika dilewatkan ialah, “Forum Penerjemah: Kurasi dan Akurasi”

Sekilas diskusi ini mungkin nampak tidak menarik, sebab hal baik apa yang bisa dipetik jika kita bukan seorang penulis buku terjemahan? Namun fakta bahwa belakangan ini semakin banyak karya-karya asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuat topik ini penting sekali untuk dibahas. Dengan menghadirkan 6 pembicara dari latar belakang berbeda-beda, mereka berkumpul dan membicarakan pengalaman kerja-kerja menerjemahkan yang mereka lakukan.

Gita Nanda sebagai pembicara sekaligus penerjemah sastra berbahasa Spanyol mengatakan, “Penerjemahan ini aku lebih melihatnya justru adalah pekerjaan kolektif. Kolektif dalam arti kalau seorang penulis, mereka menulis karyanya sendiri. Sedangkan penerjemah seringkali butuh komunikasi dengan penulis, lalu jika selesai dia lalu berkomunikasi dengan editor. Jadi dia adalah kerja kolektif antara penulis, penerjemah, dan editor.”

Selanjutnya, Gita Nanda juga mempertegas posisi penerjemah dalam melihat karya terjemahan. Mba Gita mengatakan “Ketika kita membaca karya bahasa asing kita menerjemahkan di dalam kepala, lalu kita menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia. Namun perlu diketahui jika penerjemahan adalah proses tarik ulur antara bersetia dan berkhianat. Ada saat penerjemah harus setia dengan gaya bahasa tertentu, atau mesti berkhianat pada lelucon atau peri bahasa yang sekiranya memang tidak mampu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.”

Menarik simpulan dari pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa menerjemahkan sebuah karya tentu bukan hal yang mudah, tidak sesederhana menukarkan bahasa asing ke bahasa ibu. Melainkan, perlu memperhatikan konteks bahasa, budaya bahasa, serta hal-hal lain yang menjadi pendukung cerita. Untungnya, bahasa adalah bagian yang cukup fleksibel dalam hidup. Olehnya meski sukar dan butuh waktu yang lama, pembicara mengakui selalu ada tindakan yang bisa mentaktisi itu.

Selain itu, ada pernyataan menarik yang diungkap salah satu pembicara pada diskusi ini. Gladhys Elliona seorang penulis sekaligus penerjemah mengungkap, jika salah satu cara kita melawan politik bahasa yang sering terjadi, adalah dengan menerjemahkan karya sastra semisal Brazil langsung ke bahasa Indonesia. Jadi tidak ada bahasa yang menjadi tengah dari proses penerjemahan tersebut.

Gladhys menyampaikan dengan tegas, jika bahasa Inggris itu penting, tapi kita tidak boleh mendewakan bahasa Inggris dibanding bahasa lain. Apalagi seperti yang kita tau, anggapan kita yang merasa bahasa Inggris itu segala-galanya, dengan sadar menciptakan salah satu bahasa memperkuat relasi kuasanya di dunia.

Proses khianat dan setia pada bahasa juga menjadi bahasan yang memantik para peserta diskusi. Dua penanya menanyakan dengan jelas posisi dan cara menangani proses menerjemahkan karya sastra yang dirasa tidak memiliki padanan kata di dalam bahasa Indonesia. Menyangkut hal tersebut, seluruh pembicara sepakat jika bahasa Indonesia itu kaya, olehnya akan selalu ada padanan yang tepat dalam menggambarkan konteks suatu bahasa. Dan pembicara juga menekankan bahwa, berkhianat di sini bukan tentang mengubah makna sebuah cerita, melainkan mentaktisi pemaknaan sebuah cerita dengan mencarikan padanan bahasa yang sesuai dengan interpretasi budaya dan bahasa sebuah bangsa.

Dari cara pembicara menggambarkan pengalaman kerja mereka dalam menerjemahkan karya, jelas saja terasa sulit untuk seseorang memiliki profesi tersebut. Belum lagi kadang-kadang selalu ada pemimpin yang tidak masuk akal dalam memberikan jangka waktu pengerjaan terjemahan karya, termasuk gaji yang tidak masuk dalam standar setimpal dari hasil kerja.

Terjemahan dan penerjemah jelas adalah profesi yang tidak kurang sedikitpun kebaikannya. Sebab melalui karya-karya yang dia terjemahkan pembaca lebih terbuka melihat dunia. Keterbukaan seorang pembaca jelas akan memengaruhi pola pikir mereka; dan itulah hebatnya karya terjemahan yang lahir dari kepala seorang penerjemah.

Penulis Mutmainnah Ramlan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top