MAKASSAR – Helatan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 menghadirkan program Membayangkan Masa Depan Puisi yang berlangsung di Gedung E-1, Benteng Fort Rotterdam pada Sabtu (25/5/2024) pagi.
Program ini menghadirkan empat penulis sebagai pembicara yakni Kiki Sulistyo, Virginia Helzainka, Abinaya Ghina Jamela, dan Muhaimin Nurrizqy sebagai panelis utama. Turut pula A.N. Wibisana, penulis sekaligus kurator MIWF yang bertindak sebagai moderator.
Diskusi ini mengulik beberapa poin seputar puisi yaitu kondisi puisi saat ini, bagaimana merawat puisi dan bayangan masa depan puisi.
Kiki dalam menjelaskan kondisi puisi masa kini memberikan pandangan bahwa puisi masih populer, tetapi juga memiliki tantangan tersendiri bahwa banyak penulis puisi yang tidak mengerti ilmunya.
“Jelas-jelas kepopulerannya meski tanpa pengetahuan. Ketika kita mengajak orang obrol tentang puisi mereka akan bingung. Bahwa dalam puisi juga memiliki sesuatu yang fals. Tapi itu (puisi) tidak tersingkiran,” ungkapnya.
Naya sendiri memberi pandangannya dari sisi seorang remaja. Gadis SMA kelahiran Padang itu mengakui puisi sebagai hal yang semakin populer, tetapi unsur edukatif dan persuasifnya masih belum terpenuhi.
“Puisi saat ini semakin populer karena adanya internet, instagram, youtube. Permasalahannya dari remaja suka nulis tapi konten yang ditawarkan hanya seputar jatuh cinta, putus cinta. Teman-teman hanya menulis untuk curhatan saja. Dari segi pendidikan itu masih kurang. Harusnya edukatif dan persuasif atau lebih aware dengan kondisi sekitar,” terangnya.
Virginia juga memberikan asumsi yang sama. Kepopuleran puisi saat ini bisa ia tunjukkan dengan adanya Poetry Slam yang didirikannya dan berbasis di Bali.
“Jadi, kami masih keliling Bali untuk menampilkan pembacaan puisi dengan berbeda seperti Poetry Slam ini,” tuturnya.
Keterangan ini juga dilanjutkan oleh Imin bahwa tantangan puisi saat ini akan semakin berat dengan hadirnya teknologi.
“Puisi itu berbeda dulu dan sekarang karena adanya teknologi. Sekarang bisa lebih bahagia kalau puisi bisa diposting. Klau dulu orang nulis diary. Tantangannya berat. Semua bisa menulis, tapi tugas masing-masing mau buat seperti apa,” tuturnya.
Lebih jauh membahas seputar tantangan puisi saat ini, Banu selaku moderator melayangkan pertanyaan bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam mempertahankan kualitas puisi di tengah penyebaran puisi melalui berbagai platform.
Naya menjawab bahwa tantangan saat ini adalah mengajak penikmat puisi untuk menulis tidak serta merta menulis curhatan tapi menulis tentang isu yang ada di sekitar.
Kiki kemudian meneruskan dan melihatnya dari sisi penyair bahwa penyair sendiri perlu mengadakan komunitas atau workshop agar orang-orang tertarik terhadap puisi.
Setelah berlangsung selama dua jam, para panelis diberi kesempatan untuk memberikan closing statement terhadap diskusi hari ini.
Menurut Virgin bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Puisi terus ada untuk menyuarakan apapun.
Imin sendiri menuturkan “selama masih terjaga elektron-elektron di Indonesia puisi bisa tetap terjaga.”
Sementara itu Naya memberikan pengakuan bahwa puisi adalah hal yang sulit. Menurutnya, anak generasi sekarang harus mendalami puisi lagi.
Di sisi lain, Kiki justru menegaskan kalau puisi itu gampang.
“…..Yang sulit adalah menulis puisi yang bagus,” ucapnya.
“Justru, sastrawan perlu memperhatikan manajemen. Kebutuhan pembaca, produksi, dan pemasaran seimbang. Sehingga hulu dan hilir ketemu,” tutup Kiki.
Penulis : Nur Septiani A