Makassar – Minggu pagi di hari terakhir pelaksanaan MIWF mengangkat tema mengenai “Rumah dan Dunia”. Tema ini mengulik seputar pengungsian di skala internasional, dan bagaimana Indonesia memandang isu tersebut. Nisa Rengganis, Azharul Husna, dan Putri Kanesia menjadi narasumber di sesi “Rumah dan Dunia” yang masing-masing memiliki pengalaman terlibat langsung dalam kegiatan relawan kemanusiaan.
Azharul Husna atau Nana, seperti sapaan moderator padanya, adalah Koordinator Eksekutif dari Kontras Aceh. Ia begitu akrab dengan isu sosial kemasyarakatan mengingat ia lahir di tengah kesulitan yang sedang terjadi di Aceh. “Indonesia betul memang krisis pengetahuan seputar kepengungsian,” ucapnya.
Menurut Nana, sangat penting untuk kemudian menyampaikan informasi yang benar mengenai pengungsi. Indonesia adalah salah satu negara yang minatnya untuk membahas isu kepengungsian masih dibilang rendah. Akibatnya, muncul berbagai perspektif buruk yang tidak benar mengenai pengungsi.
Mengambil contoh dari kasus Rohingya beberapa saat lalu yang cukup diperbincangkan di kalangan masyarakat. Rohingya, merupakan salah satu dari sekian banyaknya etnis di Myanmar, namun kemudian mendapat perlakuan diskriminasi fisik dari sesama warga dan pemerintah yang seharusnya mengokohkan persatuan bangsa. Ini berdampak kepada ketegangan antara tentara negara serta tentara sipil asal Rohingya, menyebabkan warga Rohingya tak tahan sehingga berbondong-bondong mencari tempat ungsian.
Informasi inilah yang tidak nampak kepada masyarakat, sehingga dengan mudah menjadi bahan politisasi para pihak yang memiliki kepentingan. Ironisnya, sebab kemudian mahasiswa yang seharusnya berfikir intelektual malah memperburuk perluasan perspektif seperti itu.
Putri juga menambahkan, Indonesia memiliki Memorandum of Understanding dengan Australia terkait dengan pengungsi yang ingin settle/tinggal di area Australia. Pengungsi harus transit di Indonesia sembari mengurus kelengkapan data sampai pihak Australia menerima permintaan mereka untuk tinggal disana.
Namun proses ini tidak mudah, tak jarang bahkan pengungsi mengalami depresi menunggu kepastian penerimaan mereka. Ini disebabkan Australia memiliki regulasi kepengungsian, dimana mereka harus menyeleksi setiap pengungsi yang masuk berdasarkan skill yang mereka miliki untuk ikut berkontribusi memajukan negara.
“Isu-isu yang seperti ini justru, menurut saya, adalah hal yang paling penting untuk kemudian disuarakan. Banyak yang menyepelekan pengungsi sebab isu ini jarang dituang ke dalam bentuk fiksi seperti puisi dan hanya berbentuk berita,” tambah Nisa
Di akhir sesi, Nisa turut mempertanyakan peran Indonesia dalam meratifikasi konvensi atau regulasi UNCHR untuk menyejahterakan pengungsi. Telah diatur seputar kepengungsian pada Peraturan Presiden kita, namun kemudian hal itu secara hierarki peraturan perundang-undangan tidak berada pada posisi tertinggi, sehingga tidak menimbulkan dampak yang berpengaruh di Indonesia terkait kepengungsian. Indonesia berada di posisi yang rentan dalam pembahasan kesejahteraan pengungsi.
Karena sejatinya, keamanan manusia adalah landasan yang paling utama dan krusial untuk diatur di setiap negara.
Penulis: Maylafathma Azizah Wicaksono