MAKASSAR – Diskusi publik mengenai isu mobilitas di gedung E-1, Fort Rotterdam diawali dengan peluncuran buku Kiri Depan Daeng! yang menghimpun arsip pengetahuan mobilitas warga Makassar. Luna Vidya membuka diskusi yang memantik antusiasme seisi ruangan.
Diskusi dimulai oleh cerita Daeng Malik, salah satu difabel netra yang ikut menjadi kontributor dalam buku tersebut. Ia bercerita bahwa untuk sampai pada peluncuran buku hari ini, mereka memerlukan waktu tiga bulan.
Setelah melalui banyak diskusi, para penulis memutuskan untuk membuat catatan mengenai ingatan menyangkut model transportasi, jalanan, trotoar dan hal terkait lainnya. Baginya, Kota Makassar telah merawatnya sejalan dengan tema mothering yang diangkat MIWF tahun ini.
“Jadi, peristiwa-peristiwa di jalanan itu membentuk identitas kita sebagai warga kota karena kami percaya bahwa kota ini selayaknya ibu kita,” ujar Daeng Malik, Sabtu (25/5/2024).
Daeng Malik juga menuturkan bahwa buku ini setidaknya berisi tiga tulisan dari teman tuli dan bagaimana mereka bermobilitas. Selain itu, buku ini juga memuat sejarah transportasi di Makassar, seperti becak dan pete-pete yang mulai hilang. Ia menutup ceritanya dengan harapan kota tempat tinggalnya ini semakin menjadi kota yang inklusif.
Selanjutnya, Luna Vidya mengungkapkan bahwa buku ini memiliki lisensi kreatif yang menjadi cara baru untuk memberikan hak merata bagi para kontributornya.
Diskusi ini menghadirkan beberapa pembicara, yaitu Yudhistira Sukatanya, Meta Puji Astuti, Yulianti Tanyadji, dan Syarif Ramadhan.
Berkaitan dengan tema “Maju Ko Gondrong!”: Suara dari Jalanan Makassar, Yudhistira menjelaskan asal dari istilah tersebut. Menurut catatannya, “maju ko gondrong” bermula dari tawuran Sungai Pareman melawan Sungai Limboto. Istilah itu digunakan oleh anak muda dari Pareman ketika melawan Talebe dari Limboto.
Dalam diskusi tersebut, para pembicara masing-masing berbagi pengalaman mereka tentang Makassar yang terkait dengan mobilitas, seperti Meta Puji Astuti, seorang dosen yang meneliti sejarah Makassar yang berhubungan dengan negeri sakura. Sementara, Yulianti Tanyadji menceritakan sisi personal mengenai love hate relationship-nya dengan Kota Makassar.
Kemudian, Syarif Ramadhan membahas pengalamannya yang harus pindah sekolah ke Makassar pada 2006. “Sejak saat itu juga lah, saya belajar bagaimana mengenal kota ini dengan mandiri,” ungkap ketua PERDIK (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan) tersebut.
Selain melalui transportasi, ia bersama teman-teman lainnya juga menemukan pengalaman mengenai landscape Kota Makassar melalui jalan kaki.
Diskusi ini kemudian dilanjutkan dengan sesi Riding of Stories “Menyusur Cerita Kiri Depan, Daeng Bersama Teman Bus”.
PenulisM: Andi Tenri Pada